The Fools

0 0 0
                                    


Hari ramadan telah tiba. Entah mengapa ia yang berstatus sebagai mantan, menghubungiku. Ia mengingatkanku untuk sembahyang dua hari ini. Hati ini masih saja berdegup, kala melihat layar handphoneku tertera namanya.

Aku hanya dapat membaca pesan itu tanpa membalasnya. Rasa-rasanya terlihat aneh, kenapa ia mengirimiku pesan? Pikirku dalam hati. Aku mencoba berpikir luas, mungkin saja ia mengirim pesan itu kepada teman-temannya juga, bukan hanya padaku. Aku tidak ingin membuat hati ini jadi terlalu berharap.

Kualihkan pikiranku, dengan membaca komik online yang selalu terbit mingguan. Berharap hanya akan melukai perasaanku, karna harapan selalu tidak sesuai dengan kenyataan. Hanya karna ia mengirimiku pesan, bukan berarti aku harus membalasnya.

Namun sekali lagi, hati ini merasa ada yang tidak benar. Kubuka handphoneku dan mulai mengetikan sebuah pesan. Karena kebetulan pohon mangga di depan rumahku sudah berbuah, aku menawarinya beberapa.
"Mau minta mangga gak?" Balasku sambil berdebar.

Hati ini terus saja berdebar. Detik demi detik, kupandangi layar handphone ku dengan penuh kecemasan. Ketika pesanku telah ia baca, hati ini semakin berderu begitu keras.

"Akh dia sudah membacanya, apa tanggapannya ya?" Pikiranku mulai berbicara. Pertanyaan demi pertanyaan mulai bermunculan. "Apa dia sedang mudik? Kira-kira mau datang kerumah nggak ya?"

Aku mulai asyik sendiri dengan pikiranku yang sedang bermain. Tatkala handphoneku berdering, pikiranku buyar. Hanya ada debaran-debaran keras yang aku rasa.

"Lagi panen banyak ya?" Balasnya sederhana.
"Ia nih, mau aku simpan bagianmu nggak?"
"Kalau ditawarin sih boleh aja."

Begitu senangnya, aku sampai mandi hanya karena tahu ia akan datang. Saat itu, yang aku pikirkan hanya senang bukan kepalang. Aku bahkan keramas agar rambutku terlihat bagus. Mengeringkan rambut dan merapikannya perlahan.

Saat ia mengatakan hendak melaju kerumah, buru-buru aku berdandan tipis agar tidak terlihat kusam. Kuusap bedak setipis mungkin, agar tidak terlihat bersemangat karena kedatangannya. Aku oles lipstik pada bibirku dan membuat alis senatural mungkin.

Yah hanya bagian itu saja yang aku bisa saat berdandan. Tapi setidaknya, itu membantuku sedikit dan membuatku lebih percaya diri.

Disaat aku mulai menunggu, kebiasaan lamaku kambuh. Perutku selalu saja mulas ketika tahu ia akan datang. Kebiasaan seperti itu membuatku grogi kembali. Dua hal yang selalu menggangguku adalah, debaran jantung yang kian keras dan perut mulas yang tak kunjung reda.

Rasa itu juga selalu kurasakan, ketika aku harus presentasi di dalam kelas pada jaman kuliah dulu. Selalu saja grogi ini muncul. Pada waktu kami masih berhubungan, rasa itu juga selalu muncul. Bahkan sekarang pun masih sama.

Kulihat motor parkir didepan rumah. Tandanya ia telah sampai kerumahku. Segera kuambil buah mangga yang telah aku siapkan sebelumnya, lalu ku berlari kecil menghampirinya.

"Ini." Kataku sambil menyodorkan buah mangga.
"Masa kesini cuman mau minta mangga, nggak enak kan." Ucapnya begitu melihatku langsung memberinya buah. Aku hanya refleks memberinya begitu saja, karena aku tidak tahu harus berbicara apa lagi dengannya.

"Mau minnal aidzin sama bapak?" Tanyaku perlahan.
"Ia lah sekalian."
Ia pun mengikutiku masuk kedalam rumah, kupanggil Bapakku yang sedang berada di kamar. Ia bersalaman dan mengucap salam seketika.

Setelah itu bapak mempersilahkannya duduk dan meninggalkan kami berdua di ruang tamu. Aku mengambil minuman dan membuka tutup toples nastar yang telah tersedia.

Kamipun mulai berbicang sedikit. Saat itu yang kurasakan bukanlah rasa senang lagi, melainkan perasaan sedih. Aku sebenarnya sudah terbiasa memang, melihat ia berbicara denganku namun menatapku saja tidak. Ia hanya terpaku dengan handphone nya sambil menjawab beberapa pertanyaan yang aku lontarkan.

Mataku terasa panas. Jika saat itu aku tidak menahanya sekuat tenaga, mungkin air mata ini akan langsung mengalir. Hanya dengan melihat ia tidak menatapku saja rasanya sesakit ini. Kenapa rasa ini masih saja ada!? Padahal sudah hampir setahun kami putus.

Yang aku lakukan hanya diam membisu sambil menatapnya bermain handphone. Seketika aku merasa bahwa aku ini bodoh sekali. Untuk apa juga tadi aku berdandan? Toh dia juga tidak menatapku sama sekali, hahaha bodohnya diriku.

Kenapa pula aku mengiriminya pesan? Seharusnya memang tidak usah aku lakukan sejak awal. Penyesalan demi penyesalan mulai menghantuiku. Kenapa aku begini bodoh!?

Debaran yang aku rasakan jadi terasa useless. Sama sekali tidak ada artinya baginya. Lagi pula kenapa aku selalu sebodoh ini kalau sudah menyangkut dirinya!! Sudah jelas-jelas ia tidak mempunyai perasaan apa-apa lagi terhadapku. Lantas mengapa aku masih saja merindukanya?! Ridu suaranya?!

Mengapa pula aku belum bisa move on!! Akhhh...... memalukan. Bahkan aku berdandan agar terlihat lebih baik. Seharusnya biarkan saja rambut ini kusut, biarkan wajah ini berminyak dan kusam. Toh dia sudah tidak tertarik lagi denganku.

Setelah ia pulang, air mata yang sedari tadi aku tahan tumpah seketika. Mata ini sudah tidak bisa membendung lagi cucuran air mataku. Perasaan sesalku tumpah begitu saja tanpa henti.

Lagi dan lagi, aku selalu saja merasakan perasaan sesal. Begitu bodoh dan polos.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 29, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kembali Abu AbuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang