2. Terendap Laraku

103 13 104
                                    

"Kubiarkan seribu luka
menari dalam ruang hatiku.
Bukan karena tidak ingin mengobati,
tapi belum ada yang sanggup menyembuhkan."

- Catatan Hati Raina -


--- Happy Reading ---


     Deburan ombak di dalam hati ini, begitu kuat menghantam karang pelindung keteguhan jiwaku. Meskipun sudah berusaha bertahan, namun ombak yang datang terlalu kuat dan mulai merobohkan karang itu sedikit demi sedikit.


    Air mata yang sejak lama tertahan oleh tanggul bernama kebohongan, kini meluap. Menghadirkan anak sungai di kedua pelupuk mataku. Rasanya begitu menyesakkan dada, saat harus terus berbohong pada diri sendiri, berpura-pura kuat di hadapan semua orang. Namun di dalam hati, sebenarnya aku hampir menyerah menghadapi kejamnya hidup.

     "Ada apa? Apa terjadi sesuatu?" tanya Arini setelah tadi ia berhasil menghabiskan satu mangkok bakso, sekaligus menunggu kantin kampus mulai sepi.

     Kutatap Arini cukup lama, begitu ia mulai membuka suara. Mencoba menimbang kembali keputusan untuk membiarkan rahasia tetap jadi rahasia, atau membiarkan ia tahu beban lain yang selama ini kusimpan dalam hati.

     "Arini."

     "Ya?" Gadis itu menatapku dengan begitu serius. Sabar menunggu, apa yang akan kuucapkan selanjutnya.

     "Kenapa hidup dan mencintai itu menyakitkan?"

⏩➿⏪

     Tiga hari berlalu tanpa bisa kuhentikan. Semua memang terlihat berjalan seperti biasanya, tapi kenyataannya tidak seperti itu. Seperti ada tembok penghalang yang sebelumnya tak terlihat, kini tiba-tiba menampakkan dirinya. Tembok yang seakan sedang memanggil untuk kuruntuhkan.

     Berbekal jawaban dari Arini atas pertanyaan yang kuajukan tiga hari yang lalu. Berbekal keinginan untuk lepas dari segala luka, sore ini aku nekat berjalan menyusuri lorong masa lalu. Lorong yang menjadi titik awal dari seluruh masalah yang ada.

Riana Wulandari binti Jafar.
Lahir, 12 Januari 1990.
Wafat, 15 Mei 2011.

     Dalam diam, aku berdiri menatap ukiran di atas sebuah batu nisan. Rasanya sudah lama sekali, sejak terakhir kali aku melihat ukiran tersebut. Mungkin empat tahun yang lalu, mungkin juga terakhir tiga tahun lalu. Namun semuanya masih saja sama, rasa sakit bercampur kerinduan itu masihlah ada.

     "Maaf," gumamku dengan suara sedikit serak karena harus menahan deburan ombak kesedihan di dalam hati.

     Dia meninggal di tahun 2011 dan saat ini sudah tahun 2017. Bukankah itu artinya sudah enam tahun berlalu? Namun ternyata waktu tak sedikitpun membuat luka itu terhapus. Ia masih setia membelengguku dengan rantai tak kasat mata, yang tercipta oleh sebuah rasa bersalah akan masa lalu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 09, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

BERDETAK KARENAMUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang