1. Surya, ada apa?

7 1 0
                                    

Aku berjalan menghampiri Surya, dia duduk dipinggir kasur dengan mata yang tertuju pada selembar surat yang sudah sedikit sobek karena tadi aku merebutnya, sewaktu dia sedang membaca di ruang depan.

"Jadi untuk apa uang sebanyak itu Surya, apa kamu tidak memikirkan bagaimana cara menyicilnya?" aku bertanya geram, karena sedari tadi dia hanya diam saja. Aku hanya berdiri dihadapannya dengan jari tergenggam sehingga urat-uratnya menyembul keluar dari kulit lenganku.

"Aku bahkan tidak pernah merasakan hasil dari uang sebanyak itu Surya. 500 juta ?" ucapku tak percaya.

"Rena kamu harus tahu posisiku saat ini, semua yang aku kerjakan bukanlah proyek ecek-ecek. Tetapi aku juga butuh modal besar. Makannya aku putuskan untuk menerima pinjaman dari Bank Cahaya dengan menjaminkan rumah ini." jawab Surya setelah diam hampir selama tiga puluh menit.

Hanya suara ku yang sedari tadi terdengar di dalam ruangan ini. "Kamu tidak pernah meminta persetujuanku, itu masalah."

"Sudahlah tidak usah dibesar-besarkan, bila semua proyek ini selesai, uang bisa kembali hingga tiga kali lipat, kita bisa mendapatakan untung besar. Belum lagi bila ruko-ruko yang ada didaerah buah batu itu laku terjual, kita bisa mendapatkan keuntungan lebih banyak lagi."

"Tetapi bagaimana dengan cicilan yang belum terbayarkan hingga saat ini? Sementara sudah banyak sekali tagihan yang datang ke rumah." Aku memelankan suaraku.

"Rena ini semua aku lakukan untukmu, untuk anak kita. Aku ingin kalian tetap hidup berkecukupan tanpa kekurangan sesuatu apapun." Suara Surya mulai meninggi dan wajahnya lebih muram dari sebelumnya.

"Tetapi aku merasa tidak tenang, setiap hari ditelepon, di datangi debt kolektor. Semua membuatku ketakutan." Aku menelan ludah.

"Rena, lihat aku? Apa kamu pikir aku senang akan semua itu? Apa kamu pikir aku sengaja melakukan semua ini? dengan sengaja tidak membayar cicilan hingga semua tagihan datang kerumah?" dia meremas kedua lenganku, aku meringis kesakitan.

"Kamu tidak pernah mau tahu dari mana aku bisa mendapatkan semua kenyamanan yang kamu miliki selama kamu ada di dalam rumah ini." ujarnya

"Baiklah kalau begitu. mungkin malam ini aku tidak bisa pulang, ada beberapa pekerjaan dikantor yang harus aku lakukan. Tidak usah menungguku." Dia menyambar kunci mobil yang tersangkut diatas lemari kaca, lalu pergi begitu saja tanpa mengambil jaketnya.

"Surya, jangan pergi!" ucapku lirih.

Dia tidak menghiraukannya, tanpa melirik sedikitpun kepada Sabille yang sudah tidur sedari tadi. Dia langsung keluar rumah tanpa pamit.

Perubahan Surya ini sudah berlangsung beberapa bulan terakhir. Setiap aku menanyakan tentang cicilan yang tersendat ke bank. Dia selalu menghindar. Bahkan tidak pernah mau membicarakan hal itu kepadaku. Walaupun sudah kudesak. Bahkan untuk bersenda gurau dengan Sabille pun, dia sudah tidak ada waktu lagi.

**

Namaku Rena, selama tiga tahun terakhir ini aku hidup bersama Surya suamiku tercinta dan seorang anak perempuan kami yang berusia dua tahun yang bernama Sabille Pradita, dia sangat sehat dan cantik. Lebih mirip denganku, kulit yang putih, rambut hitam yang sedikit ikal dan hidung yang mancung. Sungguh sangat sempurna. Dia sudah bisa berjalan bahkan berlari dan berbicara tetapi masih belum jelas.

Aku merasa kehidupanku sangat sempurna, dengan sebuah rumah kecil yang asri tidak terlalu luas, tetapi bergaya minimalis dengan cat putih dan dikombinasi dengan abu. Rumah ini berisi perabotan mahal dan serba putih, semuanya aku yang memilih dan mendesignnya sendiri.

Semua kebutuhan juga selalu terpenuhi. Sehingga aku tidak perlu bekerja keras untuk mencari uang membantu penghasilan suamiku. Karena semua sudah tercukupi.

Surya adalah seorang suami yang sangat luar biasa sabar, sangat pandai dalam mengatur keuangan dan sangat mencintaiku. Setiap pagi aku bangun tidurpun kusadari diriku selalu merasa kalau aku sangat mencintainya. Surya tidak terlalu tampan, tetapi dia memiliki tubuh yang tinggi dan tegap juga orang yang sangat memperhatikan penampilan.

Surya adalah anak pertama dari dua bersaudara yang meneruskan bisnis ayahnya dibidang property dan bangunan. Kami adalah teman satu kampus dan satu fakultas di Universitas Swasta di Bandung didaerah cieumbeuleuit. Aku mengenalnya dari sahabatku Anya, yang dulu rumahnya berdekatan dengan orang tua Surya di Bandar Lampung. Tetapi setelah lulus kuliah Surya tidak mau kembali ke Lampung dia ingin tetap di sini bersamaku hingga akhirnya kami menikah walaupun aku tidak mendapat restu dari orang tuaku tapi aku tetap mengambil keputusan untuk menikah dengan Surya.

7 September 2015

"Rena, malam ini aku pulang agak malam. Masih ada meeting di kantor. Proyek di Sumedang belum selesai, aku harus memastikan material bangunan harus tersedia semua dalam minggu ini." Katanya di telepon sore ini.

"Iya Surya, tetapi tadi ada yang telepon dari Bank tapi gak bilang apa-apa." Jawabku.

"Ya,mungkin nanti mereka telepon lagi." Jawabnya enteng.

Malam itu ternyata Surya tidak pulang kerumah, aku sudah menunggu hingga larut malam dan akhirnya aku tertidur, untung malam itu Sabille tidak rewel.

Sampai tiba-tiba aku terbangun karena alarm yang berbunyi tepat jam enam pagi. Sadar kalau Surya belum juga kembali. Kuperiksa telepon genggam tidak ada panggilan yang tidak terjawab dari surya.

Itulah pertama kalinya, aku menyadari Surya mulai asing bagiku, Dia tampak sangat jauh dari jangkauanku karena lebih banyak berdiam diri menghabiskan waktu berjam-jam di depan meja kerjanya.

Memang akhir-akhir ini Surya banyak menghabiskan waktu diluar rumah, mengurusi bisnisnya yang agak menurun tampak sekali. Surya memang ingin aku menjadi ibu yang hanya mengurusi rumah tangga. Dia tidak mau aku ikut terjun dalam urusan bisnisnya.

Maka dari itu aku tidak pernah ikut campur dalam hal apapun yang berurusan dengan pekerjaannya. Bahkan aku baru satu kali mampir ke kantornya. Sungguh aneh memang, selain memang aku enggan kesana, Surya juga tidak mengijinkan aku untuk sering-sering datang ke kantornya.

Lalu ada yang mengetuk rumah, aku lirik jam masih menunjukkan pukul 7.30 pagi. Aku mengintip dari jendela rumah, kulihat seseorang yang berbadan besar hitam dan berjaket kulit berdiri didepan pintu rumah sambil membawa sebuah tas ransel besar.

Kubuka pintu, "cari siapa ya Pak ?" orang itu berumur sekitar 35 tahun.

"Benar ini rumah Bapak Surya Pradita ya bu?" katanya sopan dengan logat batak yang kental.

"Betul Pak, tetapi Bapak nya tidak ada di rumah, semalam tidak pulang," tanpa kupersilahkan masuk, aku hanya mengintip dari sela-sela pintu yang sedikit kubuka.

"Kapan kembalinya bu, sulit sekali saya menghubungi Pak Surya ini, ditelepon juga tidak pernah mau diangkat." Di bersandar dipinggir pintu.

"Loh, memang ada keperluan apa ya Pak?"

Dia mengeluarkan secarik kertas dari tas ranselnya yang tampak sangat berat, "Ini ada surat peringatan dari Bank Cahaya, masalah tagihan pinjaman multigunanya bu, Pak Surya belum juga lakukan pembayaran selama 6 bulan. Bila sampai bulan ini belum juga ada pembayaran, rumah ini akan disita oleh pihak Bank Bu."

Aku kaget dan tak percaaya, rumah ini adalah harta kami satu-satunya, yang kami dapatkan dengan susah payah kami bangun sedikit demi sedikit.

Bukankah seminggu lalu kami sudah mendapatkan surat tagihan? Ternyata hari ini yang datang surat peringatan.

Aku baca isi surat itu, tertera hutang yang belum dibayar sejumlah 350 juta, dari hutang sejumlah 500 juta. Aku sempat terdiam dan hanya masih memandangi selembar surat itu. Aku tidak mengerti kenapa kemarin Surya bilang cicilan bulan ini sudah diselesaikan. Tetapi ternyata belum sama sekali.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 24, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Thinking Out Loud RenaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang