"Untuk Avanna. Mata kamu malam itu, Ava, aku melihat kesedihan yang besar walaupun kamu mencoba menutupinya dengan amarah" -G
• • •
Gavin menatap layar persegi panjang dihadapannya sambil sesekali tertawa. Ada juga raut sedih yang ia tampakan ketika ia mengingat bahwa, tidak ada lagi hari seperti biasanya, dimana ia bertemu dengan teman-temannya yang berada di Bandung.
"Jangan sedih gitu Vin, tenang mun aya nu macem-macem ka maneh, jenderal turun tangan," sahut salah satu temannya yang akrab disapa Ojay, yang artinya 'tenang kalo ada yang macam-macam sama kamu, jenderal turun tangan'.
"Gavin mah sedih gabisa lagi makan gorengan di si bibi," balas Davin dibalas kekehan dari teman-temannya.
"Kirain teh sedih gabisa ketemu si Monik lagi!" celetuk temannya yang lain--Rio.
Gavin bergidik ngeri mengingat nama itu. "Ih syukur alhamdulillah Gavin nggak lagi ketemu orang kayak si Monik."
Monik. Orang yang sering menggoda Gavin ketika ia masih bersekolah di Bandung, yang rajin membawakannya makanan hampir setiap hari. Dan enggan untuk Gavin makan karena takut didalamnya terdapat pelet atau semacamnya.
Informasi sedikit lagi tentang Monik, nama aslinya bernama Renaldi. Disebut Monik gara-gara ia bukan cowok tulen, tubuhnya gemulai layaknya cewek.
"Ojay gimana sama--"
BRUK!
Gavin segera menoleh ke sumber suara itu, tak lama terdengar dua orang saling berteriak satu sama lain. Gavin menutup laptopnya, menghentikan kegiatan video call bersama teman-temannya.
Ia berangsur bangkit dari kasurnya dan berjalan menuju jendela kamarnya, membuka gorden putih untuk melihat keadaan dari sumber suara tersebut.
Gavin melihat jelas kamar seseorang disebrang kamarnya, pintu kamar itu terbuka dan memperlihatkan keadaan ruang tamu dirumah itu. Kacau. Barang-barang pecah, dan semuanya tidak tersusun dengan rapi.
"AVANNA! PAPA NGELAKUIN INI SEMUA BUAT KAMU!" teriak seorang lelaki paruh baya sedari mencengkram erat tangan cewek seumuran Gavin.
"AVA BISA NGURUS HIDUP AVA SENDIRI! AVA BISA KERJA BUAT KEHIDUPAN AVA, BUAT SEKOLAH, BUAT HAL YANG AVA BUTUHIN. AVA CUMA MINTA PAPA--OH BAHKAN KAMU GABISA DISEBUT PAPA LAGI. INTINYA BERHENTI DAPETIN UANG HARAM LAGI!"
Cewek itu mulai memasuki kamarnya dan membanting pintu. Menangis sesenggukan, Gavin tidak sadar bahwa, matanya bertabrakan dengan mata cewek itu. Cewek itu menatapnya tajam, lalu berjalan kearah jendela kamarnya dan menutup gordennya.
Ini baru 1 hari ia menempati rumah barunya, dan sudah ada drama yang ia lihat. Gavin harus siap-siap kedepannya.
• • •
"Ma, denger ga semalem?"
Anis menoleh mendengar pertanyaan anaknya. "Semalem? Kenapa semalem?"
"Uh? Nggak, bukan apa-apa," Gavin segera menggeleng.
"Ih kamu suka gajelas." balas Anis mencubit pinggang Gavin dan membuatnya meringis pelan.
Gavin mulai memikirkan kejadian semalam, dimana ia menyaksikan hal yang seharusnya tidak ia lihat. Mungkin akan canggung jika nanti ia berpapasan dengan cewek itu. Tapi, Gavin tidak peduli dan melanjutkan memakan sarapannya.
"Ma, Gavin berangkat dulu ya." Gavin beranjak dari tempat duduknya lalu berpamitan pada ibunya yang masih sibuk membereskan barang-barang bekas memasak tadi.
"Jangan ngebut-ngebut bawa motornya!" perintah Anis kepada anaknya.
"Siap ibu ketua!"
Davin segera berjalan ke garasi dan menaiki motor cross kesayangannya, lalu melaju menembus angin pagi Jakarta. Ia pernah mengenal kota ini, ini kota masa kecilnya, setelah akhirnya ia dan ibunya memutuskan pindah ke Bandung.
Tidak ada yang berbeda dari kota ini, lalu lintasnya yang selalu macet, orang-orang yang sedang deadline kerja, atau siswa-siswi yang hendak pergi sekolah.
Gavin menghentikan motornya sejenak didepan bangunan yang cukup besar, lalu memasukinya dan memakirkan motornya itu di parkiran. Ia melepaskan helm yang menempel dikepalanya.
"Ruang guru dimana ya?" tanyanya pada dirinya sendiri dengan pelan.
"GAVIN?! GAVIN GAVRIEL?" Gavin melihat seseorang didepannya berjalan mendekatinya sedari memanggil namanya.
Gavin mengerutkan dahi.
"Wah bener! Lo Gavin kan?" tanya cowok berkacamata yang Gavin tidak kenal.
"Siapa ya?" Gavin balik tanya ketika cowok itu sudah tepat didepannya.
"Gua Riko! Temen lama lo," cowok bernama Riko itu menepuk-nepukkan dadanya beberapa kali.
"Temen la... ma?" cowok itu mengangguk-anggukan kepalanya mendengar pertanyaan Gavin, "oh iya kali"
Riko pun langsung menarik tangan Gavin tanpa izin darinya, "Ngapain narik-narik gua?" Riko tidak menjawab, melainkan terus menarik tangan Gavin.
"Ini ruang guru. Gua cabut dulu ke kelas, kalo mau cari gua ke 11 IPA-3 aja."
Gavin mengangguk-anggukan kepalanya.
• • •
Suara riuh mulai terdengar di kelas 11 IPS-2 khususnya para cewek, bermula dari biang gosip dikelas itu. Anita.
"Ada anak baru masuk kelas kita! Dan lebih ambyarnya lagi, cogan banget gila!"
"Wah yang bener? Sumpah mata gue kekurangan asupan cogan banget akhir-akhir ini."
"Si Bima aja tuh, cogan dia."
"Najisin."
Ava mencoba untuk tidak menghiraukan suara-suara yang mengganggu pendengarannya. Ia lebih memilih menelungkupkan wajahnya dimeja, mencoba mencari kenyamanan.
Kenyamanan yang akhirnya membuat dia tidak sadar bahwa dia jatuh tertidur.
"Maaf kalo ganggu, tapi ini udah jam istirahat." Perlahan suara itu mengetuk pelan gendang telinga Ava.
Ia mengerjapkan matanya, lalu menegakkan kepalanya. Samar-samar terlihat seorang lelaki berperawakan tegap, menatapnya aneh--seperti kaget setelah melihat wajahnya.
"Lo siapa?" tanya Ava to-the-point.
"Gue anak baru. Gavin," ucap cowok bernama Gavin itu sedari mengulurkan tangan kanannya.
Ava hanya memandang tangan itu selama 5 detik, lalu mengalihkan pandangannya dan beranjak dari tempat duduknya.
"Salam kenal, Ava."
KAMU SEDANG MEMBACA
Untuk Avanna
Roman pour Adolescents"Untuk Avanna, Seseorang yang membenci aroma khas hujan ketika bersentuhan dengan tanah. Yang menganggapnya hanya membawa suasana yang buruk, dan hanya membawa memori-memori yang ingin dilupakan. Ketika semua orang membuatmu kecewa, Ava. Aku oran...