Hambar Berujung Rindu

11 1 3
                                    


"Hari ini Mingyu sedang absen, ya?"

Di depan Oh Rain—gadis berpiyama jingga dengan handuk yang masih membelit kepalanya—bibi Nam terlonjak. Ia mengangkat kedua sudut bibirnya, seakan tahu betul kalau selangkah setelah Rain keluar dari kamar mandi pasti gadis itu akan menanyakan di mana presensi Mingyu.

"Sepertinya iya. Tadi Bibi tidak bertemu dengannya saat membeli ini," papar Bibi Nam selagi tangannya meletakkan kresek berisi roti pretzel, brownis keju, dan puding mangga di atas meja makan. Kemudian wanita paruh baya tersebut berjalan untuk mengambil piring di dekat wastafel.

Rain mengerucutkan bibirnya seperti anak kecil, tampak tidak senang akan penjelasan Bibi Nam barusan. "Yah, kalau begitu Bibi makan saja rotinya," ujar Rain tak berselera. "Kalau bukan Mingyu yang membuat ... rasanya agak hambar."

Hanya kekehan yang menguar dari bibir Bibi Nam.

"Bibi! Jangan tertawa begitu, dong!"

"Hei, ... agak hambar bagaimana? Semacam tidak ada komposisi cinta dari Mingyu, begitu?"

Rain hanya bersedekap saat Bibi Nam berjalan ke arahnya, lalu membuka dua pretzel yang masing-masing menguarkan aroma karamel dan moka untuk diletakkan di atas piring.

Kedua bola mata Rain memicing sinis. "Kira-kira kenapa, ya, Mingyu tidak masuk hari ini?" gumam gadis tersebut sembari iseng mengarahkan jemarinya untuk mengambil taburan kacang almond dari atas pretzel.

"Entahlah." Bibi Nam mengedikkan bahu.

Yah, pada akhirnya Rain pun melahap pretzel moka yang katanya hambar itu.

"Kalau gadis remaja sedang kesal pasti langsung melahap apapun yang ada di depannya, ya? Sampai lupa jika sebelumnya bilang kalau pretzel itu akan diberikan pada Bibi," gurau Bibi Nam sengaja membuat fokus Rain tertuju pada dirinya, kemudian gadis Oh tersebut langsung mengubah posisi duduknya resah. "Atau jangan-jangan, ... roti hambar dapat melepas rindu?"

Rain tersedak. "Bibi!"

Tingtong ....

Baik Rain maupun Bibi Nam sontak mengurungkan perang dingin yang baru saja dimulai. Dari jendela ruang tamu, berdirilah sosok pria berperawakan tegap yang tengah melesakkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Dari arah dapur, semuanya terlihat baik-baik saja; Rain yang menelan gigitan terakhirnya dan Bibi Nam yang berderap untuk mengintip siapa tamu tak diundang yang mengunjungi rumahnya malam-malam begini.

"Permisi, ada pesanan."

Tepat setelah bunyi 'klik' ketika Bibi Nam membuka pintu, Rain sekonyong-konyong melesat ke dalam kamar dengan dalih mengantuk—walau kenyataannya ia malah melepas lilitan handuk yang ada di kepala dan mengambil hair dryer dari laci nakas.

"Oh Rain! Kau kedatangan tamu!"

Bibi Nam membuka pintu kamar Rain, suara hair dryer menderu samar.

"Kim Mingyu," bisik Bibi Nam sebelum ia menghilang untuk membuatkan teh hangat di dapur. Jantung Oh Rain agak kewalahan untuk memompa aliran darah yang kian berdesir hebat, sepertinya.

Tanpa tedeng aling-aling, dilesatkannya kedua tungkai Rain untuk menemui sosok Mingyu di ruang tamu. Ia bahkan membiarkan hair dryer-nya masih menyala di atas meja rias. Sangat ceroboh.

Pria bergaris Kim tersebut mengenakan kemeja biru pastel dengan lengan yang tergulung sampai sebatas siku, memperlihatkan otot-otot tangan yang sedikit tercetak di permukaan kulitnya yang agak sawo matang. Rambut legamnya tersisir rapi ke atas, menatap Rain sumringah dengan kening yang terekspos. Berbalik seratus delapan puluh derajat dengan kostum yang biasa Mingyu kenakan saat bekerja di toko roti.

Dia adalah ... definisi dari kesempurnaan yang sesungguhnya.

"Maaf tidak memberitahumu sebelumnya," terang Mingyu memperlihatkan sepasang gigi taring yang mengintip dari balik bibirnya, manis sekali. "Tapi aku sudah memberitahu ibumu kalau—"

"Bibi," koreksi Rain cepat. Gadis itu tahu-tahu sudah duduk berhadapan dengan Mingyu, sebelum akhirnya terinterupsi oleh Bibi Nam yang kembali ke ruang tamu untuk meletakkan secangkir teh hangat di atas meja.

"Ah—ya, maafkan aku." Tangan penuh otot Mingyu menyerahkan kresek berwarna krem yang berisi kotak kue berukuran besar pada Rain. "Selamat ulang tahun, omong-omong."

Belum sempat berucap, Rain buru-buru melayangkan tatap heran pada pria kriminal berkedok 'pemilik toko roti' yang ada di depannya. Iya, pria kriminal yang diam-diam tahu tanggal lahir seorang Oh Rain. Lantas, bola mata gadis itu cepat-cepat bergulir ke arah jam dinding bergambar nanas yang tersemat di atasnya.

Pukul dua belas lebih lima malam.

Seluruh jiwa dan raga Oh Rain bahkan baru sadar kalau hari ini ulang tahunnya.

"A—anu ... Ming," ucap Rain terbata. Ia melongok sedikit ke arah kotak kue yang ada di dalam kresek. "Bagaimana kau tahu kalau hari ini ulang tahunku ...?"

Mingyu tampak menyesap teh hangatnya yang masih mengepulkan asap kecil. "Bibimu."

Entah Rain harus bahagia atau pundung tatkala Mingyu menukar posisi duduknya dengan bantal yang ada di samping Rain. Senyum si pemuda mengembang, selaras dengan degup jantung Rain yang kian meletup-letup saat Mingyu membuka penutup kue ulang tahunnya lantas memantikkan api di atas lilin.

"So, wanna hug me for a second, Oh Rain?"

Di saat yang sama, betapa jantung Rain ingin meloncat pergi dari dalam dirinya.

.

.

.

Ini cuma sepicis kisah seorang pelanggan yang jatuh cinta dengan roti dan juga pemilik tokonya, kok.

— fin —

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jun 14, 2017 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Hambar Berujung Rindu | kimingyuWhere stories live. Discover now