"Untuk rasa yang bernama cinta.
Bisakah engkau meruntuhkan dinding diantara kami.
Untukku bisa mengapainya,
walau hanya sesaat."- Catatan Hati Raina -
--- Happy Reading ---
Rasa itu memang ada, tapi hati ini tak ingin bersikap egois dengan bermimpi untuk mendapatkannya. Itu adalah hal yang mustahil. Dia bukanlah sosok yang bisa diraih meskipun aku menginginkannya. Cukuplah mata ini yang masih punya kesempatan memandang, tanpa bisa menyapanya. Itu lebih baik daripada harus dipaksa untuk pergi menjauh.Mungkin bagi sebagian orang, mereka akan berkata bahwa mencintai dalam diam adalah hal terbodoh yang pernah kulakukan. Mungkin mereka pun bertanya-tanya, untuk apa mempertahankan rasa cinta yang tidak memiliki masa depan sama sekali?
Aku pun pernah memikirkan hal itu. Tapi apalah daya, jika hati ini sudah menentukan pilihannya dan enggan untuk berpaling. Haruskah kubuang hati ini dan hidup sebagai manusia tanpa hati? Tentu jawabannya tidak. Meski menyakitkan, aku bahagia bisa merasakan debaran cinta itu.
"Apa kamu tidak bosan. Memandangi dia terus menerus dari kejauhan seperti itu?"
Suara seseorang dari arah belakang, langsung mengusik lamunanku. Mata yang tadinya sedang fokus menatap seorang pria di bawah sana, kini teralihkan.
"Cuma ini yang bisa kulakukan," ucapku sendu, namun tetap berusaha tersenyum. Tidak ingin gadis yang sedang menatapku saat ini, mendapatkan kesempatan untuk berkomentar pedas.
Dia sahabat baikku, Arini. Satu-satunya orang yang tidak bertingkah munafik di hadapanku. Meskipun mulutnya pedas, namun hatinya begitu murni. Ia akan selalu berterus terang bahkan meski tahu kalau ucapannya akan menyakiti perasaanku. Tidak ada topeng kepura-puraan dalam setiap tindakannya. Saat teman kami yang lain berusaha bersikap manis namun berbisa, ia justru tampil apa adanya. Tidak ada kebohongan, semua benar-benar murni kejujuran.
"Berhenti bertingkah bodoh dan jadi pengecut seperti ini, Raina," ucapnya ketus dengan tatapan mata begitu mengintimidasi. "Kalau kamu memang cinta, bilang sama dia. Apa kamu nggak capek seperti ini terus?" Ia menghela napas kesal, kedua tangannya terlihat saling meremas kuat antara satu dengan yang lainnya. Seolah ia sedang menyalurkan segala rasa kesalnya di sana. "Jujur aja, Rain. Aku tuh capek liat kamu setiap hari duduk di atap kampus kaya gini, dan itu cuma buat ngeliatin dia doang dari jauh. Kaya nggak ada objek lain aja."
Aku tersenyum lebar mendengar ucapan pedas dari Arini. Sahabat terbaik yang kumiliki. Kemarahan yang sering ia tunjukkan, merupakan caranya menyayangiku.
Sesegera mungkin aku bangkit dari tempat duduk yang andaikan bisa berbicara, mungkin saja ia pun akan berteriak, "aku bosan kamu duduki setiap hari!"
"Ke kantin, yuk! Hari ini, aku yang traktir," ucapku, menarik lengan Arini untuk meninggalkan atap kampus dan tentu saja ucapanku itu akan disambut antusias olehnya.
Setidaknya, hanya itu yang bisa kulakukan agar Arini tidak mulai menceramahi kebodohanku. Yang terus bertahan untuk mencintai seseorang dalam diam.
Arini dan makanan gratis. Adalah cara terbaik membuat sahabat terbaikku itu kembali dalam suasana hati yang baik.
"Ok. Aku tahu, kamu memang paling bisa membuatku berhenti mengomel," gumamnya seiring dengan langkah kami menuju kantin kampus dan ucapannya itu tentu membuatku tersenyum simpul.
KAMU SEDANG MEMBACA
BERDETAK KARENAMU
General FictionCinta bukan keegoisan. Bahkan di saat kamu ada di depanku. Bukan berarti, aku bisa memilikimu. Ada kalanya, Aku hanya bisa terdiam dengan sejuta inginku. Terus saja menjadi bayangan yang selalu ada di sekitarmu, namun tak terlihat. Karena rasa takut...