Ruangan itu tidak lebih luas dari kamar Aron, dengan domnasi warna hitam dan satu meja penuh kertas yang menguarkan aroma menyebalkan bagi Aron. Seorang pria paruh baya dengan kepala lebih menyilaukan dari cahaya mentari pagi duduk mengetukkan jarinya pada meja kaca didepannya. Pandangannya tajam penuh dendam itu, terarah lurus pada laki-laki tujuh belas tahun berseragam SMA yang duduk dihadapannya dengan senyum tanpa dosa.
Selamat Siang Tuan Gravael, sapa Aron dengan nada manis, tentu hal itu semakin membuat kepala sekolah SMA Brahmardika tersebut terbakar emosi.
Kedatangan siswa bernama Aron Felix sambil tersenyum seperti sekarang ke ruanganya setelah kekacauan yang dia buat saja sudah membuat Pak Gravael ingin menjatuhkan granat ke muka laki-laki tersebut, mungkin sedikit luka pada paras tampannya akan lebih baik untuk dinikmati di masa pensiunnya yang hampir dekat.
"Saya rasa bapak merindukan saya, mungkin ada sesuatu yang perlu kita lakukan selain diam," lanjut Aron dengan bahasa baku tanpa terkesan dibuat-buat, mereka yang mendengarnya akan berpikir -tidak mungkin siswa seperti dia yang mencorat-coret lapangan basket dengan karikartun wajah menyebalkan guru matematika SMA Brahmadika!
Pak Gravael mengusap wajahnya frustasi, "Aron, ini sudah panggilan kelima dalam satu bulan ini, dan sekarang kamu berulah lebih buruk dari sebelum-sebelumnya!"
Aron meletakkan tangan kanannya kedada, memasang ekspresi tersakiti. Seakan dia adalah korban dan bukanlah pelaku, "Saya hanya berusaha mengecat ulang lapangan basket yang sudah kusam, Pak."
"Aron!" Seru Pak Gravael memukul meja didepannya. Aron yang sudah biasa dengan semua itu, tak perlu terkejut apalagi takut. "Berhenti bermain-main."
"Saya tidak sedang bermain, bapak bisa lihat saya duduk dengan tenang sekarang," jawab Aron santai.
Untuk kedua kalinya Pak Gravael mengusap wajah frustasi, ia menjatuhkan punggungnya pada sandaran kursi. "Saya sudah tidak tau harus memberi hukuman apalagi untuk kamu."
"Wah jangan terlalu berpikir berat, Pak. Sa-
"Diam kamu!" Seru Pak Gravael memotong kalimat Aron, "Kali ini saya tidak hanya akan memberikan skorsing. Lebih tepatnya belum, kamu punya waktu tiga hari untuk menghilangkan gambar yang kamu buat di lapangan basket. Jika sampai tiga hari saya belum melihat lapangan itu bersih. Saya bisa keluarkan kamu dari sekolah dengan mudah!" Tekan Pak Gravael dengan nada final.
Aron mendengus saat tangan Kepala sekolah tua bangka itu mengisyaratkannya untuk keluar, lebih baik skorsing satu minggu atau satu bulan tidak masalah bagi seorang murid seperti Aron Filix, yang berarti adalah liburan lebih awal. Tapi membersihkan lapangan?
Whats to be boring!
Dan saat Aron sudah keluar dari ruangan menyesakan itu, secepat itu juga kekesalannya hilang, saat dilihatnya seorang gadis dengan rambut kucir kuda tengah menempel sesuatu di Mading sekolah.
•••
Ketua OSIS SMA Brahmardika, Vanessa Agnesia. Atau biar Aron sebut -Mantan paling membosankan. Mengingat itu senyum miring Aron tersunging.
Sekarang dia punya rencana.
"Vanessa..." Sapa Aron seraya bersandar didinding, tepat disebelah gadis bermata almond tersebut seraya melipat kedua tangannya.
Gadis itu melirik sesaat hanya untuk memutar bola mata sebelum kembali sibuk menempel sesuatu dimading. Baginya, Aron adalah masalah. Sudah cukup bagi Vanessa bermasalah dengannya di masa lalu, Vanessa adalah gadis pintar dan mandiri, dan dia sudah berjanji untuk tidak lagi menaruh hati pada si brengsek disampingnya sekarang.
Merasa diabaikan, Aron meraih selembaran yang baru saja Vanessa tempelkan, membuat gadis itu memekik tertahan, antara terkejut dan kesal.
"Aron!"
"Ya, sayang?"
Mendengar panggilan itu membuat Vanessa lebih kesal dari sebelumnya, meski tak urung pipinya merona. "Gue sedang sibuk! Lo gak lihat apa?!"
"Lo selalu terlihat dimata gue, Vanessa. Dan yang terlihat adalah lo sudah selesai dengan bedebah apalah itu," kata Aron seraya melirik tangan Vanesa yang terlipat dengan mading didepannya, sebagai isyarat Vanessa tidak punya lagi sesuatu untuk ditempelkan disana.
"Jadi apa mau lo!" Seru Vanessa setengah membentak.
"Slow girls, lo makin cantik kalau lagi gitu, bikin minta balikan aja," Kekeh Aron tenang, berbeda dengan Vanessa yang setengah mati mencoba tetap menunjukan image tegasnya -Bahwa dia tidak mempan dengan segala tipu daya Aron felix. Tidak lagi.
Dengan cepat Aron merubah posisinya menjadi tegak, membuat tinggi Vanessa hanya sebatas bahunya, dan kenyataan itu membuat Vanessa sedikit mengumpat karena secara tidak langsung ia merasa terintimidasi. Beruntung jam istirahat pertama seperti sekarang korior cukup sepi, sebagian siswa pastilah berada di surganya sekolahan, mengingat banyak rumor beredar bahwa harga bakso di kantin sedang turun.
Kedua tangan cowok itu bersembunyi di balik saku celana, bola mata hitam legamnya tepat beradu dengan manik mata Vanessa, membuatnya merasa bagai tikus yang diintai sang elang. Aron dengan wajah seriusnya pantas disebut dengan bencana.
"Tadi gue dipanggil kepala sekolah soal masalah lapangan basket, dan gue sempat gak sengaja denger waktu dia menyinggung soal pengurus OSIS yang gak cepat tanggap sama kondisi sekolah. Gue merasa kasihan aja sama lo, berhubung lo ketua dan kita- punya sesuatu di masa lalu-jadi gue hanya mau membantu," Aron mengakhiri kalimatnya dengan menepuk bahu Vanessa, seakan isyarat ia ikut prihatin dengan kabar yang ia bawa.
Vanessa benci ekspresi Aron ketika mengucapkan kata masa lalu, tapi kepanikannya terlanjur menguasai. Bagaimana bisa? Dia sang ketua yang tidak pernah gagal? Tidak ada yang tidak bisa ia tanggani? Selalu bisa dibanggakan tanpa melakukan kesalahan dalam setiap tugas maupun wewenang yang ia punya.
"Berhubung gue baik, gue akan menyediakan cat baru untuk lapangan basket. Jadi sebagiknya lo kerahkan para kurcaci lo itu mulai nanti sore, oke." Tutup Aron dengan ibu jari dan jari telunjuk menyatu serupa huruf o. Kemudian ia berbalik dengan langkah ringan meninggalkan Vanessa. Seringan senyumnya terangkat memenuhi paras tampannya.
•••
*Antara Cameron Dallas dan Alvaro mel, menurut kalian lebih hot siapa?
KAMU SEDANG MEMBACA
LET's PLAY
Teen FictionSekolah menengah tinggi adalah arena bermain. Dimana ada pemenang, dan ada pecundang. Ada sekutu, dan lawan. Dan disinilah Aron Felix berada, untuk menjadi pemeran utama.