Prolog

36 7 0
                                    

Polisi berdatangan ke sebuah rumah yang penghuninya telah meninggal. Seorang korban pria tergeletak dengan sangat mengenaskan.

Tangan dan kakinya memerah. Kulitnya robek. Bibirnya bengkak dan membiru. Belum lagi darah kering yang berceceran di mana-mana. Sebuah pisau roti yang diduga digunakan sebagai media pembunuhan tergeletak tepat di samping korban.

Seorang wanita yang tangannya tergores menangis tersedu-sedu. Wanita itu duduk tepat di samping korban seolah tak ingin ditinggalkan. Bajunya penuh darah sang korban.

---

Wanita yang tangannya tergores pisau itu menjadi satu-satunya saksi pembunuhan sadis yang terjadi. Namun polisi sama sekali tidak menemukkan petunjuk. Wanita itu mengaku yang ia ingat dia baru saja dari toilet sebuah toko roti.

"Keteranganmu sama sekali tidak membantu kami nona." Seorang polisi berbadan tegap berdiri.

"Maafkan aku."

"Tenanglah nona. Kami akan mulai memberimu pertanyaan yang lebih serius. Tolong jawab dengan serius juga," Ujar polisi yang bertopi.

"Baiklah."

"Apa yang kau lakukan setelah kau keluar dari toilet toko roti?" Polisi bertopi mengusap dagunya.

"Aku tidak ingat," tutur wanita itu sambil mengalihkan pandangannya.

"Yang benar saja, nona. Saat kau melihat korban sudah tergeletak tak berdaya. Apa reaksimu?" Tanya polisi berbadan tegap.

"Aku ... berusaha membangunkannya. Lalu aku menangis dan segera menelepon polisi," Jawab wanita yang duduk di depan sang polisi.

"Ada satu yang membuatku penasaran, nona. Mengapa tanganmu tergores?" Polisi berbadan tegap bertanya lagi.

Wanita itu terlihat ragu untuk menjawab, "Aku berusaha bunuh diri. Namun polisi sudah datang."

"Kami bersyukur itu gagal terjadi." polisi bertopi memberi jeda. "Apa hubunganmu dengan korban?" Tanyanya.

"Kami bersahabat."

ANOTHER METempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang