Saranghae... Yeongweonhi

28 6 2
                                    

Dulu aku berpikir tidak akan ada rasa sakit yang ku torehkan di hatinya... nyatanya sekarang aku melakukannya.

Matanya terlihat kosong memandang kedepan tanpa mau melihatku. Aku pun merasakan hal yang sama. Bahkan lebih. Aku hancur, tubuh dan jiwaku.

"Kenapa kalian tidak membunuhku saja?" Ucapan lirihnya menyayatku. Tangan seseorang yang ku genggam sedari tadi memucat dan bergetar. Aku menggenggamnya semakin erat, meyakinkan ini akan baik-baik saja.

"Sekarang aku adalah ayahmu. Jangan membuat ini rumit."

"Rumit?" Yong Hee menatap nanar padaku. Aku sakit melakukan ini.

"Cho Kyuhyun! Rumit kau bilang? Kau yang memperumit segalanya. Bahkan aku tak tau apa yang terjadi saat ini!"

" Eomma mohon tenanglah nak." Wanita di sampingku akhirnya berucap tanpa bisa menyembunyikan air matanya yang berderai.

Aku menghela nafas, aku juga ingin menangis, mengatakan semuanya dan  berhenti mengahancurkannya. Tapi aku tak mampu. Aku egois... aku menyadari itu. Bahkan kata brengsek sekarang menjadi nama depanku.

"Aku- bagaimana mungkin calon suamiku menjadi suamimu Eomma?! Hah?! Katakan!" Yong Hee berteriak sembari mengacak surai panjangnya. Hingga surai itu sudah tak terlihat indah. Aku ingin menyentuhnya, merapikannya seperti yang selalu ku lakukan.

Isak tangis Taera semakin kencang,
"Ku mohon tenangkan dirimu Yong Hee. Ini bukan salah Taera, semua kesalahanku...," Ucapku. Sebisanya aku bersikap dingin. Walau itu sangat sulit.

"Aku mencintai ibumu. Selama ini, aku memdekatimu hanya untuk mendapatkan ibumu di sampingku. Jadi relakan aku menjadi ayahmu!" Aku menekankan setiap perkataanku sembari menatap mata coklat terangnya dalam. Mata yang indah itu kini bukan tatapan lembut penuh cinta yang ia layangkan kepadaku. Hanya tatapan sedih, kecewa, marah, dan terakhir membuatku semakin hancur, dia membenciku.

Tanpa di sangka dia tertawa terbahak begitu keras dengan air mata yang masih berlinang.

" Wah... bagus sekali. Berarti kalian melakukan hubungan terlarang selama ini? Di belakangku?" Tanyanya dengan bengis. Taera menggeleng. Terasa di tak sanggup mengatakan apapun. Hanya air mata yang semakin bercucuran dan isak tangisnya yang berubah histeris.

"Apa kau sudah hamil Eomma? Berapa bulan? Atau jangan-jangan kau sudah melahirkan ketika aku pergi! Di mana anak haram itu?! Dimana?!!"

"Jaga ucapanmu!" Aku berteriak. Seburuk apapun, aku tetap menjaga tubuh dan hati ku hanya untuknya. Bukan yang lain. Yong Hee tercekat, ia mendenguskan tawa penuh kesakitan.

"Haha...! Bagus. Bagus sekali. Semoga kalian membusuk di neraka." Setelah mengatakan hal itu Yong Hee meninggalkan ruang keluarga dan menuju kamarnya dengan menutup pintu keras-keras.

Aku tak bisa menahannya terlalu lama, persetan dengan ego macho. Aku menangis mengusap wajah frustasi, sama halnya dengan Taera.

"Maafkan aku...," Ucapku setelah beberapa saat saling terdiam.

"Maaf melibatkan bibi hingga sejauh ini."

"Tidak. Lebih baik seperti ini, dia tidak akan lebih hancur dari ini." Hancur ya? Gadisku sudah hancur. Saat ini, detik ini.

Aku mendenguskan tawa dalam hati. Bodoh. Aku lelaki brengsek yang bodoh.

******

Tiga hari sudah Yong Hee tak keluar dari kamarnya. Tentu kami merasa khawatir sekaligus tersiksa dengan ini. Dan selama tiga hari itu aku memilih berdiam memperhatikan Taera yang berusa membujuk Yong Hee untuk keluar.

Aku berfikir apakah gadisku ini masih menangis? Apa kah dia jatuh sakit? Dia belum makan sama sekali. Selama itu pula, aku pun melakukan hal yang sama. Walau hal ini akan memperparah kondisiku.

Aku melangkah berdiri di depan pintu kamarnya setelah Taera tak dapat membujuknya.
Tanganku terasa bergetar ketika ingin mengetuknya, aku merasa semakin hari tubuh ini melemah. Aku takut, sangat takut jika Yong Hee tak ingin keluar dari kamarnya.

Aku merindukannya, sangat rindu. Tidak apa dia membenciku, asal dia berada dalam jarak pandang ini. Aku akan lega. Tanganku masih menggantung di udara, resah antara mengetuknya atau tidak.

Aku menghela nafas perlahan, "Hey... Yong Hee kumohon keluarlah. Kau belum memasukkan apapun dalam perutmu." Ucapku lembut.

"Yong~ie... kumohon aku tak ingin kau sakit." Sekarang aku mencoba memangilnya dengan panggilannya saat kecil.

Aku semakin lemas. Pandanganku terasa berkunang-kunang dan rasa sakit pada kepalaku mulai terasa semakin nyata. Seperti palu godam yang memukul bertubi-tubi.

Tes...

Aku merasakan sesuatu yang menetes dan jatuh tepat di lenganku. Mataku terbelalak. Tidak. Jangan sekarang kumuhon... jangan. Aku ingin melihatnya Tuhan...

Aku semakin berusaha mengetuk pintunya, "Yong~ie. Kumohon buka pintunya. Atau kau akan menyesali ini semua!"

Tubuhku bergetar. Dengan rasa takut yang semakin menjadi, ku seka darah yang menetes dari hidungku dengan cepat. Seperti orang frustasi aku semakin membabi buta mengetuk pintunya.

"Kumohon... kumohon yong~ie! Aku sekarat. Buka! Aku mencintaimu! Aku ingin melihatmu!" Aku frustasi. Gadisku tak membukanya.

Semakin banyak darah keluar yang ku rasakan. Aku menjambak rambutku berusaha mengurangi rasa sakit yang semakin menjadi-jadi. Aku terjatuh meringkuk tak berdaya. Pandanganku menghilang bersamaan dengan suara pintu dan jerit Gadis yang ku cintai. Semua selesai...

****

Seperti seseorang datang menarikku dari kegelapan dan membawaku pada kesadaran.

Sayup aku mendengar suara percakapan di luar ruangan,
"Tidak mungkin dokter. Kyuhyun tidak... Leukimia? Tidak mungkin!" Yong Hee! Dia mengetahuinya...

"Tenang nak. Tenangkan dirimu."

"Kau hanya bisa mengatakan itu! Eomma mengetahuinya bukan? Katakan! Ku mohon katakan!"  Dia berterik. Aku tidak mendengar jawaban apapun dari Taera.

"Ini Sudah setadium empat, saya rasa tidak ada harapan untuk pasien. Untuk melakukan operasi juga tidak memungkinkan. Pasien butuh donor sumsum tulang belakang." Aku meremas dada kiriku. Terasa sakit sekali.

Yong Hee... ingat jika aku mencintaimu seumur hidupku.

" Periksa saya. Selamatkan dia."

"Silahkan ikuti saya."

***

Yong Hee membuka pintu dan mendekat ketika melihatku sudah tersadar. Gadisku melangkah dengan lunglai. Wajahnya sembab penuh air mata.

Tanpa bisa menahan aku pun ikut menangis. Tanganku berusaha menggapainya.  Yong Hee menyambutnya, kami bersama-sama menangis. Dia terisak penuh kesakitan.

"Peluk aku," Aku memintanya, dia memelukku dengan hati-hati. Badannya bergetar.

"Kenapa kau seperti ini? Aku berusaha membencimu, tapi tetep tak bisa." Aku terkekeh pelan.

"Mianhae... untuk segalanya."

"Pembohong! Tidak ada pernikahan. Kenapa kau melakukannya?"

"Hah... aku tak ingin membuatmu menangis ketika aku pergi. Cukup kau membenciku saja." Aku mengeratkan pelukanku. Kepalaku mulai terasa sakit kembali.

"Kau akan hidup Cho. Bersamaku."
Aku meringis tanpa bisa menjawabnya. Apa ini benar akan menjadi akhir?

Dengan tenagaku yang tersisa aku berucap,"Selamanya... aku mencintaimu. Bahkan hingga akhir sayang."
Dan aku tak bisa menahannya terlalu lama. Hingga semuanya gelap.
Dan ini benar akhir segalanya.

Ingat aku mencintaimu... Jung Yong Hee...

Saranghae... YeongweonhiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang