Namanya Paradisaea Reggiana

13 3 0
                                    

Bandung, 5 September 2016

Senin, hari yang paling dibenci oleh sebagian besar manusia di muka bumi. Alasannya hanya satu dan cukup sederhana, karena mereka benci harus kembali pada rutinitas membosankan setelah libur yang sangat singkat. Hal itu pula yang di rasakan oleh Michel. Itu membuatnya harus rela bangun dari tidurnya dan dengan sangat berat hati meninggalkan kasur empuk yang sudah ia beri predikat sebagai benda paling dicintainya.

Hari ini mengharuskannya untuk menginjakkan kaki di tempat yang sangat dibencinya, sekolah. Michel bukannya benci sekolah, ia hanya benci bertemu dengan orang-orang yang membuatnya merasa takut disaat pandangan mereka bertemu. Ketakutan itu datang bukan tanpa sebab, ada penjealasan yang cukup menyakitkan dibalik itu semua. Di usia yang masih belia, bisa dikatakan dalam tahap perubahan dari anak-anak menuju remaja, di saat teman-temannya mulai menemukan teman terbaik untuk berbagi cerita, ia harus menerima kenyataan pahit karena kehilangan teman terbaik dan kepercayaan dari orang-orang di sekitarnya.

Kejadian itu telah menjadi masa lalu, dan biarkanlah tetap seperti itu. Saat ini Michel telah memiliki kehidupan yang baru. Kehidupan yang jauh berbeda dari dulu. Namun bukan berarti semuanya menjadi lebih baik, tidak demikian. Hanya saja, ia merasa ini yang terbaik, disaat ia berhasil menjauh dari orang-orang yang menyiksa batinnya beberapa tahun lalu. Dan disinilah Michel saat ini.

“Haahhh, aku benci ini!”, rutuk Michel saat ia sampai di depan kelas dan mendapati pintunya masih terkunci rapat.

Michel menengok kanan kiri, dan yang ia dapatkan hanya koridor yang sepi, tak ada seorangpun disana kecuali dirinya. Ia melirik arloji hitam yang setia berada di pergelangan tangan kirinya, 05:45. Ia datang terlalu pagi lagi kali ini. Michel memejamkan mata dengan mulut komat kamit berdoa agar petugas yang membuka pintu segera datang.

“Kamu datang kepagian sih, petugasnya masih sarapan, 15 menit lagi baru bisa buka pintunya”, bisikan di telinga kanannya itu membuat Michel hampir menjerit. Sepagi ini, siapa orang lain yang sudah datang selain dirinya? Membuang pikiran buruk yang melintas di pikirannya, Michel segera menoleh ke sumber suara. Michel menarik wajahnya mundur ketika menemukan kepala orang itu berada terlalu dekat dengan wajahnya. Menyadari keterkejutan Michel, orang itu pun menegapkan tubuhnya.

“Haii, selamat pagi”,  sapa orang itu dengan senyum yang dirasa Michel cukup manis, seorang cowok berdiri dihadapannya dengan senyum yang membuat matanya menyipit, mengingatkannya akan sosok yang membuatnya berada di kota ini.

Sadar jika cowok dihadapannya kini tengah melihatnya yang tengah melamun, Michel segera mennyahuti sapaannya tadi dengan wajah kikuk. “Pa-gi”, balas Michel singkat.

   “Ka-mu dari kelas mana? Aku nggak pernah liat sebelumnya.”, tanya Michel. Ini pertama kalinya Michel bertanya terlebih dahulu pada orang yang belum dikenalnya.

“Kamu nggak kenal sama aku?”, bukannya menjawab, cowok itu malah bertanya balik pada Michel dengan wajah terkejut sambil menunjuk dirinya. Dan hanya mendapat gelengan kepala dari Michel.

“Aa-ah, mungkin kamu nggak kenal aku karena rambut aku”, ia berucap sambil menggaruk tengkuknya yang Michel yakin tidak gatal sama sekali. Cowok itu melirik Michel yang masih menatapnya dengan tatapan menyelidik. “Kamu masih nggak ngenalin aku? Coba liat wajah aku baik-baik”, cowok itu mendekatkan wajahnya di depan wajah Michel, namun Michel masih saja tak mengenalinya. Ia menggeleng sekali lagi, membuat cowok di depannya menatapnya heran.

“Aku dari kelas ini”, ujar cowok itu dengan tangan menunjuk pintu yang berada di samping mereka.

“Kamu sekelas sama aku?”, Michel terbelalak, tak menyangka bahwa cowok dihadapannya ini berada di kelas yang sama dengannya. Kemana saja dia dua bulan ini teman sekelasnya saja tidak hafal.

“Iya, aku yang duduk di pojok depan deket pintu”, sahut cowok yang masih belum Michel ketahui namanya itu.

   “Tunggu, pojok depan deket pintu, bukannya..”, Michel menggantung kalimatnya, ia takut jika dugaannya salah, karena seingatnya teman sekelasnya yang duduk disitu adalah cowok dengan potongan aneh yang mengingatkannya dengan salah satu tokoh kartun yang setiap hari ditonton oleh adiknya.

   “Cowok yang potongan rambutnya kayak Lee di film Naruto? Haha, ya itu aku, yang kemarin tapi”, perkataannya berhasil membuat mata Michel mengerjap beberapa kali. Bagaimana mungkin cowok aneh itu berubah menjadi seseorang yang menurut Michel cukup tampan, terlebih saat dia tertawa seperti saat ini menyebabkan matanya menyipit lagi, atau istilahnya eye smile.

   “Oh ya, dari pertama masuk kita belum sempat kenalan secara langsung, nama aku Paradisaea Reggiana, kamu bisa panggil aku Reiji”, kenalnya sambil mengulurkan tangan ke arah Michel.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 02, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

CrushTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang