Privilege

2.7K 307 13
                                    

.

Bergeming tanpa ekspresi dengan masih mengikir sisi kiri pelipisnya memakai tutup bolpoin, Namjoon memperhatikan bagaimana Seokjin, basah kuyup dari kepala hingga ujung sepatu, berjalan gontai memasuki asrama dan lurus melintasi ruang tengah, membuang tetesan air sepanjang lantai menuju kamar mandi dan membanting pintu hingga Jimin berjengit kaget. Tiga anggota yang tersisa hanya saling melempar pandang sebelum Yoongi berkedik menyuruh mereka pergi ke kamar masing-masing. Termasuk dirinya sendiri.

"Tidur, Jungkook," tudingnya. Yang ditegur balas menggerutu, pun segera mengekor Hoseok tanpa berkomentar. Hujan masih turun di luar sana, sesekali diiringi riuhnya gerumuh yang membuat Namjoon mengerenyit. Tidak biasanya ada badai di musim seperti ini. Tak biasanya juga seseorang bersikeras pergi meminjam mobil manajer mereka dengan dalih mencari udara.

Dan menilai dari raut wajah Seokjin, gestur lengan yang terayun kesal, caranya berjalan, juga rahang yang mengeras tegas, Namjoon yakin ada sesuatu yang tengah berkecamuk di benak pria itu. Sesuatu yang cukup penting untuk dihiraukan karena sanggup membuat Seokjin acuh bahwa mereka ada di sana dan mendapatinya bertingkah ala remaja labil yang baru putus cinta.

Tidak. Namjoon bukan tipe yang suka ikut campur. Bahkan saat memutuskan untuk beranjak dari posisi nyamannya di gundukan sofa dan melangkah perlahan menuju ke kamar mandi, Namjoon masih mantap menahan diri. Tak ada pertanyaan, tak ada tatap heran, tak perlu berlagak penasaran.

Ditekannya daun pintu hati-hati, bersiap pergi apabila memang terkunci. Tapi tidak, pembatas di hadapannya terbuka begitu mudah seperti menyilakan tamu. Insting, diketuknya hati-hati memakai buku jari. Satu. Dua kali.

"Hyung?"

Hening.

"Seokjin-hyung?"

Tak ada respon.

Berdecak heran, Namjoon berkacak pinggang sambil menarik napas panjang. Kiranya sadar jika keadaan akan menjadi sedikit merepotkan. Dilepasnya kacamata, menaruhnya di rak kaca dekat gantungan handuk, menggulung lengan kemejanya hingga siku, kemudian menyelinap usai menyibak tirai. Seokjin masih berada di sana, berdiri terpaku di bawah pancuran yang mengucur deras. Masih mengenakan sweater dan jinsnya, lengkap dengan kening bersandar di dinding serta telapak tangan yang sibuk meremas tengkuk. Memutar fokus, Namjoon menajamkan mata, mencari-cari bila Seokjin melukai diri di satu tempat. Nihil.

Tak menemukan hal ganjil, Namjoon memilih untuk berdiam sembari bersedekap di seberang pancuran. Lengannya terlipat menunggu perintah sampai akhirnya Seokjin melempar dengus sambil berpaling. Sudut bibir pria itu tertarik turun dengan tajam.

"Namjoon."

"Ya?"

"Kau tak akan pergi walau kuminta, kan?"

"Hmm—mm."

Kembali membuang muka, Seokjin menjauhkan kening dan beralih menengadah menyambut kucuran air. Baru ketika dagunya berayun turun, Namjoon mendengarnya bergumam.

"Ingin bertanya apa yang terjadi?"

Bergeser dari sikap semula walau tahu Seokjin tak bisa melihat, Namjoon menggeleng. Jika Seokjin ingin bercerita, dia bersedia memasang telinga.

"Tidak juga."

"Baguslah."

Selama beberapa detik tak ada yang bergerak maupun bersuara, hanya Seokjin yang berkali-kali berdecak dan meremas tengkuk lebih kasar. Namjoon berjalan mundur, berbalik mengunci kamar mandi sebelum meniti petaknya menghampiri Seokjin.

Slice of Life - PRIVILEGE (NamJin)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang