Sean menarik gorden, penutup jendela kamar nya yang menjadi pembatas antara kamar ku dan Sean. Jarak antara kamar aku dan dia hanya kurang lebih 2-3 meter, itu membuat nya dapat melihat kamar ku dengan jelas, begitu pula dengan ku. Sudah lama aku ingin menembok rapat jendela kamar, agar aku tidak perlu lagi melihat wajah nya setiap hari.
Entah mau kemana dia pagi ini, sekolah atau berkeliaran. Sedangkan jendela ku masih tertutup, gorden nya bahkan belum terbuka sedikitpun. Sudah 3 hari semenjak ayah meninggal aku belum beranjak sedikitpun dari rumah, ini tidaklah baik maka aku berpikir untuk bangun dari kasur dan berangkat ke sekolah.
"Aarghh.." aku mengacak-acak rambut panjang ku yang telah berantakan. Aku menggeliat merenggangkan tubuh, malas sekali rasa nya untuk pergi keluar.
Namun akhir nya aku beranjak dari tempat tidur lalu menarik gorden, membiarkan sinar matahari masuk ke dalam dan membuat ruang kamar ku dengan cat peach menjadi lebih terang. Aku arahkan wajah ku ke depan sambil mengucek mata, tepat nya kamar Sean yang sedang ada di depan mata ku, namun bukan kamar nya yang sedang aku lihat, melainkan tulisan di kertas HVS putih tertempel di kaca jendela kamar milik nya yang bertuliskan 'PEMALAS'
Aku mendongakkan kepala dan memasang muka sebal di wajah. Dia pasti sengaja melakukan ini, dia mengejek ku pemalas padahal dia bahkan lebih pemalas dari pada aku. Liat aja, aku pasti bakal pergi ke sekolah!
"Bi, bilang ke pak agus buat panasin mobil, Latu mau sekolah!" kata ku di tengah-tengah tangga yang menuju ke arah ruang makan. Tepat sekali, Bibi sedang membuat sarapan untuk kami.
Bibi tersenyum senang mendengar aku ingin pergi ke sekolah pagi ini, "Iya.. iya non siap!" jawab nya dengan semangat, diletakkan piring yang tadi nya berada ditangan Bibi ke atas meja makan, lalu berjalan keluar menemui pak agus, supir pribadi ayah dulu.
***
Di lobi sekolah, Sean mengambil kaca mata tebal milik adik kelas dan mengolok-olok nya. Dia sedang bersama geng nya yang sama berandalan seperti dia, dengan seragam yang dibiarkan keluar dan dua kancing atas seragam nya sengaja tidak dipasang, supaya dilihat seperti preman agar orang-orang takut berhadapan dengan nya. Dasar lelaki!
"Wuuih.. tebel amat ni kaca mata, beli di mana bray?" kata Sean, ia mengangkat kaca mata itu ke atas seperti sedang mengukur ketebalan kaca mata tersebut.
"Pasar loak kali bro, atau kaki lima, haha.." sambut yang lain.
Kaca mata tersebut diambil oleh salah satu teman nya dan mengenakan nya di mata nya, "Keren gak kalo gue yang make?" tanya nya pada teman-teman. Mereka semua tertawa terbahak-bahak, sedangkan adik kelas yang dirampas kaca mata nya hanya diam menunduk.
"Lebih keren lagi kalo lo belah dua rambut, trus kancing tuh baju sampe atas trus pegang banyak buku di tangan, biar jadi temen si ujang hahaha..."
Adik itu mulai meraba-raba sekitar nya, "Balikin dong kak, aku mau masuk kelas sekarang."
"Yaudah, pergi aja sana ke kelas, ngapain masih ada di sini?!" bentak Sean.
"Kaca mata nya kak, aku gak bisa liat." adik itu meminta kaca mata nya di kembalikan.
Tandi mencabut kaca mata tersebut dari mata nya dan memegang dengan tangan kiri nya, "Ambil nih kaca mata lo, gue gak butuh!"
Adik tersebut meraba-raba sekitar untuk menemukan kaca mata milik nya, tapi ia tak kunjung mendapat kan nya.
"Eit.. gak kena. Cepet ambil lama amat!"
Sean lalu mengambil kaca mata tersebut dari tangan Tandi, "Ko, tadi lo bilang kaca mata ini beli nya di kaki lima kan? berarti murah dong!" Tandi, Koko, dan teman-teman nya yang lain mengangguk sambil tersenyum jahat.

YOU ARE READING
LATULIP
Ficção AdolescenteSeperti bunga yang indah, menari tertiup hembusan angin. Aku tersenyum dan ikut menari. Menatap langit biru, langit yang sama. Tapi aku berhenti menari dan kembali melanjutkan mimpi. Tentang perjalanan nekat seorang gadis, yang tak pernah redup hara...