I. Prolog

72 2 0
                                    

Jakarta, 20 December 2016.

Peter memasukkan tangannya gusar ke dalam saku jeans-nya. Sudah tiga puluh menit, Claire belum juga datang. Padahal, ia sudah menyiapkan kejutan spesial untuknya. Tidak biasanya Claire terlambat. Malah, biasanya Claire selalu datang lebih dahulu meski hanya selang beberapa menit. Peter mulai cemas. Apakah terjadi sesuatu pada Claire?

Peter segera menepis pikiran itu jauh-jauh. Claire tidak mungkin kenapa-kenapa. Mungkin gadis itu hanya ada sedikit urusan, berhubung Claire merupakan satu-satunya penerus Panabaker Corp. Perusahaan itu termasuk salah satu perusahaan terbesar yang ada di Indonesia, karena apartemen mewahnya yang sangat menonjol, dan bahkan memiliki cabang di Prancis. Semua orang tentu tahu bahwa kekayaan keluarga Panabaker tidak main-main. Dan sejak kecil, Claire sudah menjadi sorotan publik.

Sebenarnya, Peter merasa sangat beruntung karena bisa mengenal dan memacari Claire. Mereka berkenalan saat mereka berada di kampus yang sama dengan status yang berbeda. Claire dapat masuk ke universitas itu dengan mudahnya, karena keluarganya juga memiliki saham di universitas paling terkenal di Jakarta. Sementara Peter lahir di keluarga yang biasa-biasa saja, tetapi tidak cukup mampu untuk membiayainya masuk ke universitas termahal itu. Untungnya, Peter lahir dengan otak cerdas sehingga ia mendapatkan beasiswa penuh.

Claire membenci semua laki-laki yang mendekatinya. Alasannya sudah jelas, semua laki-laki yang datang padanya hanya tertarik pada kecantikannya dan juga hartanya. Padahal, Claire merasa bahwa dirinya cukup berharga, bukan hanya karena kecantikan dan hartanya. Sampai ia menemukan Peter, yang bersikap acuh tak acuh padanya. Kenyataan bahwa Peter awalnya tidak tertarik padanya justru membuatnya tertarik. Ia mencari tahu tentang Peter, latar belakang keluarganya, dan juga kehidupan sehari-harinya.

Peter lahir dari keluarga yang biasa-biasa saja dan memiliki satu adik perempuan. Ia memiliki beberapa pekerjaan sampingan yang membuatnya menghasilkan cukup uang untuk keperluan sehari-harinya. Meskipun orang tuanya tidak pernah meminta apapun darinya, tetapi Peter selalu berusaha yang terbaik untuk membantu orang tuanya.

Karena Peter, Claire mulai tersadar bahwa ia tidak seharusnya hanya menghamburkan uang orang tuanya. Oleh karena itu akhirnya Claire mulai melakukan magang di perusahaan orang tuanya sendiri. Bukan dengan jabatan tertinggi, tetapi jabatan yang sesuai dengan kemampuannya. General Manager.

12.30.

Peter kembali menekan dial nya. Ini sudah kesekian kalinya ia mencoba untuk menelepon Claire. Masih terdengar bunyi sambung yang jelas, lama, sampai akhirnya tersambung pada kotak suara. Peter mulai merasa ada yang tidak beres. Tetapi ia juga tidak bisa dengan gegabah menghampiri rumah Claire. Ia tidak memiliki keberanian itu saat ini. Apalagi, orang tua Claire tidak menyetujui hubungan ini.

Peter mencoba untuk berpikir positif. Mungkin, mungkin saja kalau Claire hanya terjebak macet di jalan dan tidak bisa menghubunginya.

***

Claire menangis dengan pilu. Bagaimana tidak? Ia baru saja ingin pergi dari rumahnya ketika ia mendengar bunyi dentuman keras dari ruang kerja papanya. Hatinya mencelos, merasa akan ada sesuatu yang buruk terjadi. Ia langsung berlari ke ruang kerja papanya dan menemukan papanya sudah terjatuh di lantai, memegangi dadanya. Nafasnya sengal, matanya tidak fokus. Ia segera berteriak memanggil mamanya.

Ambulans yang dipanggil ke rumahnya sampai tidak terlalu lama. Papanya langsung dilarikan ke rumah sakit terdekat, sementara Claire memegangi tangan papanya dengan erat, khawatir seakan apabila melepaskan genggaman itu sebentar saja, papanya akan pergi jauh. Sementara mamanya menangis histeris. Tadi pagi suaminya masih baik-baik saja dan bahkan masih meminum kopi buatannya.

Sesampainya di rumah sakit, papanya langsung dilarikan ke ruang ICU, sementara Claire dan mamanya masih menunggu di ruang tunggu ICU. Suasana hati Claire kacau. Kemudian, seperti tersambar petir, Claire baru saja ingat bahwa dia sebenarnya memiliki janji dengan Peter. Claire buru-buru mencari ponselnya, dan melihat puluhan missed call sudah masuk ke ponselnya.

Pete is calling..

Tidak butuh tiga detik bagi Claire untuk mengangkat telepon itu.

"Pete, I am so sorry. Aku harus membatalkan janji kita hari ini," kata Claire. Ia menggigit bibir bawahnya, menimbang-nimbang apakah Pete akan marah. Di sisi lain, ia masih khawatir dengan keadaan papanya.

"Finally you picked up my call. Are you okay? Aku kira kamu kenapa-kenapa, babe," Claire bisa mendengar Peter menghembuskan nafasnya lega.

"I am not actually okay, papaku barusan masuk ICU."

"Kenapa? Kamu di rumah sakit mana? Aku kesitu ya, sekarang?" Claire bisa mendengar dengan jelas suara khawatir Peter. Mungkin ini satu-satunya yang bisa membuat Claire tersenyum.

"Okay, Rumah Sakit PIK."

"See you there in fifteen minutes," jawab Peter dan langsung mematikan teleponnya. Hanya satu yang Claire bisa lakukan sekarang, yaitu menunggu.

Ia memeluk mamanya yang masih menangis sesenggukan.

"Ma, aku percaya papa bisa bertahan, papa itu kuat," kata Claire meyakinkan mamanya. Mamanya menggeleng lemas. "Ini semua salah mama, harusnya mama nggak kasih papa kamu kopi hari ini, ia tidak terlihat sehat. Ia tidak boleh terlalu sering minum kopi."

"Ma, jangan nyalahin diri mama seperti itu. Mama nggak salah, mama nggak tahu kalau papa lagi sakit. Mama jangan nangis lagi, papa pasti bisa berjuang kok di dalam."

Ya, Claire yakin bahwa papanya akan bangun dan sehat lagi seperti biasanya. Claire percaya itu. Papanya tidak pernah lemah. Seumur hidupnya, bahkan Claire tidak pernah melihat papanya diopname.

Claire pun berdoa dalam hati. Semoga hari ini tidak menjadi hari terburuk untuknya.


UNTITLEDWhere stories live. Discover now