Sudah tiga bulan papanya terbaring koma, sehingga Claire mau tidak mau harus membantu memimpin cabang perusahaan di Perancis. Sudah tiga bulan pula ia meninggalkan Indonesia dan juga Peter. Claire merindukan Peter, Claire merindukan detak jantungnya yang berdegup kencang setiap kali bertemu dengan Peter. Ia merindukan senyum laki-laki itu yang menggoda.
Sebenarnya ia bisa saja meminta pegawainya membelikan tiket untuk Peter supaya menyusulnya ke Perancis, tapi Peter menolaknya. Peter tidak ingin menyusahkan Claire. Ia ingin mengumpulkan uang dengan jerih payahnya sendiri. Claire tersenyum. Peter memang selalu seperti itu, berbeda dengan laki-laki lainnya yang hanya melihatnya dari harta, Peter unik. Itu yang menyebabkan Claire memilih Peter dibandingkan dengan pria lainnya.
"Claire," panggil seseorang, suaranya yang tidak asing membuat Claire menengok ke arah asal suara itu. Matt mengangkat sebelah alisnya. "Kau, melamun lagi."
"Kau mengagetkanku. Jadi, dimana Kate?" tanya Claire. Kate adalah sekretaris Matt. Biasanya, Kate selalu mengikutinya kemanapun ia pergi.
"Aku menyuruhnya pulang. Aku ingin mengajakmu makan malam, kau tahu kan, kemenangan kita hari ini patut dirayakan," ucap Matt sambil tersenyum. Claire membalas senyuman itu.
"Oh, right. Merci beaucoup, Monsieur Matt. Kalau bukan karena bantuan MM Corp, mungkin Panabaker Corp tidak akan menang dalam bidding hari ini, kami berhutang padamu."
"Oh, kau tahu kan, kau cukup membayar utangmu dengan meng-iya-kan ajakan makan malamku?" Matt mengangkat sebelah alisnya lagi, tersenyum cerah.
Matt Morgan adalah penerus perusahaan MM Corp. Ia sudah berada di Perancis sejak menginjak usia delapan belas tahun. Saat itu, ia sudah diharuskan memantau cabang perusahaan nya di Perancis. Papanya, Michael Morgan, adalah sahabat baik dari papa Claire, Tyler Panabaker. Mereka memutuskan untuk melakukan kerjasama untuk mendirikan cabang perusahaan di Perancis. Hanya saja, Claire sebelumnya tidak pernah memimpin perusahaan. Walaupun ia sedang mendalami jurusan bisnis supaya bisa meneruskan perusahaan papanya suatu saat nanti. Seperti saat ini.
"Ya, kau tahu aku juga tidak pernah bisa menolak, kan? Aku akan mengganti bajuku sebentar, kau boleh turun duluan. Aku akan menyusul?" jawab Claire. Matt mengangguk dan kemudian meninggalkan ruangan Claire.
To : Peter
Aku merindukanmu. Kau sedang bekerja ya? Aku akan dinner dengan Matt. Talk to you later, babe :)
***
Paris, 17 March 2017
Claire dan Matt baru saja memasuki restoran yang paling mewah di Paris, berpuluh tatapan mata sudah menyambut mereka. Bagaimana tidak? Mereka sangat terkenal karena merupakan pria dan wanita termuda yang dapat dikatakan sukses. Nama mereka juga ada di dalam list pemimpin perusahaan terbesar di Perancis.
"Selamat datang, Mademoiselle Claire, Monsieur Matt, suatu kehormatan bagi kami untuk melayani anda, silahkan duduk," sapa pemilik restoran itu. Matt mengangguk dengan hormat dan kemudian mengikuti pemilik restoran itu dan duduk di tempat paling ujung.
"Apa ada yang dapat saya bantu?" tanya seorang waitress penuh hormat. Waitress wanita itu tersenyum agak berlebihan, dan melihat Matt seakan-akan melihat malaikat turun dari surga. Claire menahan diri untuk tidak tersenyum. Ini bukan pertama kalinya ada waitress seperti itu. Setiap kali ia keluar untuk sekadar makan malam dengan Matt, atau sampai ke pesta megah, tatapan seluruh wanita akan seperti itu kepada Matt. Tatapan kagum dan ingin memiliki.
Claire mengakui bahwa Matt memang tampan. Rahangnya yang membentuk huruf V itu menjadi salah satu simbol ketampanannya. Mata elangnya yang tajam, hidungnya yang mancung, membuat wajah Matt seringkali menghiasi majalah-majalah terkenal. Mungkin kalau Claire tidak pernah bertemu dengan Peter sebelumnya, ia akan jatuh hati juga pada Matt.
Menurut Claire, Matt adalah satu-satunya teman lelaki yang ia miliki gentle dan sopan. Tiga bulan bersama Matt membuatnya tahu kebiasaan-kebiasaan Matt dan juga sifatnya. Matt selalu memberikan perhatian kepada setiap wanita yang ditemuinya. Ia sangat menghormati wanita, dan sangat menyayangi mamanya. Matt selalu bercerita tentang mamanya yang merupakan sosok yang paling inspiratif untuknya. Menurutnya, mamanya adalah segalanya. Oleh karena itu Matt menurut saat mamanya memintanya untuk meneruskan perusahaan di Perancis.
"Claire? Kau melamun lagi," Matt menaikkan sebelah alis matanya. Claire tersadar.
"Eh, iya, maaf, tadi kau bilang apa?" Claire membenarkan posisi duduknya.
"Kubilang, kau mau pesan apa? Sepertinya kau berpikir cukup serius, apa sedang ada yang kau pikirkan?"
"Tidak, tidak. Satu foie grass," ucap Claire pada waitress yang sedari tadi menunggu pesanan nya. "Kalau begitu jadi dua denganku, dan dua gelas wine, please?" tambah Matt dan tersenyum ke arah waitress itu.
"Baik, jadi pesanan nya dua foie grass dan dua gelas wine, mohon menunggu sebentar," pamit waitress itu sambil menunduk malu.
"Jadi? Kau mau kemana setelah ini? Atau kau mau pulang saja? Kau tidak terlihat baik-baik saja sekarang," tanya Matt. Claire mengerutkan alisnya, memangnya ia terlihat bagaimana?
"Yah, kau tampak tidak ceria seperti biasanya. Kau kan biasanya tidak bisa diam dan terus mengoceh tentang bidding kita yang berhasil, tapi sekarang kau hanya diam saja, aku jadi khawatir, apa kau sakit?" tanya Matt perhatian.
Oh, aku merindukan Pete.
"Ah, itu mungkin hanya perasaanmu saja. Aku hanya, terlalu senang karena bidding kita berhasil," Claire tersenyum. Matt pun membalas senyumnya.
"Syukurlah kalau kau tidak apa-apa. Habis ini, bagaimana kalau kau menginap saja di rumahku?" tawar Matt.
Claire memang sering menginap di tempat Matt, apalagi kalau kerjaan mereka menumpuk dan harus diselesaikan dalam deadline yang padat. Tapi, Claire jadi merasa tidak leluasa kalau menginap di rumah Matt. Ia merasa tidak enak hati apabila ia hanya menghabiskan waktunya untuk teleponan bersama Pete. Rasanya tidak sopan.
"Oh, sepertinya hari ini aku akan pulang saja. Aku ingin beristirahat di rumahku hari ini, tidak apa kan?" Claire menolak halus tawaran Matt. Malam ini ia hanya akan melakukan video call dengan Pete. Lagipula, Claire juga merasa tidak seharusnya ia menginap sering-sering di rumah Matt. Ia tidak ingin Pete salah paham padanya, walaupun ia tahu Pete bukanlah tipe laki-laki yang akan menuduh begitu saja. Itu jugalah salah satu alasan Claire mencintainya.
Pete adalah cinta pertamanya. Entah apa jadinya jika saat itu Pete tidak bersikap dingin kepadanya. Mungkin ia masih akan menganggap semua laki-laki sama, hanya menginginkan hartanya saja. Walaupun ia bersikap dingin, tapi Claire tahu bahwa Pete menaruh perhatian padanya.
"Oh, tentu saja tidak apa-apa. Kalau begitu, nanti aku akan mengantarkanmu pulang," ucap Matt. Terdengar sirat kekecewaan di suaranya itu. Claire tahu, tapi memilih untuk tidak menyinggungnya.
YOU ARE READING
UNTITLED
RomanceClaire Panabaker, gadis itu harus menerima kenyataan bahwa ia sebentar lagi akan menikah, bukan dengan kekasihnya, tetapi dengan pilihan orang tuanya. Ia tidak bisa membantah keinginan mendiang papanya yaitu menikah dengan anak dari salah satu mitra...