Hari ini panas sekali. Ternyata Bandung nggak beda jauh amat sama Jakarta dan Tel Aviv. Namaku Chelzia Kozhim, tapi orang-orang pada manggil aku 'Cia'. Aneh memang, tapi begitulah nama kecilku. Pulang balik Israel-Indonesia sungguh tidak nyaman, tapi aku harus membiasakan diri dengan pekerjaan Ayah sebagai CEO perusahaan Impor-ekspor. Dan sepertinya sekarang aku bakal tinggal lama di Indonesia.
Dari bandara, taksi yang aku tumpangi berjalan lembut menyusuri jalan-jalan kota Bandung yang untungnya tidak semacet di Jakarta. Ini pertama kalinya aku akan tinggal di kota Bandung setelah sebelumnya selalu di Jakarta dari Tel Aviv. Selama perjalanan aku hanya mengkhayal, tidak memperhatikan Ayahku yang sedaritadi menelpon seorang wanita yang akan diperkenalkannya kepadaku sebagai calon Ibu. Ibuku sudah meninggal ketika aku berumur lima tahun. Ayah tidak pernah memberitahuki penyebab asli kematian Ibu selain berkata, "Ibumu sangat bijaksana, biarkanlah malaikat itu beristirahat dengan tenang". Setelah itu Ayah lalu tersenyum seduh dan pergi.
Tak lama taksi yang kami tumpangi masuk ke sebuah kompleks perumahan yang asri. Khayalanku buyar tatkala memandang kompleks asri ini. Baru kali ini aku melihat sebuah kompleks yang begitu hijau. Terdapat taman yang luas dan besar dengan pohon yang rimbun. Rumput-rumput segar menutupi tanah di taman itu. Karena ini baru pukul enam pagi, beberapa orang terlihat sedang jogging di jogging track yang tersedia. Terdapat pula pancuran air tinggi menjulang dengan malaikat yang menenteng sebuah pot. Pot itu menyemburkan air yang kemudian berhamburan ke arah kolam yang tersedia di bawah. Sungguh nyaman sekali. Tak hanya di taman, pemandangan hijau juga dapat kulihat di sekitar jalan-jalan kompleks ini. Semua tanaman-tanaman tertata rapi dan membuat pengunjung maupun yang tinggal di kompleks ini merasa nyaman.
Taksi beberapa kali membelok. Sepertinya supir taksi itu tahu betul blok-blok rumah di kompleks yang terbilang besar ini. Setelah kurang lebih sepuluh menit menuju 'Rumah Baru', sang supir taksi menghentikan kendaraannya tepat di sebuah rumah yang minimalis. Meskipun tidak sebesar dan semewah rumah di sebelahnya, rumah ini terkesan rindang dan nyaman untuk ditinggali. Paduan warna Hitam Abu-abu dan teras lantai dua yang menjorok keluar membuat rumah itu terkesan sederhana namun mewah.
"Heemmm.. Ekskiuss... mii, Sir... Diss... iss... homeee...!" Kudengar supir itu mengucap dengan terbata-bata. Lucu sekali karena supir yang belakangan kuketahui namanya Komang, menekan setiap kata-kata yang keluar dari mulutnya. Aku menahan tawa dan melihat muka Ayah yang tersenyum, sangat mempesona yang akan membuat cewek manapun tidak akan ingin melewatkan kesempatan untuk menatapnya. Tentu saja sang sopir pasti berpikir bahwa kami ini turis. Ayah hanya memberikan secarik kertas padanya yang bertuliskan alamat yang harus dituju sesaat sebelum berangkat ke sini. Dan ucapan sewaktu Ayah lagi telponan, Bahasa Inggris. Pantas saja Pak Komang salah nyangka.
"Tidak apa Pak, saya ngerti kok ucapan di sini." Ucap Ayahku lalu memberikan selembar uang biru. Aku mengikuti Ayahku yang turun dan mengambil koper-koper yang terdapat di bagasi taksi yang telah terbuka. Pak Komang dengan segera keluar dan bantu mengangkat koper yang tadi kubawa. Setelah meletakkan koperku dan beberapa tas tenteng di depan pagar rumah, Pak Komang menyodorkanku beberapa lembar uang yang merupakan uang kembalian.
Dengan sedikit terkesiap, aku tersenyum sebentar lalu berkata, "Ambil saja kembaliannya, Pak!"
Dengan mata berbinar, Supir Taksi kurus dengan kulit sawo matang itu berkata terima kasih. Aku hanya tersenyum sambil mengangguk . Tak lama taksi sudah meninggalkan depan rumah baruku. Aku berbalik dan mendapati Ayahku sedang kebingungan melihat banyaknya kunci yang terkait di sebuah gantungan kunci.
"Yah, coba kunci yang ini." Aku memegang kunci dengan tulisan Passo di gagangnya. Setahuku sih, kunci gembok kebanyakan bermerek itu. Ayah lalu mencoba dan ternyata berhasil! Aku menenteng koper dan tas-tasku. Berat-pakai-Banget.
Pintu rumah yang berwarna putih keabu-abuan itu tidak terkunci sehingga dengan mudahnya Ayah menurunkan gagang pintu itu. Aku menengok ke dalam, yah menengok, karena Ayah masih sibuk berdiri depan pintu menyapukan pandangannya ke segala penjuru rumah. Wah.. Bagus banget! Sofa, TV, Jam kuno tinggi yang terdapat di samping lemari, semuanya lengkap, bersih, dan teratur. Ayah melepas alas kaki dan aku pun mengikutinya. Beberapa detim kemudian kulihat pria yang sudah berumur 40-an itu menghempaskan diri ke sofa.
"Ayah!" Teriakku sambil berkacak pinggang.
"Ayah capek Cia.. tolong bawain barang-barang Ayah, yah.. Nggak banyak kok, hehee.."
Huff.. Yaudah deh, kan aku anak yang baik nurut sama orangtua, hehe.. Dengan sigap aku mengangkat koper milik Ayah dan membawanya ke sebuah kamar yang berada di samping tangga. Dengan penjelasan sang makelar yang sungguh sangat detail, aku sudah tahu mengenai kamar-kamar di sini. Dan kamar di lantai satu merupakan kamar yang paling besar. Tentu saja buat Ayah.
Aku membuka pintu kamar. Wah besar memang! Terdapat sebuah TV flat di sudut atas kamar yang memungkinkan orang akan menonton dalam posisi tidur. Kulkas mini di dekat pintu, lemari baju dari kayu yang menawan, AC, dsb. Tak lupa sebuah kamar mandi di sudut ruangan. Kuletakkan tas Ayah di lantai, keluar, lalu menutup pintu kamar berwarna krem itu. Saat kembali ke ruang nonton, Ayah terlihat tidur lelap sekali. Tentu saja dia capek luar biasa mengurus segala sesuatu sebelum datang ke Bandung.
Dengan perlahan aku mengambil koper dan tas tentengku yang tergeletak di lantai dan menuju ke lantai dua. Menurut penuturan sang makelar, terdapat tiga kamar di sini. Tiga kamar itu berada di koridor yang sama. Dua kamar berhadapan satu sama lain, sedangkan kamar yang satu terdapat teras yang menjorok keluar Rumah. Aku mengambil kamar yang ada terasnya. Aku masuk ke kamar itu. Nggak kecil namun nggak sebesar kamar Ayah. Fasilitasnya juga lengkap tanpa tambahan kulkas.
Kuhamburkan semua barang-barangku, kemudian menatanya rapi di tempat yang aku inginkan. Tak lama kamar ini sudah tidak sesepi tadi. Kurebahkan badanku setelah mandi dan berganti. Haahhh.. Kasur ini benar-benar empuk! Kupejamkan mataku sejenak dan menyandungkan lagu Eternal Flame karya band The Bangles yang tiba-tiba saja mampir dibenakku. Kurasa hidupku di sini bakalan menyenangkan..
***
Akhirnya part-nya Cia ke-posting juga nih! Baru part dua aja pusingnya udah keliling, gimana lanjutinnya?? Maaf yah klo kurang nyenengin, newbie sih hehee.. Oya, mksih banget yg udah nge-vote buat cerita ini! Krn klian aku yg tadinya udah hopeless lanjut nulis nih hehe.. Mksih! *kiss pipi* *KABUR* ;p
KAMU SEDANG MEMBACA
Cheesecake! I'm in Love!
RomanceDaniel Jakara Daniaksa. Siapa yang tidak kenal dengan cowok beken yang satu ini? Tajir, mukanya ăla AL--anak tertua Ahmad Dani itu!--yang cakepnya nggak ketulungan, jago main basket, futsal, voli, pokoknya olahraga apa aja deh! Belum lagi yang nilai...