30 7 11
                                    

Aku berdiri di tempat ini lagi untuk pertama kalinya setelah lima tahun berlalu.

Ya, halte ini. Hanya sebuah tempat sederhana yang berdiri kokoh di ujung jalan dekat sekolah kita dulu.

Gerimis yang langsung disusul hujan deras sore ini membuatku terpaksa berteduh di halte yang sudah lama tak kusinggahi, sejak hari kelulusan itu.

Mungkin, halte ini tak berarti apa-apa. Tapi bagiku ini adalah salah satu tempat berharga untukku. Tempat dimana takdir Tuhan terasa mempersatukan kita.

Ini hanyalah sebuah halte biasa. Masih ada kursi besi panjang di bagian tengahnya. Tiang-tiangnya sudah di cat kembali, hanya itu yang sedikit berubah. Tapi bagiku tidak ada perubahan yang sangat menonjol, semuanya tetap sama.

Kujulurkan tanganku. Membiarkan rintikan air hujan menari-nari berlompatan di atas tanganku. Dingin sekali. Hujan ini mengingatkanku pada sosokmu. Kupejamkan mataku. Tak dapat ku elakkan bisikan hati ini. Aku sangat merindukanmu, Jonghyun-ah~

Walau sudah berlalu lama, tapi ingatanku masih tajam. Aku masih ingat, bagaimana kau menatapku ketika aku mengigil kedinginan di sudut halte ini. Masih ingat, warna coat yang kau selimutkan untukku. Masih ingat, bagaimana hangatnya sebuah dekapan sebagai bentuk gerakan relfeksmu untuk melindungi gadis phobia petir sepertiku. Aku masih ingat, bagaimana hebatnya tanganku bergetar, bagaimana kau menenangkan tangisku. Aku masih ingat semua itu.

Sejak saat itu, aku selalu merindukan semua itu. Merindukan hujan dan semua skenario indah di hidupku. Mulai menyatukan perasaan kita, hingga kau mengikatku secara resmi setelah masa putih abu-abu itu berlalu.

Tapi... Ada sebersit kebencian yang merusak kenanganku dengan tempat ini. Kebencian itu, kebencian terhadap diriku sendiri. Benci, karena aku tidak mengerti maksud Tuhan mempertemukan kita disini. Aku benci karena aku tidak ingat sejak kapan senyummu menjadi begitu berarti. Aku tidak ingat, sejak kapan kau menyembunyikan perihal penyakitmu. Aku tidak ingat semua itu, sampai aku sadar bahwa kau telah pergi. Bagaimana lagi aku harus membenci diriku sendiri ?

Airmata ini, mengalir beriringan dengan rintikan hujan yang semakin deras. Awan tebal terus menumpahkan seluruh air yang ditahannya selama ini tanpa jeda.

Kutatap langit.
Hey, apa kau sedang menatapku disana ?

Aku merindukan masa itu.

Aku merindukanmu Kim Jonghyun-shi !

Terkadang, aku ingin marah pada Tuhan yang merebutmu begitu saja dariku. Menjemputmu lebih cepat dari sisiku, dari apa yang kubayangkan. Semua ini sama sekali tidak pernah terbesit di benakku. Ingin rasanya berteriak keras sekali, agar Tuhan tau bahwa aku sebenarnya ingin menentangnya jika bisa. Tapi, itu semua percuma. Aku hanya bisa berjalan diatas takdirnya.

Ah, aku ingin merasakan pelukan hangatmu lagi yang meredam tangisku.

Sekarang aku sedang menangis~

Peluklah aku !

" Eomma... Takut petir... "
Sebuah suara manis mewarnai indera pendengaranku. Tangan mungil yang bergetar itu meremas ujung jemariku. Tingginya yang belum sampai sepinggangku merapat ketubuhku, mengisyaratkan bahwa dia ingin dipeluk sekarang.

Segera kubuka mataku. Aku berlutut di hadapannya. Kutatap bola gadis kecil di hadapanku ini. Dia seperti ibunya, takut dengan kilatan tajam di langit itu. Kusapu airmatanya lalu kudekap dia dengan erat, seperti kau mendekapku dulu disini. Aku mencoba menenangkan tangisnya seperti kau menenangkanku dulu.

Dulu, aku selalu menangis jika mengingat tentang halte ini. Tentang hujan. Tentang petir dan tentang kepergianmu. Tapi sekarang, aku akan mencoba tersenyum ketika mengenang semua itu.

Bukankah kau pernah berjanji tak akan meninggalkanku sendirian kan ?

Itulah alasan mengapa kau meninggalkan dia untukku ?

Ya, aku tau kau tetap disiku.
Aku percaya kau tak pergi seutuhnya.
Kau masih disini, di pelukanku sekarang.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 03, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang