Napasku mampat. Nyaris. Terlampau sulit mendapatkan oksigen tatkala dadaku dipenuhi bingkah-bingkah pilu. Aku meraung keras dan hanya rinai yang mendengarku. Merasa terlalu pandir untuk menghadapi hidup. Seharusnya takdir tak menyiksaku seperti ini. Kenapa keadilan begitu absurd memihakku? Aku hanya ingin memiliki sedikit cintanya, namun ia pergi tanpa menyisakan apa pun yang bisa aku simpan. Hanya rasa sakit ini, hanya kenangan pahit yang tersimpan dan tak berarti untuk dikenang. Rasa itu akan semakin menjadi, aku tahu, seharusnya aku tak memikirkan apa-apa. Namun, aku tak bisa. Setiap aku menutup mata, sosoknya terselip di sana, saat aku menutup telingaku, suara tawanya terumbar. Aku tidak bisa selamanya hidup seperti ini. Namun, pilihan apa yang ada? Tidak ada pilihan lagi. Jiwaku seolah mati meski aku menjalani aktivitas seperti orang normal. Aku kehilangan diriku.
“Kau menangis bahkan di saat kau kedinginan. Apa kau tidak bisa berhenti jadi orang cengeng?” aku terenyak, menoleh dan tanpa sadar sudah berteduh di payung seorang pemuda. Wajahku masih meribak.
“Kau patah hati lagi?” tanya pemuda itu. Aku tak menjawab, hanya mengangguk. Bukannya menenangkan, pemuda itu malah tersenyum.
“Jika kau berhenti memikirkan itu, kau tak akan merasa sakit lagi.”
“Bagaimana aku bisa melakukannya?” Aku menatapnya bingung. Itu suatu kemustahilan. Luka ini masih terlalu muda, dan bahkan suaranya masih aku dengar di sela-sela kesadaranku. Bagaimana aku bisa bernapas tanpa beralih memikirkannya?
Ia tak menjawab. Ia mengabaikan ucapanku, mengabaikan payungnya, lalu menggengam tanganku. Kemudian menarikku berlari. Aku terlonjak, namun tubuhku tak menolak.Tanpa peringatan ia berhenti mendadak, membuatku nyaris menubruknya jikalau aku tak menyeimbangkan diri.
“Bagaimana kau bisa menangis sendiri? Bukankah 2 lebih baik? Mau aku temani menangis?” aku tergeming, mencoba memahami lelucon ini. Bagaimana ada manusia bisa memikirkan ini? Aku bahkan tak mengenalnya, dan sekarang ia memintaku menangis bersama. Alih-alih menitikkan iluh aku malah tertawa kecil.
“Kau bukan orang yang asik diajak menangis.” Celetukku. Ia tersenyum.
“Aku bisa menangis bersamamu, aku juga bisa tertawa bersamamu, namun jangan minta aku untuk mati bersamamu.” aku kembali tertawa.
“Lagipula siapa yang memintamu ikut mati bersamaku?” Ia tak menjawab, namun ia menyodorkan sebuah surat lusuh yang nyaris luruh oleh hujan. Aku mengingat surat itu. Aku baru saja menulisnya sebelum berhasil berlari dan membengkos. Aku menulis surat penyesalan itu, memasukkannya dalam botol dan menghanyutkannya ke sungai. Ibarat surat cinta. Aku tak tahu bagaimana cinta bisa diketahui jika disampaikan dengan cara demikian, namun aku melakukan hal yang sama pula karena itu ungkapan untuk melegakan perasaan. Kukira apa yang aku lakukan akan lancar, tak akan ada yang tahu. Namun, aku salah besar. Bagaimana bisa pemuda ini rela menghanyutkan diri untuk tahu apa yang aku tulis? Itu tindakan yang aneh untuk seorang yang bahkan tak saling kenal.“Aku akan mengenangmu meski memilikimu sesuatu yang tak mungkin. Yang bisa aku lakukan adalah mencoba melupakanmu. Itu sulit. Dan kau tahu itu. Namun, tidakkah kau merasa apa yang kau lakukan sangat buruk? Kau mengakhiri hubungan kita tanpa mebiarkanku tahu lebih banyak tentang kamu. Aku tak tahu apa yang tak kau suka dariku hingga membuatmu merasa tak enak. Namun, sikapmu itu membuatku ingin mati. Aku sungguh kesal, kenapa aku bisa mengenal orang semacam dirimu. Dengan cara apa aku harus melupakanmu. Kehidupan tak akan membiarkanku bernapas lega selama otakku dipenuhi oleh dirimu. Aku harus bagaimana?” Ia membaca penggalan barisan yang aku tulis. Aku tahu ini sangat konyol. Namun tindakannya ingin tahu urusanku lebih dari konyol.
“Kau mau mengakuinya? Mati itu bukan tindakan yang baik.”
“Siapa pula yang mau mati? Aku tidak jadi melakukannya, lagipula ini terasa aneh. Aku tidak akan melakukan itu.” Pemuda itu tersenyum, dan mengusap puncak kepalaku. Aneh, kenapa rasanya sangat familier.
“Kau,” aku mencoba mengenali sosok di depanku. Dia tersenyum.
“Di malam yang dingin dan dihiasi rinai kecil, 14 Februari 2008, umurku baru menginjak 12 tahun saat aku terduduk sendiri di dekat trotoar jalan. Kau turun dari mobil dan mengampiriku. Memberiku cokelat. Lalu aku mengatakan, ‘Apa kau memberikannya karena kau mencintaiku?’ Kau tak menjawab, kau hanya tersenyum dan mengusap puncak kepalaku. Lalu, kau berbalik dan berseru. ‘Kurasa aku menyukaimu.’ Dan kau menghilang.” Ia menceritakan detail yang mengingatkanku. Sontak jantungku mencelos, dan mataku terbeliak.“Aku ingin kau melupakan sakit hatimu dan melihatku, lalu tersenyum. Seperti 7 tahun yang lalu. Berbahagia saat menyukai seseorang. Lagipula aku menerima perasaanmu.” Aku masih tergeming. Mencerna segala hal. Bagaimana pemuda asing ini bisa mengenaliku? Itu sudah lama, dan aku bahkan tak mengingat air mukanya sama sekali. Kini, dengan sebuah moment familier ia kembali masuk dalam hidupku. Aku harus bagaimana?
Ia kembali mengusap kepalaku. mengembangkan senyum madu menawannya dan menatapku serius.
“Ayo, kita pacaran.” Dan air mataku pun tersapu hujan. Meninggalkan keterkejutan bersanding bersama rasa debar yang aneh.Aku tak tahu dalam tanda apa cinta harus dimulai dan diakhiri, yang aku tahu hanyalah entah di mana, sadar atau tidak, akan selalu ada cinta yang bisa dipupuk, tergantung bagaimana kau menyemainya. Cintaku mungkin sudah cukup lama terselip dalam waktu, namun pemuda ini mengingatkanku, betapa dulu saat sekecil itu aku bisa menaruh peduli pada pemuda asing hingga memberinya cokelat terakhir buatanku, dan berseru ‘suka’.
The End