Part 1

33 2 0
                                    

Kenangan yang dulu pernah Zey laluli belum sepenuhnya pudar dalam ingatannya. Empat tahun berlalu tidak mematahkan sedikit dari cerita mesranya di Indonesia. Zey menghabiskan paruh waktunya untuk bekerja di salah satu kedai kopi di Istanbul. Musim dingin masih menghinggapi kota Persia ini sampai dua bulan ke depan, dan itu artinya masih ada dua bulan lagi jatah liburannya.

"Zey, uang tabunganmu sudah ada berapa?" Tanya seorang ibu TKW -Tenaga Kerja Wanita- di Istanbul (salah satu karyawan kedai kopi)

"Belum cukup mi, masih kurang untuk membeli tiket." jawab Zey sembari membereskan gelas-gelas kopi di rak.

"Hmmm, nak mbok yo o kemaren pas dikasih rezeki sama pak Romli itu jangan di tolak gitu."

"Bukannya Zey menolak mi, tapi Zey masih mampu usaha untuk ngumpulin duit."

"Bukannya kamu sudah lelah memandangi foto keluargamu dan teman-temanmu di dinding kamarmu? Semakin cepat kamu balik ke Indonesia semakin cepat kamu bisa menemui mereka dan menghilangkan rasa sedihmu yang berkelanjutan itu Zey. Kali ini kamu jangan keras kepala, kamu tidak mau kan satu persatu orang-orang yang kamu cintai pergi meninggalkanmu sebelum kamu bisa memelukknya. Kalau kamu tidak ada di rumah, kamu tidak akan benar-benar tau bagaimana kondisi keluarga kamu sebenarnya."

"Masa belajar Zey juga kurang setahun lagi mi, buat apa Zey balik Indonesia terus kesini lagi, Zey  ga mau jauh-jauh lagi dari Ibuk dan adek-adek, setahun lagi uang Zey sudah lebih dari cukup untuk membeli tiket."

***

Jalanan masih belum ramai seperti biasanya. Mentari belum sempurna menanjakkan rupanya. Zey menelusuri jalanan petang itu berharap bisa menemui seseorang yang sering Mami ceritakan kepadanya. Zey memilih duduk di bangku yang berhadapan dengan tempat bus menjemput penumpangnya. Bangku itu agak tertutupi dengan tanaman-tanaman bunga tulip yang tertutup oleh sedikit salju. Taman kota agak terpadati oleh rerumpunan orang yang berolahraga ataupun sekedar jalan-jalan pagi.

Wanita berjaket coklat muda berkerudung kuning turun dari bus setengah jam setelah Zey memasuki Taman. Wanita itu menyegerakan langkahnya, sepatu bot berhak tinggi agak menghalangi langkahnya. Perlahan langkahnya berjalan pelan ketika mendekati bangku di dekat bunga tulip.

"Zey, kaukah itu?" tanya wanita itu dengan wajah memerah.

Zey menatap wanita itu. Diam menyelinapi keduanya. Tak ada sepatah kata yang keluar dari mulut Zey. Wanita itu bergegas duduk disamping Zey setelah beberapa menit berdiri.

"Bunda menemukan ini di kamarmu". (Wanita itu menyodorkan kotakan berwarna maroon dihiasi pita pink).

"Bunda tau kamera itu sangat berharga bagimu, dia salah satu saksi kenanganmu di Angkara. Bunda kesini bukan bermaksud mengingatkan kenangan-kenanganmu itu Zey, Bunda sangat ingin melihatmu, melepas rinduku. Selama tiga bulan ini Bunda telah menjadi gila karena kepergianmu. Bunda telusuri taman-taman di kota ini, karena Bunda yakin kau tak pernah enggan mengunjungi taman yang dipenuhi bunga meski serumit apapun masalahmu. Bunda memaksa Mbak Ratih yang kau panggil Mami itu memaksamu untung menemuiku." (Mengenggam erat tangan Zey).

Terlihat mata Zey mulai berkaca. Hati Zey tidak bisa berbohong jika dia memang sudah lelah dengan persembunyiannya. Tapi dia masih tidak mampu berkata, bahkan sekedar membalas pelukan wanita yang di panggilnya Bunda itu. Bukan mustahil jika sebenarnya Zey juga menginginkan untuk bertemu dengan Bunda, meski sempat menunda sampai tiga bulan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 07, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Menunggu Satu Tahun berlaluTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang