Mobil yang di tumpangi oleh keluarga kecil itu melintasi jalanan aspal yang sepi. Papa dan Mama saling bercakap-cakap, mengisi kesunyian perjalanan. Sementara Nona melempar pandangannya ke luar mobil. Memperhatikan pemandangan yang di sajikan.
Nona melirik kedua orang tuanya yang tertawa, entah karena apa, mungkin karena selera humor Papa yang tinggi.
"Kalau kita kena macet, berarti besok-besok kita yang milih-in baju buat Mama." Papa menatap Nona dari kaca spion. Meminta persetujuan Nona.
Nona tersenyum, lalu mengangguk, " Liat aja."
Mama memutar sedikit badannya ke arah Nona, "Kamu harusnya dukung Mama, dong"
"Mana ada kayak gitu." Papa melirik Mama, Papa tidak akan kehilangan satu suara.
Mama mendengus, "Nggak apa, toh, kan macet juga bareng-bareng." Mama mengeluarkan opininya.
Beberapa sekon berikutnya, hening melanda. Baik Nona maupun Papa benar-benar memikirkan kata-kata Mama.
Macet bareng-bareng? Bukannya emang macet itu berarti rame? Nona baru saja hendak membuka mulutnya, namun suara Papa sudah terlebih dulu menginterupsi.
"Emang ada macet sendiri?" Tanya Papa bingung, "Ada-ada aja, sih"
"Eh, ada, loh, Pa." Mama tidak mau kalah, "Mogok. Kan kita berhenti sendiri, alias, macet sendiri." Lalu suara tawa Mama memenuhi mobil, hanya suara Mama. "Ah, kalian tuh kompromi, ya?"
Papa geleng-geleng mendengar tuduhan Mama, "Bukan kompromi, tapi telepati. Betul, Nona?"
Nona tertawa, tapi langsung terdiam di sekon berikutnya, "Pa, Ma, kalau Mama sembuh, kita bakal balik lagi, nggak?" Nona menatap kedua orang tuanya, menunggu jawaban, tapi baik Mama maupun Papa tetap bungkam.
Papa berdeham, "Yah, macet, kan. Mending kamu tidur dulu, kalau udah sampe nanti di bangunin." Papa tersenyum, senyum yang di paksakan.
Nona mengangguk lesu, dia tidak mendapatkan jawaban. Tapi, dia bukan anak pembangkang yang manja. Toh, mau dimana pun, asalkan ia tetap bersama kedua orang tuanya. Ia tetap bahagia.
Saat Nona menutup mata. Tangan Papa menggenggam tangan Mama. Mama menatap Papa lalu mengangguk. Matanya seolah-olah berkata, Mama akan berusaha.
💎
Nona membuka matanya perlahan. Mobil mereka memasuki sebuah komplek perumahan, "Udah sampe?" Nona mengusap matanya pelan.Mama menoleh, "Udah, benerin dulu itu rambutnya."
Beberapa menit kemudian, mobil merapat ke sebuah rumah sederhana. Nona mengingatnya, itu rumah tantenya.
Papa dan Mama turun, di susul Nona. Banyak anak-anak yang bermain di jalan. Komplek perumahan ini benar-benar hidup.
Mama memeluk seorang perempuan yang Nona yakini adalah adik Mama, tante Inna.
"Ini pasti Nona? Siapa lagi? Inget Tante? Aduh, dulu kamu itu banyak banget nanya, lho." Tante Inna segera memeluk Nona begitu matanya menangkap sosok Nona yang ada di belakangnya.
Nona tersenyum, tadinya ia sudah bertekad untuk menjawab pertanyaan yang di ajukan oleh Tante Inna. Namun, sepertinya Tante Inna tidak membutuhkan jawabannya.
"Ayo, masuk!" Ajak tante Inna seraya membantu Papa dan Nona yang membawa barang.
Mereka hanya membawa dua tas yang berisi baju Mama dan baju Nona. Mereka berdua akan tinggal di rumah tante Inna, sementara Papa akan tinggal di rumah yang di sediakan kantor. Mereka sudah pernah membahas hal ini sebelumnya, Nona benar-benar berharap dapat bersama keluarga kecilnya saat tiba di Ibu Kota tapi, apa daya, Mama membutuhkan pengobatan di Rumah Sakit yang terletak di dekat rumah tante Inna.
Malamnya, Papa kembali ke rumahnya yang di sediakan oleh kantor, rumah Papa di Ibu Kota. Mama tidur di kamar tamu, sedangkan Nona tidur di kamar putri tante Inna yang sedang berkuliah di luar kota.
Malam belum larut saat Nona, Mama, dan tante Inna melepas kepergian Papa. Masih banyak manusia yang berada di luar rumah, mengingat bahwa hari esok masih tanggal merah.
Tante Inna di sapa oleh seorang anak perempuan dengan rambut panjang sesiku. Dan, senyum tante Inna mengembang senang, "Nona, kamu inget Una?"
Nona membatalkan niatnya untuk masuk ke rumah, Ia menoleh, tersenyum. Tentu Ia ingat Una, teman tomboy masa kecilnya tapi, tunggu sebentar. Jika yang tante maksud adalah anak perempuan yang di samping tantenya, Nona tidak mengenalnya sama sekali, kecuali, senyum lebarnya yang menawan. Ia menatap Una lekat, dan Una, seorang anak perempuan yang sebaya dengan Nona, rambutnya hitam legam, keriting, dan panjang sesiku. Menatap Nona dengan cengiran lebar.
"Wah, bukannya dulu rambutnya panjang?" Una nyengir.
Nona terkekeh, "Oh, Una yang sering main bola pake baju cowok Kemana, ya?"
"Wah, kamu masih inget?" Una menatap Nona dengan pandangan tak percaya.
Lagi-lagi, Nona terkekeh, "Ingatan aku itu bagus, lho"
Una menatap Mama yang masih di ambang pintu, Una melakukan beberapa percakapan, lalu setelah memberi salam, ia menarik tangan Nona keluar rumah.
"Nonanya ku pinjem, ya, tan!~" Una segera berlari menarik Nona keluar dari rumah. "Coba kita liat, kamu beneran inget atau nggak," Langkah Una lebar, ia setengah berlari, tujuan Una bulat, rumah di seberang rumah tante. Rumah keluarganya.
Nona mengingat mereka cukup bak tapi, Nona tidak menyangka ia akan bertemu secepat ini. Ia merasa belum siap. Nona terpaksa mengikuti langkah lebar Una. Keadaan beranda rumah Una ramai, Nona tidak dapat menebak siapa Ken, siapa Alkan. Belum.
Seseorang merangkul Una dari belakang, "Wow, coba kita liat. Siapa yang jadi tamu nona Una malam ini?" Suaranya dalam dan berat, menghanyutkan, sekaligus menenangkan.
Nona menatap laki-laki itu, dia baru saja menebaknya.
"Wah, dia bukan tamu aku doang, lho. She is our guest." Una mengalihkan pandangannya dari laki-laki itu ke Nona. Matanya seolah berbicara, tebak-ini-siapa.
Nona tersenyum, ia tahu jawabannya tepat, " Pasti, Ken. Bener, kan?"
Seorang lelaki yang sedari tadi duduk bermain gitar bersama anak kecil angkat suara, "Sayang sekali, jawaban Anda salah, nona—hmm. Siapa namamu? Ah, yang jelas. Ken, ada di sini. Sedang menarik hati anak perempuan yang polos di komplek ini."
Ken tersenyum saat mengacak-acak rambut salah satu anak perempuan yang sedang menikmati permainan musik Ken.Nona terdiam, ia keliru? Ia menatap lelaki yang tadi merangkul Una. Dia Alkan? Ia menyapa Una dengan luwes, dia benar-benar Alkan? Jadi, tidak ada lagi Alkan yang pendiam? Tidak ada lagi Alkan yang tidak peduli? Entah kenapa, dengan pemikiran seperti itu, jantung Nona sedikit berdegup tak karuan.
Alkan tersenyum, senyum yang belum pernah Nona lihat. Senyum yang belum ia ketahui, "Jadi, kamu siapa? Kamu belum jawab pertanyaan Ken. Apa kamu, temen special Una?"
Nona hampir membelalak mendengar Alkan bertanya kepadanya. Tidak ada penolakan seperti dulu. Nona tidak tahu apa dia special atau tidak untuk Una. "Namaku Nona, salam kenal" Nona mengakhiri kalimatnya dengan senyuman.
💎
•
•
•
Hola!~
Maaf, ya. Updateku terlalu lama. Itu semua di karenakan, aku yang masih menimbang-nimbang ceritanya. Jujur, karena ini semua baru awal, jadi masih terlalu kaku.
Sekali lagi, aku minta maaf sedalam-dalamnya, lebih dalam dari sumur rumah, kok. (Canda dikit boleh, lha, ya)
And, Good bye, friends. See you at the next chapter~^^

KAMU SEDANG MEMBACA
Hidro karbon
JugendliteraturKisah yang menceritakan Empat orang sahabat kecil yang kembali bertemu di kemudian hari. Tidak ada yang terlupakan, tidak ada yang terabaikan. Setidaknya itu yang Nona tahu. Menurutnya kehidupannya sangatlah sempurna. Orang tua yang mencintainya, s...