Tulisan Anya - End

12 0 0
                                    


Gugup. Matanya mengawasi. Mulutku gelagapan. Tenanglah diriku, tenang. Tarik nafas, santai.

"Kamu?" Angguk. "Yakin?" Sekali lagi, angguk.

"T, tolong kembalikan." Ia mendengus.

"Menurut kamu?" Makin menunduk. Menyembunyikan wajah merah padamku. "Ini serius, pasti." Masih bungkam.

"Ma, maaf, nggak kuulangi lagi." Keringat dinginku membasahi sela-sela jari tangan.

"Jangan."

"Apa?" Wajahku terangkat. Ada wajahnya. Juga gugup.

"Aku bilang, jangan!" Wajah merah padamnya mengalihkan pandangan.

*

Gugup. Matanya mengawasi, tapi pada lantai. Hatiku gelagapan. Tarik nafas, santai. Berhasil. Wajah polosnya terangkat juga dari lantai. Ada wajahnya. Juga gugup. Aku pura-pura melihat objek selainnya.

Bebek begini nggak akan mungkin gandeng tangan sang angsa.

Kalimat keempat terakhir.

Dave juga film-kah?

Kalimat terakhir.

"Kamu bukan bebek!" Kuraih tangannya. Pucat seperti mayat. Kuberikan kertas kusutnya. "Tulis lagi. Yang paling bagus, buat aku!"

*

Kepalaku mulai berputar. Seperti carousel. Tangannya meraih tanganku. Memberikan kertas kuning kusutku. Lalu pergi berlari. Aku terhuyung menuju gerbang, masuk mobil. Kemudian pulang ke rumah.

Kutulis dengan segala lelah dan gugup. Di atas lembar polos. Baru tujuh belas kata, kepalaku mulai ribut. Pening rasanya. Tanpa sadar hidungku berdarah, lagi-lagi. Dengan setengah sadar, kupanggil mama.

*

Tubuh mungilnya tak tampak. Biasanya di situ. Di bawah pohon ceres dan di atas rumput kekuningan. Sambil menulis, atau baca. Waktu itu ia membuang sampah kertas ke arahku yang sedang kerja bakti. Kubuka, dan kulihat isinya. Pertama kali.

Hari esoknya, ia tak tampak lagi. Di kelasnya pun. Kutanya pada ketua kelasnya, ia tak tahu kenapa gadis itu tak masuk. Huh, mengesalkan. Apa dia sengaja menghindar? Tak mungkin.

Aku berjalan menuju gerbang, seperti ia yang selalu berjalan menuju gerbang tiap pulang. Ketika itu kulihat orang yang biasa menjemputnya datang. Itu ayahnya. Aku mengikuti ayahnya sampai ke ruang guru. Percakapannya tak jelas. Tapi aku menyaksikan ayah gadis itu menyerahkan sebuah surat. Setelah itu Beliau pergi.

"Bu, orang itu ayah Anya?" Bu Sefi terkejut melihat kehadiranku yang tentu tampan selalu. Beliau mengangguk. "Apa isinya?" Bu Sefi hanya menunjuk surat yang sudah terbuka itu. Aku membacanya. Kata demi kata, kalimat demi kalimat, dan paragraf demi paragraf. Ini tak mungkin.

*

Masih pening. Saat kubuka mata, ada pemandangan yang tak asing. Dan bunyi elektrodiograf dan tetesan infus terasa keras. Keadaanku kian memburukkah? Oh ya! Ke mana surat yang kutulis tadi?

"Ma, ma?" Mama terbangun dan terkejut mendengarku. Wajahnya berseri-seri. Aku bertanya mengenai surat itu, dan ternyata mama membawanya. Syukurlah. Bagaimanapun juga, itu adalah janji.

"Anya, mama beli buah dulu ya." Aku mengangguk, kemudian menatap secarik kertas yang terlihat buram di pandanganku.

Dengan sisa tenaga, kutulis apa yang kumampu. Pening ini makin membara. Sakit. Mataku buram, tanganku kaku. Tapi aku baru menulis tujuh belas kata. Aku masih menulis, tapi aku tak tahu apa yang kutulis. Suara-suara bising dalam kepala membuatku kembali mimisan. Aku lipat suratnya dan memasukkan ke amplop berwarna, entahlah. Warna apa itu? Kepalaku tak mampu menahan berat. Tanganku tak dapat bergerak. Pensil dan amplopnya, jatuh entah ke mana. Kepalaku sakit sekali.

*

"Bisa saya bantu, dik? Kelihatannya buru-buru begitu." Malu. Habis menabrak orang karena tergesa-gesa. Kuserahkan belanjaannya yang jatuh. Untung orang yang baik. Aku berkata padanya sedang mencari ruangan.

"Oh, bukankah kamu Dave? Kalau benar kamu ikut saya." Bingung. Aku bahkan tak mengenalnya. Beliau berkata bahwa seragamku sama dengan seragam anak gadisnya.

"Oh, ternyata anda ibunda Anya?" Wanita paruh baya itu tersenyum lalu mengangguk. Aku memberi ibunda Anya salam. Kemudian kami berjalan menuju ruangan yang sama. 17A.

Ibunda Anya histeris ketika mendapati Anya terbaring dengan bercak darah dari hidungnya. Pucat. Tempo elektrodiografnya melambat. Detak jantungku menderu. Aku berteriak memanggil suster. Beberapa dokter dan asistennya menghambur. Mencekam. Perhatianku tertuju pada suatu benda. Juga terkena bercak darahnya. Aku memungutnya.

*

Aku terjebak dalam gelap. Aku melihat Dave mengambil suratku. Ia terpaku. Begitu pun mama. Aku dapat menyaksikan semuanya. Bahkan tubuhku sendiri. Terkulai. Padahal operasi akan dimulai, lima belas menit lagi. Tapi Tuhan ingin cepat aku menemuinya. Apa iya?

Senyumku mengembang diiringi air yang melumer dari ujung mata. Ia membukanya. Mama juga terisak, sepertinya. Tak tega. Kala itu ayah baru datang. Juga terisak. Bunyi pip panjang terdengar melengking dalam ruangan. Terdengar sampai luar. Mereka mendengarnya. Aku ikut terisak.

Hari terakhir melihatnya. Juga ayah mama. Setelah tiga tahun penyakitku mendiami, dan juga mengaguminya selama itu. Akhirnya. Terima kasih Dave, sudah membaca surat yang bahkan aku tak tau apa paragraf yang kutulis.

*

Aku tak mampu membendung air mata sialan ini. Aku berada di sebelah mamanya. Sembari membaca surat bertandakan darah perjuangannya menulis. Suara pip panjang mencekik hati dan nafasku. Mamanya tak sadarkan diri. Aku terpaku. Sedikit tak terima. Aku baru berani bicara dengannya, dan inikah akhirnya? Andaikan waktu dapat diulang, aku ingin berani bicara padanya sejak hari dimana ia pertama kali bermain di bawah pohon itu.

Tapi, terima kasih. Kamu benar Anya. Yang kamu tulis benar sekali.

...

Ideku masih banyak kok. Tapi susah nulis, he he. Nanti kalau aku udah masuk, berangkat bareng oke? Aku bakal traktir jajan yang banyak. Sudah gitu, aku. Aku. Aku s, ssuka. Anya tau, Kak Dave suka kan sama Anya? Ann Anya jugas suka sama kakak.


Dils De BastWhere stories live. Discover now