Prolog

5 3 0
                                    

Tania mengelus punggung Labib pelan, anak tengahnya itu tidak diterima di Universitas Negeri manapun.

Khalisah Labibah mengatakan bahwa SBMPTN adalah jembatan terakhirnya menuju PTN, setelah ditolak Labib terus saja menangis.

"Pokoknya, aku mau pergi dari sini! Aku nggak mau ngelanjutin sekolah di Indonesia!"

Dengan menggebu-gebu, Labib segera berlari ke kamarnya untuk mengemasi sebagian pakaiannya.

"Mau kemana kamu, Labib!?!" Tania berteriak, menyusul anaknya ke lantai atas tempat dimana kamar Labib berada.

Tania melihat Labib yang sedang memasuki beberapa pakaiannya kedalam koper. "Labib, mau kemana kamu?"

Labib menoleh kearah Tania, menatap sendu ibu kandungnya itu. "Mau nyusul mas Amar, ma. Labib mau nikah aja."

Dulu, saat Labib baru menjalani masa SMA kelas 3. Ada saudara jauh yaitu keponakan dari Tania yang ingin meminang Labib, menjadikan Labib sebagai istrinya.

Labib menolak, menentang dengan keras pinangan itu. Labib marah besar kepada Tania dan nenek dari Labib sendiri, Labib merasa ditipu.

Labib merasa bahwa dia harus melanjutkan pendidikannya, menggapai cita-citanya untuk menjadi Duta Besar bagi Indonesia.

Kini, Labib merasa bahwa semuanya sia-sia. "Itu satu tahun yang lalu, Labib, sebelum kamu nolak mas Amar mentah-mentah. Gimana kalau sekarang mas Amar sudah mendapatkan calon istri yang lain atau istri?"

Amar Halim, bermaksud mengajak Khalisah Labibah tinggal di Tokyo. Membangun keluarga kecil yang bahagia, bukan tanpa cinta tetapi belum.

Amar yang merupakan Hafidz Qur'an itu bermaksud baik, tapi dengan teganya Labib menolak.

Labib menundukkan kepalanya, membenarkan perkataan Tania sebagai ibu kandungnya. "Pokoknya, Labib harus nyusul mas Amar!"

Labib menutup koper berisi beberapa baju dan lain-lain yang disusun rapih olehnya. "Minta uang buat beli tiket, ma." Tania hanya bisa mengangguk pasrah.

Dengan gembira Labib menyambar Iphone terbaru pemberian dari Mide, panggilan kesayangan dari Labib dan cucu-cucu lain dari neneknya itu.

Membuka sebuah aplikasi penjualan tiket online, Labib segera memilih tiket pesawat menuju Singapura untuk transit lalu berangkat menuju Tokyo.

Jam menunjukkan pukul 7.00, dengan terburu-buru Labib memilih penerbangan menuju Singapura pada pukul 17.00.

"Ma, aku berangkat jam 5 sore nanti." Dengan santai Labib memainkan Iphonenya, mengabaikan pelototan sang mama.

"Kamu gila ya!?! Secepat itu, Khalisah Labibah?" Labib hanya mengangguk-anggukan kepalanya.

"Terserah, sana kamu berangkat. Jangan lupa pamit sama papamu." Labib menganggap bahwa nyinyiran Tania tadi adalah sebuah nasihat yang diucapkan dengan lemah lembut.

Khalisah Labibah memang gila.

Tokyo, Here I'am!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang