Jodoh itu rahasia ilahi, bukan manusia yang mengaturnya. Saya bahkan tidak pernah bermimpi apalagi berencana untuk menikah lagi secepat ini, setelah perjaka lagi sejak 5 tahun terakhir. Cieh perjaka. Semua benar benar diluar kuasa, seperti juga kita tidak punya daya dan upaya untuk menahan kematian. Tuhan punya berjuta cara untuk menyatukan manusia, seperti Dia punya berjuta cara juga untuk memisahkan sepasang mahluk yang tidak berjodoh. Perkenalan kami pun tidak jauh dari garis itu.
Alkisah, cerita ini terjadi pada 19 Juli 2015 di Hongkong, hampir dua tahun lalu, di bulan yang sama dengan hari ini. Saat itu saya sedang traveling sendiri seperti biasa, sembari melepas penat setelah hampir dua tahun berkutat di depan laptop tanpa henti. Dia tinggal, menetap, bekerja dan belajar hidup mandiri di negara itu. Dia pemegang Identity Card Hongkong Special Region yg canggih itu, sementara gue pemegang KTP Indonesia yang katanya Elektronik tapi nggak ada chipnya. Dia fasih berbahasa Cantonese, bahasa yang jauh lebih sulit dari bahasa Mandarin di lidah saya. Makanya kalau dia ngambek atau marah pasti bahasa Hongkong-nya keluar. Cantonese adalah salah satu bahasa China yang dipakai di Hongkong dan beberapa negara di Selatan China.
Saat itu saya memilih lebaran Idul Fitri di Hongkong, karena jauh jauh bulan sebelumnya saya memang sudah berniat sholat Ied di Kowloon Mosque, di Tsim Sha Tsui, sebelum tiga hari kemudian saya bertolak ke Manila, Philippine. Pada hari kedua lebaran, saya diundang Meet Up dengan penggemar GGS di Tamar Park, Admiralty. Acaranya seru. Nggak nyangka aja ternyata GGS juga heboh luar biasa disana. Saya ngobrol apa saja yang mereka tanyakan. Saya dijamu dgn berbagai makanan Indonesia, dari rujak, nasi kuning, kerupuk, buah sampai berbagai kue kue lebaran.
Menjelang Meet Up itu berakhir, saya dan dia bertemu. Singkat banget, karena dia telat datang, tapi dunia seperti berhenti berputar saat itu, padahal acara sudah hampir bubaran, saya hanya menunggu Kiruners, fans fans Ricky Harun, yang juga ngajak saya ketemu hari itu. Mereka nyusul ke Admiralty dan saya lagi lagi dibawain banyak makanan dan bawa pulang banyak kado. Berasa ulang tahun cuy. Setelah semua selesai, saya pulang, pengen mandi karena gerah. Maklum, saat itu musim panas di Hongkong sedang galak galaknya.
Malam hari, saya iseng chat ngajak dia dinner di Mongkok, bukan berdua, tapi sama teman temannya, mumpung belum malam banget. Kami janjian di Cafe de Coral, makan sambil ngobrol rame rame. Harusnya saya yang traktir mereka, tapi saat akan bayar bill, ternyata semua sudah dibayarin. Selesai makan, saya anterin dia pulang naik MTR (MRT) ke Tsuen Wan dari Mongkok sekitar 40 menit, dan lanjut naik bus sekitar 20 menit ke Lido Garden di Sham Tseng. Lumayan jauh utk ukuran Hongkong apalagi saya belum pernah main sejauh itu ke Sham Tseng.
Sepanjang jalan, malam itu, kita ngobrol biasa saja, dan sempat wefie di MTR. Jantung gue hampir berhenti, saat dia bilang kalau sudah punya pacar yang kerja di Kapal Pesiar di Amerika. Saya pun cari tahu, dan ternyata benar. Sudah tiga tahun mereka pacaran, tapi jarang ketemu, karena benua dan samudera memisahkan mereka. Jarak Jakarta dan Hongkong yang hanya 5 jam ternyata lebih dekat, dibanding Amerika yang butuh waktu hampir 20 jam perjalanan udara. Setelah malam itu, komunikasi kami berlanjut lewat chat di Whatsapp dan Messenger. Biasa saja sih isinya. Kadang bahkan tidak ada kabar, kalau saya tidak nekat memulai chat duluan.
Dua hari kemudian, beberapa jam sebelum saya meninggalkan Hongkong menuju Manila, kami janjian ketemu bersama beberapa temannya di Central. Ternyata mereka mau nganterin saya ke bandara, padahal saya tidak perlu dianterin juga tidak apa apa, secara saya 'besar' di negara bekas koloni Inggris ini. Tapi hari itu saya yang ngarep dianterin, paling nggak ada waktu beberapa jam pedekate sebelum take off. Hujan yang turun membasahi kaca jendela kereta berasa begitu romantis, tapi lagi lagi tdk ada pembicaraan istimewa, ngobrol biasa, foto foto di bandara, sampai akhirnya rasa rindu merusak ketentramanku di Manila. Rasanya nyesel banget, ngapain juga sih gue harus ke Philippine, kalau Hongkong saja sudah bikin bahagia.
Selama di Manila, saya dapat jawaban pahit, kalau harapan saya tidak mungkin berujung terlalu jauh. Ditolak sih nggak, cuma disarankan untuk berhenti berharap. Miris, sia sia rasanya semua gombalan saya waktu itu. Seketika Manila yang hingar bingar, berasa seperti Namibia yang panas dan gersang. Gue duduk menghabiskan malam berjam jam di Starbucks. Pengen nangis tapi nggak 'punya' air mata. Tapi saya tidak menyerah, sekembali ke Jakarta, setelah menenangkan diri, saya tetap pedekate. Pengen sih tebar pesona ke Hongkong, tapi sudah tidak punya pesona lagi kayaknya wakakakak.
Tidak sampai dua bulan kemudian, saya kembali ke Hongkong, gara gara dia nantangin, katanya kalau serius, saya harus nemuin dia lagi di Hongkong. September 2015, kami janjian ketemu di Tsing Yi untuk jalan ke Disneyland. Saya menunggu sambil breakfast di Toast Box, kopitiam Singapore kesukaan saya di Mall Tsing Yi. Kopi C dan Roti Abon pesanan saya rasanya mendadak jadi hambar saking degdegannya. Singkat cerita kami ketemu. Hari itu seharian penuh kami bermain berbagai wahana di Disneyland. Ini bukan pertama kali saya kesana, tapi dia yang tinggal di Hongkong justru baru sekali itu kesana. Hari itu, diantara keramaian saya pasangkan gelang Mickey Mouse ditangannya, beli di toko souvenir Disneyland.
Hubungan kita tidak pernah ada komitmen, tidak pernah ada tanggal jadian, semua mengalir begitu saja, sampai hubungannya yg sudah di ujung tanduk tanpa kepastian dengan cowok itu benar benar bubar. Sepanjang Juli 2015 sampai Mei 2016, hampir 10 kali saya ke Hongkong. Selain ada urusan dan kerjaan, juga sekalian mencuri waktu untuk bertemu dengannya. Kami terakhir bertemu di bulan Mei 2016, saat itu kami janjian jalan jalan ke Shenzhen, China. Berangkat pagi, malam sudah balik lagi ke Hongkong. Beberapa bulan sebelumnya, kami pernah janjian juga di Ocean Park dan sekali naik kereta gantung di Ngong Ping di bawah suhu 7 derajat celcius, semuanya di Hongkong. Pernah sekali juga saya mengajak dia menyeberang ke Macau setengah hari, makan es krim sambil menikmati musim dingin dgn suasana masih tahun baru.
Sepulang dari China, kami memutuskan untuk lebih serius, membawa hubungan ini ke jenjang yang lebih pasti. Mungkin ini jodoh pikirku. Kami rencanakan menikah tepat 2 tahun setelah pertemuan pertama, Juli 2015. Keputusan itu bukan sesuatu yg mudah, tarik ulur, ribut sampai diem dieman berhari hari bahkan beberapa kali memutuskan untuk break dulu, padahal tidak pernah ada kata jadian di antara kita. Susahnya, dia tidak mau kembali ke Indonesia, karena sudah terlalu nyaman tinggal disana. Saya bahkan sempat berniat untuk menikah di Hongkong.
Cinta memang memiliki kekuatan luar biasa, yang menarik saya hampir setiap bulan ke Hongkong. Perjalanan traveling ke Thailand, Vietnam, Laos, Malaysia, Brunei Darussalam sampai Singapore pun, pasti saya tambahkan mampir ke Hongkong. Itu sih bukan mampir, tapi niat, orang jaraknya makin jauh. Tapi, sejak saya memutuskan untuk lebih serius, saya justru berhenti pergi ke Hongkong selama 1 tahun 2 bulan. Saya muter muter saja di negara tetangganya. Selain untuk menguji rasa rindu, juga untuk menguji iman, takut banyak setan yang ikut secara udah setan temannya pasti banyak ahahaha. Selama itu, jgn ditanya berapa kali berantem dan ngambek. Akhirnya gue sadar LDR itu sering bikin salah paham bow. Tapi demi sebuah komitmen, saya harus lewatin rentang waktu yg panjang itu. Alhamdulillah, akhir Juni 2017 dia kembali ke Indonesia dan kami bertemu di Surabaya setelah 1 Tahun 2 Bulan terpisah jarak dan waktu tanpa bertemu. Saya meminangnya dengan ucapan Bismillah, setelah nekad menemui orang tuanya beberapa bulan sebelumnya.
Bismillah tanggal 7 bulan 7 tahun 2017, dengan Mas Kawin sebesar Rp.7.777.700 dan 77 Dollar Hongkong, sebagai syarat, kami akan dipersatukan di depan penghulu atas restu Ilahi, yang sudah 'menulis' sebuah skenario atas hidup kita, yang kami sendiri tidak pernah menebak endingnya akan sampai sejauh ini. Seperti itulah jodoh. Tidak tau dimana dan kapan, bahkan melewati jarak yang jauh sekalipun. Jika Allah berkehendak kita bersatu, pasti selalu ada jalan untuk bertemu, karena jodoh selalu punya alasan untuk menyatuhan kita.
Semoga ini yang terakhir bagi saya, karena menikahi seseorang dari hasil sebuah pencarian, terasa berbeda dengan hasil dicarikan hihihi. Nikah itu ibadah, maka kami berniat menyempurnakannya dengan menghalalkan hubungan yang hampir 2 tahun terpisah jarak, waktu, bahkan usia. Tapi bukankah jodoh, tidak mengenal jarak untuk mendekatkan yang jauh ? Uhuk.***
Jawa Timur, 1 Juli 2017