chapter 3

24 3 0
                                    

Rasa asing mendekap kala telapak tangan lembut membelai halus rambutnya. Satu matanya terpejam menahan pilu. Bekas cairan merah diseka dari sudut bibir. Mulutnya menggores senyum—dipaksa selebar mungkin untuk mengonfirmasi bahwa dirinya baik-baik saja. Tapi ia tahu, gagak hitam imajiner di belakang si wanita mulai menampakkan diri jadi seribu. Memberi isyarat akan perpisahan.

Tangan menggapai udara, Karl De Stacy sontak membuka mata. Langit-langit putih jadi pandangan pertama. Satu tangan berfungsi memijat pelipis.

Ia bangun dan beranjak menuju cermin di wastafel, khawatir kalau-kalau timbul kerutan di bawah mata. Dirinya mulai mengidap insomnia sejak kasus besar menimpa Negara. Tidak bisa tidur bukan karena terpikir soal keamanan bangsa, melainkan karena suatu hal yang ia sendiri ragu mengutarakannya.

Karl masih heran, mengapa wanita itu selalu menghampirinya dalam kondisi menyakitkan. Pada mimpi yang biasanya dipenuhi warna pelangi sebagai perefleksi cercahan hati, disubsitusi jadi merah pekat yang menerornya dengan pesan-pesan misterius—entah kenapa Karl tidak mengerti. Seolah ada suatu hal penting yang dilupakannya.

Sesuatu yang hilang dari hidupnya.

Matanya mengerling menatap cermin. Khawatir mengulang kebiasaan buruk akan menurunkan kadar ketampanan pada parasnya. Karl memutar keran air, mendekam kepala lebih dalam pada ceruk wastafel. Kedua tangan diadahkan untuk menampung air, lalu dibasuhkan ke wajah.

Awal tahun selalu memberi kesan buruk. Berita hiperbolis yang mengelu-elukan penduduk Negeri, parade-parade merusak dan mengotori lingkungan, bunyi gaduh pengganggu ketenangan tidur di malam hari, segala macam yang ditimbulkan pada awal tahun selalu membuat Karl De Stacy pening.

"Kalau begitu aku mengerti. Biar kujelaskan, Karl. Kuharap tidak ada kesalahpahaman di antara kita. Sekadar informasi kalau Karl belum tahu. Kalian tetap tak bisa menangkapku, karena aku tidak bersalah—ya, tidak ada bukti bahwa aku bersalah. Memaksaku hanya membuat kalian masuk dalam kuburan yang kalian gali sendiri. Karl mengerti, kan? Politik Negara ini kuat. Kami akan menjatuhkan kalian-para pengikut Ratu karena menghukum orang yang tidak bersalah—; Tsuruta."

Suara lembut mengalun di seluruh ruangan. Karl melirik pada sekelompok orang di sudut dinding, diketahui sebagai tim analisis yang bertugas untuk menerjemahkan makna dari kalimat, perilaku, dan seluruh hal yang ditunjukkan oleh korban interogasi.

"Lalu soal hubungan pribadi kita. Maaf saja, Karl. Aku memang tidak berniat membunuhmu. Apa Karl tahu tujuanku merawatmu? Kalau tidak akan kuberi tahu; Bicaramu terlalu panjang; Itu benar, Karl. Kau—kalian, sudah masuk ke dalam jerat kami. Sebentar lagi pemerintahan Ratu Stella Magnolia De Witt akan segera lengser. Terlalu banyak kepalsuan yang Negeri berikan—; Tsuruta; Monarki tidak selalu bagus."

Ia berjalan menyusuri koridor, memutar direksi sepatu pantofel kilat ke arah kanan, menyapa tiga orang kawan tanpa suara. Seperti biasa mendekam di depan televisi, menonton channel gosip berkedok pekerjaan.

"Karly, kau telat lagi..." satu pria yang paling awal menyadari kehadirannya adalah Mario Luft. Diikuti oleh Lean Abhinav yang masih antusias menatap layar LCD, dan Guerino Stirlo refleks menoleh ketika sejumlah mie masih bertengger di mulutnya.

"Hari ini penting, Karl. Lihatlah, Takashi masuk televisi!"

.

Derap langkah dipercepat. Karet hitam yang berotasi silih gant masuk ke dalam mesin. Jari tangan dibalut kain putih menekan layar. Perlahan bunyi mesin memelan. Pria berkacamata berniat mengakhiri rutinitas jogging-nya dan turun dari electric treadmill, lalu menyeka keringat dengan handuk yang meggantung di leher.

Coup d'etatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang