BAGIAN I : Bagaimana Sisi Lain Diriku Lahir

7 1 0
                                    

Kami keluarga yang miskin. Ditambah lagi ayahku yang seorang pemabuk. Aku tidak tahu kenapa ibu mau menikahinya dulu. Ketika sedang tinggi, seperti biasa dia akan menyebarkan teror dirumah dan semua orang akan pura-pura tidur agar tidak membuatnya semakin marah dan mulai menghajar kami semua. Namun tak seorang pun bisa luput darinya. Rumahku seperti neraka dan bajingan itu sebagai iblisnya. Aku tahu sebagai iblis dia tidak bisa meninggalkan sarang nerakanya,  maka kami selalu berdoa pada Tuhan agar kami dikeluarkan dari neraka ini. Atau,  kalau Tuhan tidak mau melakukannya karena kami terlalu kotor di surga, maka biar kami jadikan iblis itu menyesal berada di neraka.

Saat itu umurku 10 tahun. Aku dan adik perempuanku sedang merayakan ulang tahun ibu. Kami harap ibu bahagia.  Namun ibuku hanya tersenyum kecil, memar di sekitar wajah bekas pukulan ayah membuatnya kesakitan jika terlalu banyak tersenyum,  jadi kami mengerti. Sebenarnya tidak ada yang bisa aku dan adikku berikan untuk hadiah ibu,  kami hanya memberikan kertas berisi ucapan doa dan cinta yang kami sedikit warnai dengan krayon seadanya.
"Bu,  ayo kita keluar" adikku memohon.
"Sebentar lagi ayah pulang,  kalian saja yang keluar ya. Pergilah ke taman bermain dan jangan pulang cepat. Jonah? "
"Iya ibu? " ibu memanggil namaku.
"Ajak adikmu bermain,  dan pulanglah pada tengah malam. Kamu mengerti ibu kan, sayang?"
"Kenapa?  Karena ayah akan memukuli ibu lagi?"
"Kali ini tidak akan,  Jonah. Kita akan membuatnya menyesal berada di rumah ini."
                                ***

Aku bisa melihat dari jam raksasa yang ada di salah satu bar dekat taman bermain bahwa kami sudah menunggu sejak pukul 19.00 sampai 22.45. Kami tidak benar-benar bermain. Kami hanya duduk dan mondar-mandir sambil memikirkan apa yang terjadi pada ibu dirumah. Apa ibu dipukuli? Apa ibu bisa kabur?  Apa ibu sudah mati? Semua hal buruk terlintas di benakku.
"Jane?"
"Ya Jonah?"
"Ayo kita pulang!"
"Tapi kata ibu...
"Kita tak akan benar- benar pulang. Kita akan mengintip dari halaman bibi Kate. Hanya memastikan ibu baik-baik saja."

Aku menggandeng tangan Jane dan berjalan cepat menuju rumah. Sesudah sampai di halaman rumah Bibi Kate, kami langsung bersembunyi. Tapi anehnya aku tidak dapat melihat ada sesuatu yang aneh. Rumah kami tidak berkorden, lampu selalu menyala, dan terlalu kecil sehingga kami bisa melihat semua isi rumah dari jendela depan. Tapi tidak ada perkelahian, atau lebih tepatnya pembantaian, tidak ada ayah,  tidak ada ibu,  tidak ada apa-apa. Aku memutuskan untuk mendekat dan Jane tetap bersembunyi di halaman Bibi Kate. Aku mendekat perlahan dan sesampainya di depan pintu, aku begitu takut untuk membukanya. Akhirnya aku mengintip dari kaca di samping pintu. Beberapa detik aku perhatikan kedalam,  tak ada gerakan apapun. Dan tiba-tiba ibu lewat! Gerakannya sangat cepat. Aku begitu kaget sampai aku hampir terjatuh ke belakang. Aku sadar semua baik-baik saja. Ibu baik-baik saja. Namun, ketika aku ingin membuka pintu, aku mendengar suara ibu menangis.  Semakin lama semakin keras,  semakin keras,  semakin keras,  semakin keras... dan ibu menjerit. Karena reflex, aku langsung menerjang pintu dan masuk ke dalam. Aku berlari menghampiri ibu yang sedang duduk di lantai sambil menangis histeris. Tunggu? Apa itu? Saking kagetnya aku langsung tersungkur ke belakang. Aku menjauh dari ibu.
"Jonah,  jangan lihat nak!" lirih ibu. "Ibu menyuruhmu kembali saat tengah malam!!" kali ini ibu berteriak.

Aku masih merangkak,  menyeret tubuhku mundur.
"Ibu, apa kita akan makan daging?  bukankan besok bukan natal? kenapa pisau ibu penuh darah?" aku begitu ketakutan.
Ibu seketika berhenti menangis. Ibu menatapku tajam.
"Berhenti mundur Jonah!"
"Aku takut."
"Jangan mundur-mundur lagi!"
Aku begitu takut untuk menghiraukannya. Aku tetap menyeret tebuhku, sampai tanganku menyentuh sesuatu yang lembek,  basah, dan dingin. Ku balikan kepalaku. Ya Tuhan!  Itu tubuh ayah.
Aku tersontak menjauh dari tubuh itu. Atau lebih tepatnya mayat itu. Tubuh ayah dimandikan darah. Ada sayatan yang cukup dalam menganga dari dada sampai perut.  Mata ayah terbelalak, sepertinya sebelum menikam ayah dengan pisau, ibu menghantam kepala ayah dulu dengan benda tumpul. Ada genangan darah disekitar tubuh ayah.  Tapi apa itu dimulut ayah?  Kuku?  Itu Jari!!!  Aku sontak melihat tangan ayah. Aku menutup mulutku dengan tanganku. Oh Tuhan, ibu memotong semua jari ayah dan memasukan semuanya ke dalam mulutnya. Karena sudah tidak tahan lagi, penuh dengan perasaan takut,  terpukul,  dan jijik aku berlari ke luar. Ibu mengejarku sampai depan pintu. Aku menghampiri Jane,  menarik tangannya,  dan berlari secepat mungkin. Tanpa arah.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 18, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

THE CONNOISSEUR of HUMAN'S FEARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang