Yang seorang Lafea Qudsi tahu soal cinta adalah dimana dua perasaan saling membalas dan mengasihi satu sama lain. Namun sayangnya, gadis yang kini usianya menginjak kepala dua itu tidak pernah benar-benar merasakan hal tersebut. Karena menurutnya, cinta adalah dimana kedua perasaan saling membalas, seperti apa yang aku katakan barusan.
Bukan seperti posisinya saat ini.
Posisi dimana ia melihat laki-laki itu bak menemukan sesuatu yang berharga, namun tidak dengan sebaliknya. Posisi dimana ia selalu bersedia mengasihi laki-laki itu sepenuh hati, namun lagi-lagi tidak dengan sebaliknya. Karena nyatanya, ia menyimpan perasaan itu sendirian, dalam-dalam, dengan diam.
Tidak pernah ada yang tahu kalau sejatinya Fea menyukainya. Tidak pernah ada yang tahu kalau sejatinya, secara diam-diam, Fea sering mengamati dirinya saat berkumpul bersama Gilang, Eki, dan Rafi. Dan tidak pernah ada yang tahu kalau sejatinya Fea seringkali ikut merasa khawatir saat mengetahui dia pernah ikut-ikutan berkelahi bersama yang lain.
Tidak pernah ada yang tahu, karena mungkin dasarnya wanita terlahir untuk mahir menyembunyikan perasaan? Entah, aku juga tidak tahu. Tidak juga dengan Fea.
Dan perasaan itu masih sama hingga detik ini. Detik dimana ia mendapati sosok laki-laki itu berdiri dengan keadaan kacau—rambut yang acak-acakan, kemeja kusut, dan tatapan mata yang sendu meski ia menyempatkan diri untuk tersenyum kepada Fea—di depan rumahnya.
Laki-laki itu mendongak, menghadap Fea yang sudah berdiri di depan jendela kamarnya di lantai dua dengan sedikit kaget atas keberadaan laki-laki itu di depan rumahnya. Sebuah senyum terlukis di wajah lelah laki-laki itu, senyum yang bahkan semenjak masa putih abu-abu hingga kini mereka sudah menginjakkan usia berkepala dua masih membuat jantung Fea berpacu gila-gilaan.
"Evan," gumam gadis itu.
Buru-buru ia melangkahkan kaki keluar kamar menuju pintu utama, tanpa memperdulikan fakta bahwa dirinya hanya mengenakan baju tidur berbahan katun tipis yang membuat angin malam dapat dengan mudah menghunus permukaan kulit.
Selagi Fea membukakan pintu, gadis itu sempat melirik sekilas ke arah jam dinding di ruang tamu yang menunjukkan pukul satu malam. Dan seketika rasa khawatir muncul ke permukaan.
"Astaga," pekiknya saat Evan menubrukkan tubuhnya ke tubuh Fea tanpa aba-aba, satu detik setelah Fea berhasil membukakan pintu. Lantas, hidung Fea yang masih normal, cukup peka terhadap bau apa yang tercium dari tubuh Evan; alkohol.
Positif, Evan tengah mabuk.
Dengan sabar, Fea menuntun Evan ke sofa ruang tamu yang tidak terlalu jauh dari posisi mereka semula. Lalu, ia segera mengunci pintu lagi, sebelum kembali memapah Evan menuju kamarnya di lantai dua. Takut kalau ketahuan kedua orangtuanya yang sedang terlelap di kamar mereka di dekat ruang tamu.
Setelah berhasil memasuki kamar, Fea dengan telaten memposisikan tubuh Evan di atas tempat tidurnya. Mata laki-laki itu terpejam selagi Fea melepas sepatu dan kaus kaki Evan. Napasnya perlahan mulai teratur, meski gumaman-gumaman tidak jelas kerap kali terucap dari mulutnya.
Melihat kondisi Evan yang seperti ini, Fea menghela napas berat. Pasalnya, malam ini bukanlah yang pertama kali Evan datang kepadanya dengan keadaan seperti ini. Fea tidak tahu persis sudah keberapa kali Evan mendatangi rumahnya dengan kondisi seperti ini. Mungkin malam ini adalah kali ketujuh? Atau mungkin kali ke delapan? Entah, Fea tidak terlalu ingat.
Yang pasti, ada sepercik perasaan senang saat mendapati sosok Evan disini. Namun tak dapat dipungkiri, perasaan khawatir itu juga ada disana. Melebur menjadi satu.
Beberapa saat kemudian, Fea segera mengambilkan sebuah baskom berisi air hangat beserta sebuah handuk kecil di tangannya. Dengan sabar gadis itu mengompres dahi Evan agar merasa sedikit lebih hangat, mengingat sedingin apa cuaca di luar tadi. Laki-laki itu hanya menggeliat sewaktu Fea melakukannya, namun tak urung akhirnya ia kembali terlelap juga.
Setelah itu Fea berusaha membuka kemeja Evan yang membaluti dalaman kaus putih polosnya agar laki-laki itu dapat bernapas lebih lega. Lalu, Fea menyelimuti tubuh laki-laki itu, sebelum memilih untuk duduk bersila di pinggiran kasur dan menatapi wajahnya.
Matanya yang terpejam diiringi wajah damainya saat tertidur memberikan getaran hangat tersendiri di sudut gadis itu. Dan ia cukup senang saat tahu kalau dirinya masih di butuhkan oleh Evan. Terbukti dari laki-laki itu yang lebih memilih untuk mendatangi rumah Fea disaat keadaan terburuknya seperti ini daripada rumah teman-temannya yang lain.
Tak lama kemudian, mata Evan sayup-sayup terbuka. Kepalanya menoleh kesana kemari hingga ia berhenti di satu titik, yaitu dimana Fea berada. Mengetahui Evan yang mencarinya, gadis itu pun menyunggingkan senyum kecil. Yang kemudian dibalas oleh Evan dengan gumaman, "Jangan pergi."
Gumaman yang sama seperti yang sebelum-sebelumnya.
Fea hanya terdiam kala mendengar gumaman Evan itu. Dan perlahan, senyumnya memudar. Di detik berikutnya gadis itu menunduk, matanya teralih pada sesuatu yang menggenggam telapak tangan kanannya, yang kemudian berubah menjadi sebuah usapan lembut.
Fea menatap genggaman Evan pada tangannya itu dengan nanar. Karena hampir di setiap kali Evan datang ke rumahnya dengan keadaan seperti ini, laki-laki itu selalu menggenggam tangannya. Kemudian menatapnya berbeda dari tatapannya saat mereka tidak berada di jarak seintens ini. Bukan tatapan kepada seorang teman, tapi lebih dari itu. Namun justru tatapan itulah yang selalu menghancurkan hatinya di setiap kedatangan Evan dengan keadaa seperti ini. Karena selanjutnya, yang dapat di dengar gadis itu adalah sebuah gumaman yang lebih menyakitkan,
"Jangan pergi, Ca. Jangan pergi."
Dan faktanya, tatapan lebih dari seorang teman itu tidak benar-benar ditujukan untuknya. Mungkin Evan berbicara kepada Fea, namun sayangnya bayangan yang ada dalam mata laki-laki itu seratus persen bukan Fea. Ada orang lain, orang lain yang selalu Fea inginkan untuk dapat digantikan posisinya di hati Evan.
"I miss you, Norikha Risya Akbar. I miss you."
Selanjutnya, yang Fea tahu adalah dirinya sudah masuk ke dalam dekapan laki-laki itu. Mereka berbaring dengan posisi yang saling berhadapan, dengan wajah Fea yang terbenam di dada laki-laki itu.
"Gue sayang lo, tolong jangan pergi. Gue sayang lo."
Fea memejamkan matanya sewaktu Evan mengatakan hal tersebut. Menikmati tiap detiknya dengan posisi yang cukup mendominasi ini. Meski sejatinya ia tahu kalau kalimat itu tidak benar-benar ditujukan untuknya dan membiarkan rasa sakit menghancurkannya sebentar lagi.
"Gue juga sayang lo, Van..." balasnya, bersamaan dengan turunnya bulir-bulir airmata yang sudah memenuhi pelupuk matanya sedari tadi. "Bener-bener sayang lo."
***
18.06.17
23;20 WIB
KAMU SEDANG MEMBACA
The Way She Loves Him
Short StoryHe never know the truth, 'cause silence is the way she loves him. *** copyright © by annisa nanda