"aku tau apa hubungan dirimu dengan sebuah rumah." ucapku tak lama setelah duduk di sampingnya.
"apa? selalu menyambut kehadiranmu dengan suka cita?" jawabnya bersemangat
"Jangan coba-coba merayuku, imanku tak cukup kuat mendengar lelucon rayuanmu. Bisa saja aku melamarmu besok, memaksamu bersamaku seterusnya, membuatmu jatuh cinta."
perempuan disampingku ini hanya melirikku dengan pandangan malas. aku lanjutkan berfilosofi tentang dia dan rumah. Perempuan disampingku ini seperti penghuni dalam rumah. Setiap rumah memiliki pondasi. Aku tau saat ini pondasinya sudah hancur, tapi dia bertahan di dalamnya. Tak peduli akan tertimpa. Tidak, dia sudah tertimpa saat ini. Sudah "tidak ada" tapi berusaha terlihat ada, Aku menyebutnya, dia sudah mati rasa saat ini, tidak bisa membedakan mana sakit dan mana tidak, Bahkan, aku yang melihatnya pun tau apa yang terjadi padanya sungguh menyakitkan.
Dia hanya tersenyum getir mendengarku mengakhiri ucapanku. memandangi secangkir kopi, jari telunjuknya mengelus permukaan cangkir.
"tak apa..."
satu kata lirih yang keluar dari mulutnya, hampir tak terdengar tapi telingaku ini punya kemampuan mendengar diatas rata-rata. Mengapa terasa menyakitkan untukku mendengar kata "tak apa" darinya. Beginilah diriku, telah jatuh cinta dengannya.
"jadi bagaimana perjalananmu minggu lalu? aku melihat banyak foto indah."
begitulah caranya membelokkan percakapan. selalu seperti itu, dan semakin membuatku ingin menahannya terus disampingku. seakan aku bersedia bertanding dengan pasangannya demi menahannya disampingku. aku ceritakan segala keindahan yang kutemui di perjalananku. bahkan aku menyisipkan rayuan, mengajaknya untuk bergabung di perjalanan selanjutnya. Sebelum aku menyelesaikan rayuanku dia sudah cepat-cepat menggeleng. Aku tau dia akan menolak. Dia lebih suka menyakiti dirinya disini.
Dia ini selalu saja mengeyel. sudah ku bilang berulang kali untuk pergi, Ia pantas mendapat kebahagiaan lain. bahkan aku bersedia kalau harus memberimu kebahagian, aku bersedia memberimu dengan senang hati. tapi dia bersikukuh tinggal, dan menolakku.
Dia menunjukkan sebuah foto,"indah bukan?"
Bagiku foto itu tak lebih dari sebuah kepalsuan. ia bisa berbohong kepada ribuan orang yang melihat foto itu, tapi tidak kepadaku. senyummu terlalu palsu untukku yang tau segala ceritamu. aku meneguk kopiku lebih banyak. PAHIT!
"kapan kamu pergi lagi? aku titip bule satu ya, yang oke! kamu harus kenalan, nanti kenalin ke aku"
kalimat yang sama, tapi aku tak pernah bosan mendengarnya. biarlah dia bercerita tentang kesedihannya dengan cara lain, tanpa air mata. Separuh jiwanya ingin memberontak, pergi. tapi sebagian memaksanya untuk tinggal. Malam itu aku mendengar cerita lebih panjang darinya. sebuah cerita yang tak beraturan, sesekali dia berkelakar tentang politik, sesekali tentang dirinya, sesekali dia menyumpahi pasangannya, sesekali dia berfilosofi.
Dia menyulut rokok keempatnya. aku meneguk kopiku sekali lagi lebih banyak dan menelannya lebih cepat. PAHIT!