Five

38K 1K 26
                                    

           

Lelaki itu terkulai lemas dengan menahan sakit di sekujur tubuhnya. Lagi, dan lagi, ia harus merasakan bagaimana tongkat kayu itu berkali-kali mengenai lengan dan kakinya. Menangis? Tidak. Air matanya sudah tak lagi tersisa, lagipula, apa yang ia bisa harapkan dari tangisan itu, ketika tangan-tangan kasar tersebut akan menjambak rambutnya atau memukul rahangnya untuk memberhentikannya?

            Ya. Disitulah sosok kecil tak berdaya berada. Lampu temaram mencoba untuk menyembunyikannya, namun kamar sempit itu tahu semuanya. Penderitaan sang anak, ringisannya, kernyitan sakitnya selama lebih dari dua tahun. Dia, sosok itu, masih terlalu muda untuk mengerti kekejaman yang ia terima bertubi-tubi.

            Pintu tua itu berdecit, dan saat itu pula, cengkraman sang anak menjadi lebih kuat pada sprei putih tulang yang sudah kusut. Lelaki cilik iu memejamkan matanya takut-takut, terlebih, ketika piring besi disodorkan dengan kasar kepadanya.

            "Makan!" Lelaki itu selalu tak habis pikir, bagaimana suara lembut yang ia dengarkan hampir 10 tahun itu berubah jadi serak nan mengerikan. Tak ada lagi kasih sayang, hanya ancaman.

            "Mama,"

            "Makan!"

            "Mama, Adam tidak ingin makan. Adam sak—"

            "MAKAN! JANGAN JADI ANAK MANJA!"

            PRANG.

            Lelaki itu sontak memundurkan tubuhnya ketika menyadari piring besi yang tadi dibawa sosok tua itu sudah terlempar, berceceran di bawah kasurnya.

            "TIDAK ADA JATAH MAKAN MALAM! MAKAN ITU ATAU MATI KELAPARAN!"

            BRAK.

            Pintu kayu itu ditutup dengan keras, membuat si sosok kecil lagi-lagi harus menggigit bibir bawahnya, hanya demi meringankan rasa sakit di hatinya. Lagi, ia memilih untuk meringkuk di atas tempat tidur. Tangis tak dapat ia tahan. Sungguh, ia muak dengan kehidupannya.

            "I can't. I just.. can't do this anymore, this hurts, mom."      


            "This hurts,"

            Adam Harrison tampak menutup matanya, entah sejak kapan, tangan itu mengepal. Dihadapannya, ada sosok gadis setengah telanjang yang meringkuk ketakutan. Sama. Sama dengan keadaannya puluhan tahun yang lalu. Ya, Thea Kennova mengingatkannya tentang lelaki kecil tak berdaya, yang hanya bisa terima diperlakukan semena-mena.

            Hal itu sama sekali tidak membuat hati Adam tergerak untuk memeluk tubuh mungilnya. Hati yang tergerak? Bahkan, pria itu sudah tumbuh lebih dari 20 tahun tanpa memakai hati dan nurani. Dia tumbuh menjadi pribadi yang kejam, yang mampu melakukan apapun untuk membuat orang lain tersakiti. Ia sama sekali tak mau repot untuk merasa iba, karena baginya, dengan orang lain merasakan apa yang ia rasakan dahulu, maka itu sudah lebih dari cukup. Lalu sebenarnya, apa yang terjadi pada Adam hingga ia mau memukul bajingan itu hanya untuk...

            Sialan. Dia harus segera pergi, karena dia yakin, dia sedang gila saat ini.

            Tanpa ragu, Adam berbalik arah, hendak pergi dari tempat itu, tepat ketika Thea menarik ujung jas-nya, "Don't leave me, please."

            Adam menatap gadis itu. Thea yang berbeda dari biasanya. Thea dengan tatapan sayu dan memohon. Thea dengan bekas tangisan yang melunturkan make up-nya. Thea dengan sudut bibir yang terluka, dan rahang yang lebam. Thea dengan gaun yang sudah robek tak beraturan. Adam sudah cukup gila dengan menghentikan langkahnya karena mendengar suara lirih yang tengah memohon padanya. Namun, ia sadar, ia lebih gila lagi karena...

            Entah mengapa, keadaan Thea yang seperti itu, benar-benar membuatnya terangsang.

            "No, Adam," Suara itu berteriak di kepala Adam, membuatnya harus menahan dengan keras hasrat yang tiba-tiba muncul dalam tubuhnya. Pria itu dengan cekatan melepas jas yang melekat di tubuhnya, lalu melemparnya dengan kasar hingga menutupi bagian bawah tubuh Thea. Tanpa mengatakan apapun, pria itu memilih untuk pergi, meninggalkan Thea yang tampak mengerjapkan matanya sejenak.

            Dengan sisa-sisa tenaganya, Thea bangun dari posisi sebelumnya, mengenakan jas hitam milik Adam dan pergi dari tempat itu dengan tertatih.

            ***

            Untuk ketiga kalinya, Adam meminum gelas berisi tequilla yang langsung saja menyiram tenggorokannya. Ia tidak tahu apa yang terjadi, namun, ia tak bisa memungkiri betapa bodohnya dirinya. Sialan. Mengapa ia harus mengikuti Trevor yang tengah menyeret Thea ke sebuah kamar? Mengapa pula ia harus marah mendengar teriakan Thea yang penuh kesakitan? Adam hanya ingin melupakan penatnya, namun, ia justru dikejutkan dengan fakta yang entah kenapa tiba-tiba merasuki jiwanya. Katakan. Sejak kapan ia mau mencampuri urusan orang lain, sebelum orang lain itu membuat masalah padanya? Jawabannya sederhana. Sejak dia melihat senyuman manis Thea yang masih saja terbentuk, bahkan setelah ia menyiksa gadis itu habis-habisan.

            Adam memijat kepalanya sendiri untuk meringankan rasa sakit yang sejak tadi bersarang di kepalanya. Sialan. Dia benar-benar kacau. Bagaimana bisa gelas ketiga sudah mampu melumpuhkannya seperti ini?

            "This hurts, mom.."

            Suara itu lagi-lagi terngiang di kepalanya. Suara yang begitu Adam benci. Suara lemah tak berdaya yang bahkan tidak bisa melakukan apapun untuk melindungi dirinya, "Fuck, fuck!"

            Tanpa sadar, Adam meremas keras-keras gelas bekas tequilla-nya, hingga pecah. Ya. Benar-benar pecah. Adam masih mengepalkan tangannya, tidak peduli ada pecahan kaca di kepalannya, tidak peduli ada darah yang mulai menetes dari kepalannya, dan, tidak pernah peduli akan rasa sakit dan perih yang ditimbulkannya. Toh, dia sudah pernah merasakan kesakitan yang ratusan kali lebih parah sebelumnya.

            "This hurts,"

            Kini, suara Thea yang muncul dikepalanya. Ya. Suara Thea beberapa waktu lalu. Suara Thea yang penuh rasa sakit dan ketakutan, beserta bayangan bagaimana keadaannya. Adam menutup matanya, kembali memijat kepalanya untuk menghilangkan bayangan tersebut, namun, semua seolah gagal.

            Ting Nong.

            Ting Nong.

            Sejenak, Adam membuka kepalan tangannya hingga kepingan gelas kaca penuh darah itu terjatuh ke lantai. Bel appartment itu terus saja berbunyi, mengganggunya. Mau tidak mau, Adam berdiri dari bar mini pribadinya, kemudian berjalan tertatih menuju pintu appartment. Setidaknya, untuk membunuh siapapun yang berani menginjakkan kaki di area-nya dan berani mengganggunya.

            Ting Nong.

            Suara bel yang kembali berbunyi, membuat Adam membuka pintu appartment-nya dengan penuh kemarahan. Dan ya, kemarahannya bahkan semakin memuncak ketika ia tahu siapa yang dengan berani mengganggu dirinya untuk hal yang benar-benar tidak penting.

            "Apakah aku mengganggumu? Aku hanya," Tatapan mata itu beralih pada telapak tangan Adam yang berdarah, "Ya Tuhan, Adam! Apa yang—"

            "Stop!" Adam mengangkat tangannya, menghindari sosok yang baru saja akan menyentuh telapak tangannya. Pria itu menatap sosok itu dengan pandangan tajam penuh kilatan kemarahan. Dia benar-benar tidak habis pikir, kenapa gadis mungil seperti Thea Kennova benar-benar tidak punya rasa takut sedikitpun. Mengapa gadis itu selalu saja mengusiknya, membuatnya benar-benar marah?

            Adam ingin marah, namun, rasa sakit yang menyerang kepalanya jauh lebih besar daripada kemarahannya. Adam berjalan mundur dengan ling-lung. Tangannya yang penuh darah memijat kepalanya dengan kesal. Hal itu membuat mata Thea membulat, "Adam!"

            "Don't touch me!" Bentak Adam, namun, Thea tak lagi menghiraukannya. Gadis itu berlari untuk menopang tubuh Adam. Dengan susah payah, pria itu berusaha menolak, namun gagal. Karena pada kenyataannya, beberapa detik kemudian, dia sudah jatuh pingsan dalam pelukan Thea.

MR. DOMINANT [18+]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang