Alea menghempaskan tubuhnya di ranjang queen size miliknya dengan cukup keras, membuatnya mengernyit sebentar merasakan sedikit sakit di punggungnya. Perempuan itu lalu memejamkan matanya meredam rasa pening dikepalanya yang memang sejak tadi ia rasakan sebelum memasuki kamarnya ini, hingga ia hanya bisa menghela nafas lelah karena rasa peningnya tak kunjung hilang. Bukan tidak ada sebab ia merasakan kepalanya seakan ingin pecah, dan itu semua selalu bermula dari kata 'perjodohan' yang kedua orang tuanya lontarkan sejak dua minggu yang lalu.
Dengan pendirian teguh kedua orang tuanya bersikeras ingin menjodohkan dirinya dengan anak dari sahabat mereka. Ck, apa sekarang masih zamannya siti nurbaya?. Alea tidak habis pikir dengan kedua orang tuanya. Mereka berdua sangat tau, bagaimana watak dirinya yang tidak ingin di atur, apalagi dijodohkan? Hell, itu sama saja dia akan terjebak dalam jeruji besi alias terpenjara kalau sampai dia menerima perjodohan itu.
Berlebihan? Siapa perduli. Dia sudah membayangkan akan seperti apa hubungannya nanti dengan lelaki yang akan dijodohkan dengannya itu.
Alea mendengus. Sebenarnya ada apa dengan kedua orang tuanya?. Pertama, mereka tau jika Alea tidak ingin kehidupan pribadinya di atur. Kedua, mereka bahkan tau jika saat ini dirinya memiliki seorang kekasih. Dan ketiga, mereka jelas tau, orang yang akan dijodohkan dengan dirinya tersebut lebih dekat dengan anak dari sahabat mereka yang lain, daripada dirinya. Oh, jangan kalian pikir dirinya tidak mengenal sosok yang akan dijodohkan dengan dirinya itu. Tentu saja dia kenal, mereka saling mengenal, tapi hanya sebatas itu. Selebihnya Alea buta dengan sosok seorang Aleandro Vincent Daston. Lelaki dengan usia lima tahun lebih tua darinya, dan juga anak semata wayang Om Marcell dan juga Tante Ambar, sahabat dari orang tuanya.
Sekilas, Alea mengingat pertemuan pertamanya dengan Vincent dulu dan itu sudah sangat lama sekali. Ketika usianya menginjak delapan tahun. Alea samar-samar mengingat masa itu. Saat Mami dan Papi-nya merayakan ulang tahunnya yang ke-8, saat itu kedua orang tuanya juga mengundang para sahabat mereka, keluarga Daston dan juga Abraham. Alea ingat, ketika Tante Ambar memperkenalkan Vincent yang baru berusia tigabelas tahun padanya saat itu. Dan Alea kecil hanya menatap Vincent dengan datar. Alea kecil saat itu memang sosok yang pendiam, dan tidak begitu menyukai keramaian. Hingga dia lebih suka menyendiri daripada ikut bergabung bermain dengan anak-anak sebayanya. Dan Alea masih sangat jelas mengingat bagaimana Vincent yang selalu bermain bersama seorang gadis kecil yang seusia dengannya yang ternyata merupakan anak dari sahabat orang tuanya juga. Saat itu juga Alea tau, kalau anak itu bernama Lalita, anak dari Om Rizal dan Tante Iren. Alea kecil tidak sadar telah memperhatikan mereka berdua begitu lama. Vincent yang selalu diikuti Lalita kemanapun dia pergi, menempel seperti anak kucing yang tidak bisa jauh dari induknya. Dan setelah hari itu, walaupun orang tuanya selalu mengajaknya pergi ke rumah-rumah sahabatnya, Alea lebih memilih duduk di samping Maminya dan hanya menatap datar dua anak kecil yang bermain-main di depannya. Hanya sebatas itu dirinya mengenal Vincent, bahkan pertemuan mereka dulu bisa dihitung dengan jari.
Lagi-lagi Alea mendengus. Lalita lebih dekat dengan Vincent. Dia tidak iri, hanya saja kenapa harus dia yang dijodohkan dengan Vincent? kenapa tidak Lalita saja?. Alea sempat mendengar dari kedua orang tuanya, kalau Vincent dan Lalita kuliah di universitas yang sama di LA, walaupun Vincent mengambil S2 sedangkan Lalita S1 tapi tetap saja mereka berdua selalu bersama. Kemana-mana bersama, bahkan kuliahpun bersama. Lantas, kenapa justru aku yang dijodohkan dengan Vincent? bukannya Lalita?.
Ada banyak pertanyaan yang berputar dikepalanya, namun satupun tidak ada jawaban masuk akal yang dia dapat. Apa karena kedua orang tua mereka bersahabat? Oh, ayolah! orang tua Lalita juga bersahabat dengan kedua orang tua mereka.
Pintu kamarnya diketuk pelan, dan Alea hanya bisa menghela nafas pasrah ketika tau siapa yang mengetuknya. Tanpa dia izinkan, orang itupun akan masuk ke kamarnya dengan mudah.
"Le?"
Suara lembut yang sudah sangat familliar ia dengar menyapanya. Alea tidak menggubris, dan lebih memilih memejamkan matanya berpura-pura tidur.
Vanessa mengelus lembut kepala Alea dengan penuh kasih sayang. Dia tau kalau Alea hanya pura-pura tidur. Dan itu semua sengaja dia lakukan untuk menghindar dari pembicaraan mereka dua minggu lalu.
"Kamu masih marah sama kami?" tanya Vanessa membuka percakapan. Tidak ada jawaban dari Alea. Namun Vanessa tidak mau menyerah begitu saja.
"Jika kamu marah karena perjodohan itu, kami minta maaf, Le." Ada jeda, namun dalam kepura-puraan tidurnya, Alea masih menunggu apa yang akan Maminya katakan lagi. Seandainya Alea dalam mood bagus dan tidak pernah ada perjodohan itu, mungkin saat ini dia pasti sudah tidur nyenyak karena elusan Maminya yang lembut dikepalanya.
"Tapi kamu harus tau, itu semua kami lakukan demi kebaikanmu, sayang"
Saat itu juga Alea langsung membuka matanya, lalu mengubah posisinya yang awalnya berbaring kini menjadi terduduk menghadap Maminya.
"Mami bilang kebaikan aku?" tanyanya dengan nada terkejut lalu sedetik kemudian dia mendengus.
"Di mana letak baiknya untukku, Mi?" tanyanya sarkas. Vanessa hanya bisa menghela nafasnya. Dia tau respon anaknya akan selalu seperti ini. Anaknya ini terlalu keras kepala dan selalu berkesimpulan cepat tanpa terlebih dulu memikirkannya matang-matang. Sangat David sekali.
"Percayalah, Vincent adalah anak yang baik. Dia akan menjadi calon suami terbaik buat kamu" jelas Vanessa. Lagi-lagi Alea mendengus. Dia jelas tau jika Vincent adalah orang baik, kalau tidak, mana mungkin Papi dan Maminya ini bersikeras menjodohkan mereka.
"Apapun alasannya, Alea tidak bisa menerima perjodohan ini" katanya tegas pada pendiriannya. Vanessa menghembuskan nafasnya. Membujuk Anaknya ini memang tidak mudah, tapi dia tidak akan menyerah begitu saja. Bagaimanapun, dia dan suaminya serta sahabatnya sudah sepakat menjalankan perjodohan ini.
"Beritau Mami, apa alasan kamu menolak perjodohan ini" ujar Vanessa sambil menatap lekat-lekat wajah Alea yang terlihat lelah. Sebenarnya, mereka bisa saja melanjutkan perjodohan ini tanpa persetujuan Alea. David, suaminya sudah membuat keputusan final jika Alea akan tetap menikah dengan Vincent. Setuju atau tidak setuju anaknya ini, perjodohan akan tetap di laksanakan.
"Mami tau persis alasan Alea".
"Apa masih karena Callum?"
Alea menghela nafas lelah. Lagi-lagi dia harus berdebat dengan Maminya. "Bukan hanya karena Callum aja, tapi Alea nggak mau kehidupan pribadi Alea diatur kalian. Bukannya selama ini sudah cukup Alea menuruti kemauan Mami sama Papi?" tanyanya tidak menyembunyikan nada sarkas di dalamnya. Kali ini Alea tidak bisa menyembunyikan amarahnya lagi. Selama ini dia selalu menuruti apa yang kedua orangtuanya inginkan, bahkan Alea mengingat-ingat apakah selama ini ia pernah membangkang? Bahkan dia tidak pernah meminta apapun dari orangtuanya. Lalu sekarang mereka ingin menjodohkannya dengan lelaki asing!?. Oke, lelaki asing yang dimakaud disini adalah lelaki asing dalam artian tanda kutip.
Vanessa mengangguk tanda mengerti. Sepertinya hanya David yang bisa membuat anaknya ini mau tidak mau, menuruti kemauan mereka.
"Pikirkanlah, selagi kami masih memberimu waktu untuk berpikir" Setelah mengatakan itu, Vanessa beranjak dari ranjang Alea dan keluar dari kamar tersebut.
Alea terperengah mendengar ucapan Maminya barusan. 'memberinya waktu?' Hell! apa mereka pikir setelah waktu yang mereka berikan habis, dia akan mengubah keputusannya? tidak! sampai kapanpun dia tidak akan mengubah keputusannya.
Alea menggeram frustasi. Mami dan Papinya sama saja. Tidak ada yang mau mengerti dirinya. Mereka selalu berbuat sesuai kehendak mereka tanpa memikirkan perasaannya. Alea marah pada kedua orang tuanya, kepada kedua orang tua Vincent. Kenapa mereka harus merencanakan perjodohan sialan ini?. Dia tidak bisa membiarkan ini begitu saja. Dia harus melakukan sesuatu, sampai kedua orang tuanya membatalkan perjodohan ini.
Alea bergegas mencari tas serta kunci mobilnya yang berada di nakas samping ranjangnya. Dengan langkah cepat, Alea keluar dari kamarnya kemudian menuruni tangga. Ia bahkan tidak menggubris ketika Maminya memanggil-manggil dirinya. Kini, rencana-rencana untuk membatalkan perjodohan itu sudah mulai tersusun di kepalanya. Dan tujuannya sekarang adalah menemui Callum, kekasihnya.
***
TBC
