Soulmate

19 2 0
                                    

Bagaimana nantinya dikenang, maka seindah sebagaimana dirimu mengenangku...

Nugraha / Ranu

***

Hanya keramaian. Keramaian yang pilu. Keramaian yang tak pernah dia inginkan, apalagi dengan jeritan tangis hati yang menikam-nikam jantung. Ngilu. Dan itu membuatnya sesak nafas, hingga berkali-kali menyangkal pada dirinya sendiri, bahwa semua ini hanyalah sebuah mimpi yang segera usai dan cepat berlalu. Namun air mata itu, yang mencair gara-gara melihat sebujur tubuh yang kaku, di balik selembar kain kematian.

Tak sanggup untuk melangkah keluar dari rumah itu, justru terpaku duduk bersila di sisi orang yang sudah tak bernyawa tersebut. Diam, tidak melakukan apapun setelah membacakan surat Yasin, sebagai pemberian terakhir yang menurutnya tidak ada artinya sama sekali dibandingkan apa yang pernah ia alami bersama orang tak bernyawa itu.

Kian malam justru kian ramai. Dia tak menyangka relasi keluarga yang tengah berduka itu sedemikian banyaknya. Setelah sholat isya', dia putuskan untuk pulang. Menyusun puing-puing kenangan yang sekarang terasa begitu memilukan. Menyesal, itulah yang menguasainya.

"Nu! Ranu!" perempuan yang memanggilnya terlihat tergopoh-gopoh, tersengal-sengal. Ranu menoleh, nanar.

"Gimana?"

"Masuk aja, aku nggak mau ngomong dulu tentang ini."

Ranu berlalu. Sesekali mengusap air matanya. Membuang jauh-jauh, sakitnya melihat Umi menangis hingga pingsan karena kehilangan anaknya.

Batinnya menjerit, tak terima dengan kenyataan. Semuanya berlalu begitu cepat. Tiba-tiba semuanya gelap, dan dia tidak dapat merasakan kakinya berpijak. Gelap. Gelap.

"Nayaaaaa...!"

***

"Lhoh lhoh, Nu?? Hahaa... hei!" perempuan berambut ikal itu tertawa terpingkal-pingkal. Ranu—yang entah kenapa—dua kakinya membawa tubuhnya berlari menghindari hujan yang datang tiba-tiba dari depan. Terpontang-panting seperti korban musibah banjir. Naya segera berteduh di warung yang hanya beberapa langkah dari jangkauannya. Wow, hujannya ngejar, batin Naya. Langit tak seluruhnya kelabu. Daratan pun tak seluruhnya basah diguyur hujan. Naya senyum-senyum menikmati kenampakan itu. Menyenangkan, menurutnya. Ranu menghampiri Naya seraya berlari kecil dengan wajah konyol.

"Percuma kamu lari. Gimana sih? Wkwk" ledek Naya.

"Spontan Nay, hehee. Sangar"

Hujan semakin deras mengguyur kota yang indah itu. Dan itu menghalangi mereka berdua untuk pulang ke rumah. Kegiatan di sekolah membuat mereka harus pulang telat kali ini—bukan kali ini, tapi berkali-kali. Di seberang jalan raya tampak para siswa SMA berlarian mencari tempat berteduh. Menjinjing-jinjing rok panjangnya. Berebut naik angkutan umum, maupun berdesakan dengan siswa lain untuk berteduh di muka toko.

15 menit menunggu hujan yang tak kunjung reda. Langit semakin kelabu saja. Awan tebal menggumpal-gumpal, tak ada cahaya matahari siang ini, sedikitpun.

"Mau sampek kapan hujannya turun?". Naya menendang-nendang kaki bangku di depan warung yang didudukinya. Manyun-manyun sekenanya, sesekali melirik Ranu yang justru menikmati indahnya hujan turun dan aroma khas yang dibawa.

Laki-laki bertubuh pendek itu tersenyum, "Terjang?". Bola matanya bersinar-sinar, seperti bola mata anak kecil yang senang diberi sebuah balon dan gula-gula. Naya sigap berdiri, matanya yang bulat mengisyaratkan antusias yang penuh. "Ayo!"

Air hujan mulai menyentuh kulit mereka, membasahi seragam pramuka yang dikenakan, membasahi pikiran yang seharian telah jenuh dijejali materi-materi yang terpaksa masuk kemudian keluar lagi, lewat telinga kiri. Saat itulah untuk pertama kalinya Naya merasa bebas sebebasnya, senang meledak-ledak, gembira meluap-luap, tertawa sesukanya. Tak peduli dengan petir yang menggelayuti nyali. Tak gentar dan terus menerjang meskipun kilat menjilat-jilat. Mengecipak-cipakkan genangan air, menciprat-cipratkan kenangan yang takkan pernah terulang untuk kedua kalinya.

Perempuan periang itu tersengal, lelah karena perutnya kaku, terpingkal-pingkal melihat tingkah Ranu. Ranu yang juga merasa aneh dengan momen ini, tak mengerti apa yang sedang terjadi—tepatnya yang dia rasakan. Kepada satu-satunya perempuan yang dekat dengannya, selama ini. Dengan senyum yang baru kali ini dia rasakan getarannya.

100 meter lagi, rumah bercat pink yang diteduhi pohon mangga itu terlihat. Naya menghentikan langkahnya. Berat untuk mengucap, tapi harus sebelum terlambat.

"Ranu?"

"Apa, Nay?"

naya tersenyum simpul, namun hatinya berkata tidak. "Aku cuman bisa anterin kamu sampek di sini aja, aku udah di jemput"

lantas Ranu melihat-lihat sekitar, barangkali Umi Naya telah datang menjemput. "Mana Umi, Nay? Udah deh kamu aku anterin aja kalo misal kamu capek"

Naya membalikkan badan, dan seketika itu alam berubah. Langit tak lagi kelabu. Putih, hanya berdua, hanya mereka berdua, dan langit cerah yang belum pernah Ranu lihat di belahan bumi manapun. Dan Naya tidak lagi mengenakan seragam pramuka yang basah dan kotor.

"Aku harus pulang, Nu. Rumahku bukan di sini lagi. Maafin aku, salam ke keluargamu". Entah darimana cahaya yang datang itu. Yang jelas Naya berjalan menghampirinya. Seketika itu lidah Ranu kelu, sama sekali tak dapat bergerak, kaku. Hanya beberapa isyarat agar Naya kembali. Bungkam, hatinya menjerit. Sesekali mengumpat karena sama sekali tak dapat mengejar sahabat yang dicintainya itu. Perlahan tetesan air mata jatuh ketika dia bersimpuh tak lagi kuat menahan tenggorokannya yang sakit, menahan teririsnya hati karena semuanya hanyalah mimpi dengan kesenangan yang semu. Please jangan tinggalin aku, Nay.

"NNNAAAAAYYYYY!!!!!!!!!"

***

Duduk di teras dengan tatapan kosong dan putus asa. Menyesali menjadi seorang laki-laki cengeng akhir-akhir ini. Menyesali otaknya yang selalu merekam ulang hal yang pernah ia alami bersama Naya. Ketika ia mengkhianati kehadiran seorang Naya, menolaknya mentah-mentah untuk sekedar menemani hari yang membosankan waktu itu, sempat mencari seorang sahabat pengganti lantaran fitnah yang menjebaknya hingga terperosok dan sulit keluar, meninggalkannya sendirian sekian tahun dan terbahak ketika Naya harus menghadapi masalah-masalah hidupnya sendirian.

Mengutuki dirinya sendiri karena masih mendapatkan kata maaf dan senyuman tulus atas perbuatan yang tak sepantasnya ia lakukan pada orang yang bersedia menunggunya kembali meskipun itu memakan waktu ribuan tahun, pergi hanya jika diminta, dan kembali memberikan pertolongan sebelum diminta.

Seminggu sudah sejak kecelakaan maut merenggut nyawa Naya, dan seminggu sudah sejak malam itu Naya berpamitan pada Ranu dalam mimpi.

Sepi, hanya sepi...

Jam menunjukkan pukul 3 sore, ba'da asar. Harusnya tepat sekarang, Naya datang ke rumah Ranu dengan sepeda gunung kesayangannya, sambil membawa sekotak kue tart bertuliskan "Ranu 17th". Mata bulat yang berbinar-binar dan senyum yang getarannya menyentuh mata hati. Berceloteh ini itu, bahkan kebanyakan tidak penting.

Pelan-pelan, ia rogoh saku celananya. Mengambil selembar surat, surat terakhir yang baru kali ini Naya tulis dengan tangan, dan cap darah.

Hidup di bumi, ternyata tak semudah yang aku kira sebelumnya, tak sesederhana yang orang tuaku selalu katakan sebelum aku beranjak tidur. Apa kamu tahu bintang? Merekalah yang memberiku jawaban tentang bagaimana keadaanmu. Merekalah yang menjawab ketika aku sudah tak kuat lagi untuk berpijak. Aku lelah kawan. Aku tak ingin menjadi simfoni yang kekurangan 1 nada, aku tak ingin menjadi putih tanpa hitam, dan aku tak ingin hidup dalam kesedihan tanpa kesenangan, menjalani hidup tanpa uluran tanganmu. Tak ingin lagi berjalan sendirian dengan buih-buih ombak yang malu-malu menyelimuti sebagian kakiku. Aku punya jawaban dari apa itu soulmate, soulmate itu adalah kamu, apapun kamu yang bisa melengkapi simfoniku, menjadikan putih dan hitam bersandingan, menjadikan kesenangan sebagai ending kesedihan. Dan bisakah kamu katakan, bagaimana nantinya aku akan dikenang??

***

SoulmateWhere stories live. Discover now