Alina Latulip, itu nama ku. 'Latu' begitu Ayah dan teman-teman ku memanggil ku. Kata ayah sebenarnya dulu ia ingin memanggilku 'Tulip' salah satu jenis bunga yang kata ayah disukai oleh Bunda. Tetapi tak akan terdengar indah jika teman-teman kecil ku dulu yang sering berteriak memanggil untuk mengajak ku bermain, menyebut seperti ini 'Tul. . . ayo main masakan,' atau seperti ini 'Tuli. . . Ayo main karet.' Pasti terdengar lucu.
Mendengar itu, aku yang berusia 8 tahun tertawa terbahak-bahak . Aku berkata dengan sisa suara tertawa ku, 'Masa Latu dipanggil tuli, hahaha' dan ayah ku ikut tertawa. Saat itu aku dan ayah terlihat bahagia, aku masih bisa mengingat suara ayah tertawa, suara nya yang tegas ketika memarahi ku karena pulang larut malam karena mengerjakan tugas di sekolah, atau suara nya yang aneh ketika mengorok.
Kini dia tertidur di dalam peti berwarna putih, yang dipesan semalam oleh paman ku. Aku sendiri yang memilih peti ayah, terbuat dari kayu yang kuat dari antara semua peti yang ada di toko itu, peti yang agak lebar yang memungkinkan oksigen masuk. Malam itu aku berharap agar ketika ayah terbangun, dia masih dapat bernapas karena oksigen masih dapat masuk walau sudah di dalam tanah.
Begitu pikiran ku, aku masih tidak bisa percaya bahwa ayah telah menginggal. Aku berharap dia bangun walau hanya sebentar, aku ingin mendengar tawa nya sebentar saja. Aku harap dia hanya tertidur biasa, dengan posisi terlentang dan mengorok. Setiap malam aku selalu memperhatikan nya mengorok, lalu aku tertawa geli karena suara aneh yang dikeluarkan nya setiap malam. Alasan lain yang membuat ku selalu memperhatikan ayah ketika ia mengorok adalah karena aku tau dia masih hidup dan bernapas. Dia akan bangun besok pagi pukul 5, lalu menyuruh bibi menyiapkan kopi dengan gula satu sendok makan. Lalu menuju kamarku dan berteriak memanggil ku agar bangun.
Namun kini, aku tak mendengar suara nya mengorok. Ayah adalah seorang professor, ia suka menghabiskan waktu dengan membaca buku di perpustakan yang terletak di sudut kiri rumah kami, tepat nya di lantai dua. Dia dosen di Universitas Indonesia bidang departemen biokimia dan biologi molekuler.
Banyak mahasiswa bersemangat ketika belajar di kelas ayah. Walaupun sulit tapi ayah adalah dosen yang baik dan lucu, ia bahkan membuka kelas tambahan gratis bagi mahasiswa/i yang masih sulit mengerti akan pelajaran nya. Sampai-sampai dia pulang larut malam dengan wajah kusam dan kantung mata yang dapat terlihat, di balik kaca mata tebal nya.
Ayah adalah orang yang sangat berantakan dan kadang mudah lupa, kadang ia marah-marah sendiri ketika ia kehilangan kaca mata atau buku nya. Lalu aku akan tertawa karena kaca mata nya terletak di atas kepala nya. Tapi itu wajar, karena ayah selalu sendiri tanpa seorang istri yang seharus nya mendampingi nya.
Murid-murid ayah mulai berdatangan ke rumah. Mereka menangis melihat dosen yang mereka sayang tidak dapat lagi mengajar mereka, tidak dapat lagi membuat satu kelas tertawa keras karena cara nya mengajar yang lucu, ayah menyertai lawakan ketika mengajar. Aku juga melihat para dokter, mantan murid ayah dulu yang sudah berhasil menjadi dokter. Beberapa di antara mereka sudah seperti kakak-kakak ku, karena mereka sering datang kerumah untuk belajar dan membawakan ku donat kesukaan ku, aku tau waktu itu mereka sedang menyogok ayah ku untuk mengajari nya, melalui aku.
Mereka memeluk ku, aku nyaman berada di pelukan mereka yang sudah seperti kakak ku. Aku anak tunggal, wajar bila aku ingin memiliki saudara. Maka aku menganggap mereka seperti saudara. Teman-teman kelas datang, memberi bela sungkawa. Lalu guru-guru dari SMA ku, dan anggota osis yang datang dengan karangan bunga yang cukup besar.
Anggota osis datang dengan lengkap, mereka semua mencoba menghiburku. Kemudian karangan bunga kembali berdatangan, dari kampus tempat ayah mengajar, Universitas Indonesia, dari persatuan kedokteran Indonesia, dari Laboratorium tempat ayah praktek, dan masih banyak lagi. Rumah ku sangat ramai depenuhi para professor, mulai dari yang rambut nya sudah hampir botak, sampai yang masih tampan. Bahkan teman ayah dari luar negeri datang ke Jakarta. Semua sanak saudara, datang memenuhi rumah ku.
Namun bunda tidak juga datang.
Aku naik ke atas, menuju kamar ku. Aku hendak mengganti pakaian ku, karena jenazah ayah akan segera di bawa ke Gereja untuk di doakan. Aku membuka lemari pakaian untuk mencari gaun hitam kesukaan ku, yang pernah aku pakai di hari jum'at agung, ayah yang membelikan nya. Entah kemana baju itu, aku tidak dapat menemukan nya. Tapi aku tidak menyerah, aku harus mengenakan baju itu.
Sambil menyeka air mata, aku berteriak dari dalam mengatakan aku belum siap. "Latu, kamu sudah siap? buruan sayang." Itu suara tante ku, istri paman ku. Aku kesal mendengarnya berulang kali menyuruh ku segera keluar. "Latu bilang sebentar lagi tante, denger gak sih?" kata ku dengan keras. Lalu aku tidak mendengar suara ketukan lagi, yang berarti tante sudah pergi menjauh.
Mata ku melihat ke arah pintu, dan aku merasa bersalah karena membentak nya. Pasti aku telah menyakiti hati nya, aku terduduk di atas kasur dan kembali menangis.
Aku mengingat waktu ku tidak banyak, aku kembali mengangkat kepala ku dan melihat ke arah jendela kamar yang bersebelahan dengan jendela kamar milik Sean, tetangga ku. Ternyata Sean dari tadi memperhatikan ku ketika aku menangis, dia berdiri dengan segelas cangkir di tangan nya, yang aku sendiri tidak tau apa isi nya. Ia hanya memandang ku tanpa mengatakan apa pun.
Aku langsung menyeka air mata ku, aku tidak tau mengapa hari ini lelaki itu tidak berangkat ke sekolah, tapi aku tau memang Sean tidak pernah betah di sekolah. Dia bahkan tidak datang ke rumah ku, setidak nya untuk melihat ayah ku, yang dulu ketika kecil taman di halaman rumah ku, milik ayah yang selalu di rawat dengan baik, lalu dihancurkan nya ketika pertama ia belajar membawa motor. Entah dia masih ingat atau tidak, aku tidak tau.
Aku merasa terganggu karena dia terus memperhatikan ku, ibu dan ayah nya ada di bawah, mereka teman ayah ku. Dulu aku selalu mengadu jika Sean berbuat nakal pada ku, lalu dia akan menejek ku dengan sebutan 'pengadu' 7 hari 7 malam tanpa bosan.
Untung nya aku mendapatkan gaun hitam ini, aku langsung membawa nya ke kamar mandi dan mengenakan nya. Lalu turun tanpa melihat ke arah jendela lagi. Ketika aku siap, ayah langsung di bawa dengan mobil ambulance dan aku di mobil paman, duduk di sebalah tante yang dari tadi hanya diam, tidak menegurku.
Beberapa teman, guru, mahasiswa, dan dosen yang beragama Muslim langsung menuju penguburan, dan menunggu kami datang ke sana setelah pulang dari Gereja.
Semua orang menangis di dalam Gereja, ketika peti ayah tepat di depan altar dan pendeta mendoakan lalu memberkati jenazah ayah. Aku diminta untuk mengucapkan sepatah kata terakhir, tapi aku tidak mau maju dan memilih untuk diam di kursi Gereja. Untung mereka tidak memaksa aku untuk maju, mereka malah menagis.
Bersambung.
YOU ARE READING
LATULIP
Teen FictionSeperti bunga yang indah, menari tertiup hembusan angin. Aku tersenyum dan ikut menari. Menatap langit biru, langit yang sama. Tapi aku berhenti menari dan kembali melanjutkan mimpi. Tentang perjalanan nekat seorang gadis, yang tak pernah redup hara...