[ Tanpa Nama ]

1.7K 230 53
                                    


***

Konstan.

Tepat jam tujuh pagi ia datang.

Sejak tadi aku menunggu kedatangannya. Dia terlihat terburu-buru padahal masih tersedia dua puluh menit lagi untuk menunggu datangnya bus.

Hari ini pun sama, setelah sampai halte ia akan berkeliling untuk menyapa semua orang dan membagi-bagikan roti seribuan kepada semuanya. Lalu pada menit ke-lima belas ia akan duduk tepat disampingku sambil sesekali menyenandungkan lagu-lagu lawas.

Sudah sebulan belakangan ini aku memperhatikannya, sosoknya biasa saja namun menguarkan aura hangat yang menenangkan dan keramahannya mampu membius semua kalangan.

Aku kagum dengannya yang ramah dan berbanding terbalik dengan diriku. Aku kaku. Jangankan untuk mencoba basa-basi dengan orang tak dikenal, untuk berbicara santai dengan teman satu kelasku-pun aku masih bingung caranya.

"Hai." Tepat menit ke-lima belas. Aku hanya menanggapi sapaannya dengan senyuman seadanya.

"Kita selalu ketemu ya?"

Aku ingin menjawab "Tentu, kita selalu bertemu karena aku ingin selalu bertemu. Aku bisa saja naik ojek online tapi aku tetap memilih bus." Sayang sekali kata-kata itu hanya tersimpan dalam hati. Jadi sebagai gantinya, aku menjawab "Mungkin kebetulan?"

"Tapi aku tidak percaya kebetulan." Aku terperangah. Belum sempat aku memutar otak untuk mencari jawaban, bus datang ditandai suara klakson yang khas.

Kita berpisah.

***

"Baik, saya akhiri untuk hari ini. Terima kasih dan silakan pulang"

Seketika seisi kelas menjadi gaduh, ada yang sibuk bercerita akan-kemana-kita atau hanya sekedar bertos ria dengan sahabat. Sedangkan aku dan sedikit orang tak dianggap lainnya sibuk membereskan dan menyimpan alat tulis yang tadi dipakai.

Tanpa aba-aba mereka langsung keluar kelas sambil cekikikan tanpa pamit kepada guru bahkan sekedar senyumpun enggan.

Dasar tidak tahu sopan santun, pikirku.

Bahkan sekaku-nya diriku, aku masih menyempatkan diri untuk bercengkrama dengan orang yang disebut pahlawan tanpa tanda jasa tersebut.

Jemu dengan pikiran tentang betapa bodohnya mereka, aku memutuskan pulang setelah pamit pada Pak Eko dan basa-basi singkat.

Sama seperti tadi pagi, pulangpun aku menggunakan bus. Sayang sekali aku tak pernah dipertemukan dengan dia. Bus pulang biasanya dipenuhi murid yang pulang sekolah sama sepertiku, tapi perjumpaan dengannya hanya bisa dilakukan di pagi hari. Lima menit setiap lima hari dalam seminggu.

Selama perjalanan, yang ada di benakku hanyalah dia. Dia yang selalu datang pada pukul tujuh tepat. Masih terngiang-ngiang ucapan terakhirnya tadi pagi. Aku ingin segera pagi.

Tidak terasa bus telah sampai di pemberhentian, hanya butuh jalan kaki sebentar untuk sampai ke perumahan sederhana di mana aku tinggal.

Ketika sedikit lagi akan mencapai rumah, bunyi hp ku menginterupsi perjalananku. Ternyata sebuah SMS dari Ibu, Ibu menitip kecap di minimarket. Aku sedikit mengeluh, karena sebentar lagi akan sampai rumah tapi harus memutar haluan ke minimarket. Untungnya minimarket tidaklah jauh darisini.

Tanpa Nama (1/1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang