(3) First Met

654 30 0
                                    

Entah ini tetesan air keberapa yang meluncur turun membasahi baju putih yang Gadis itu gunakan saat ini. Baju tidur putih yang basah itu mencetak jelas tubuh ringkihnya yang terlihat menggigil.

Gadis itu sudah menghabiskan waktu tiga puluh lima menit dalam kondisi yang sama namun belum nampak niatan ia untuk berhenti walau tubuhnya semakin memucat.

Mimpi itu datang lagi!
Mimpi yang paling gadis itu benci! Mimpi yang merupakan kilasan balik cerita hidup yang ingin gadis itu hapus selamanya.
Ia lelah, sangat lelah. Tubuh dan pikirannya lelah jika mimpi mengerikan itu datang. Rasanya ingin mati saja.

"Hosh..Hosh.. Hosh. Tenangkan dirimu Mira, itu hanya mimpi. Berhenti memikirkannya!" Ujar gadis itu menarik rambutnya frustasi berharap ingatan menakukan itu akan lekas hilang jika ia melakukannya.

"Cukup untuk menyiksa diri hari ini Mira, atau kau ingin mati dan membuat para bajingan itu tertawa bahagia?!" Ujar gadis itu.

"Roy tidak akan menyukai gadis yang lemah dan cengeng Mira." sambungnya sambil menatap dirinya di dalam cermin lalu beranjak keluar kamar mandi.

Selalu seperti itu, saat mimpi buruk itu datang maka gadis itu dengan tidak mengenal waktu akan menyiksa dirinya sendiri di bawah kucuran air sampai tubuhnya menggigil dan kedua belah jarinya menjadi keriput.

Dan selalu nama seorang Roy acondrion yang dapat membuat gadis itu semangat kembali dan bisa melupakan ingatan buruk itu walau sesaat.

(-000-)

Flashback

First Met

Hari yang tidak cerah seperti biasanya, hujan nampak mengguyur ibu kota dengan derasnya. Nampak orang orang berlarian dengan cara masing-masing menghindari dari amukan hujan yang seolah tampak menakutkan saat itu. Padahal menurut pakar meteorologi dan geofisika seharusnya hari ini adalah hari yang cerah. Ah entahlah terkadang.

Seorang gadis dengan seragam putih abu abu yang lebih besar satu nomor dari ukuran tubuhnya tampak berlari dengan tas sekolah yang melindungi kepalanya dari tetesan hujan yang semakin lama semakin deras saja.

Sesekali tangan kanan gadis itu membenarkan letak kaca mata yang semakin turun saat ia berlari. Salahkan saja ukuran hidungnya yang terlalu mungil itu.

Gadis itu terus berlari hingga ia berhenti di depan sebuah kafe klasik yang menampilkan kesan damai saat melihatnya. Gadis itu menatap sekeliling dan mendapati ternyata bukan dirinya saja yang mengalami kesialan terkena hujan di pagi hari.

Hujan.

Ah, gadis itu sangat menyukai hujan sebenarnya. Mencium aroma hujan yang bereaksi dengan tanah benar-benar kesukaannya. Apalagi saat-saat merasakan tetes demi tetes air hujan yang mengalir melewati setiap inci tubuhnya begitu menenangkan, ia sangat menikmatinya. Namun tidak untuk kali ini disaat ia akan berangkat sekolah dan membiarkan buku-buku yang ia beli dengan susah payah harus basah dan bisa saja robek.

Gadis itu melirik kembali pada tempatnya berteduh, pandangannya jatuh pada lukisan kuda yang sangat besar yang berada tepat di tengah-tengah ruangan dalam kafe. "Ah sepertinya di dalam hangat." Batinnya sambil tetap menggosokan kedua belah tangan berharap kehangatan dari sana.

Di perhatikannya lagi kafe klasik itu,interiornya begitu mewah dengan warna dominan coklat yang terlihat tenang dan nyaman bersamaan.

PRAANGGG!!!

"Ah, maafkan saya Tuan, saya tidak sengaja." Seru seorang gadis berambut coklat berpakaian pelayan itu dengan takut-takut sambil memeluk nampan yang baru saja dipungutnya dari lantai yang basah terkena tumpahan Expresso.

I Say I Love YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang