Androphobia.

298 90 298
                                    

Kita memang belum tentu di takdirkan bersama. Tapi setidaknya, aku tahu bahwa semesta pernah mengukir sebuah kisah manis bagaimana kerasnya aku berusaha untuk mencairkan es dalam hatimu.

Tak apa bila cintamu yang datang terlambat. Namun satu yang ku minta; agar perasaan ini dapat terbalaskan.

•••••

Malam ini memaksa gadis yang bernama Jingga harus berjalan sendirian di gelapnya malam. Ia sibuk melangkahkan kaki untuk pulang ke rumahnya. Andai saja gula di rumah tidak habis, pasti Jingga tidak akan keluar malam seperti ini.

Entah kenapa, Jingga merasa ada seseorang yang mengikutinya dari belakang. Dengan langkah tergesa-gesa Jingga melangkahkan kakinya sedikit lebih cepat, memegang erat-erat kantung plastik berisi gula yang baru saja ia beli. Tak lupa juga dengan mulutnya yang sedari tadi berkomat-kamit mengeluarkan semua do'a yang ia hafal, sampai-sampai do'a masuk kamar mandi pun ia lafalkan, padahal jelas-jelas ia tengah berjalan di jalan raya yang tak ada sangkut pautnya sedikitpun dengan do'a masuk kamar mandi.

"Aaaaaa!!!!" jerit Jingga kencang, ketika seseorang di belakang memegang pundaknya.

Seketika Jingga menegang, jantungnya berdebar kencang, keringat dingin mulai mengucur di pelipisnya, dan matanya terpejam.

"Lo kenapa sih? Gue Samudra, bukan preman!" Ucap cowok itu, "lo ngapain jalan sendirian malem-malem gini?"

Bukannya menjawab pertanyaan Samudra, Jingga justru terisak mengeluarkan air matanya.

"Lho, kok lo malah nangis? Gue gak ngapa-ngapain juga." Samudra semakin mendekati Jingga, lalu memegang kedua pundaknya.

Dengan cepat Jingga menepis kedua lengan Samudra, lalu berjalan sedikit menjauh. "Jangan pegang-pegang gue!" Lirih Jingga.

"Di minimarket tadi gue liat orang mencurigakan ngeliatin lo terus, makanya gue ngikutin lo karena takut ada apa-apa sama lo." Jelas Samudra, "lagian siapa juga yang mau ngapa-ngapain lo, badan rata gini aja belagu." Lanjutnya.

Tanpa berbicara sedikitpun, Jingga langsung berlari sekencang mungkin meninggalkan cowok itu sendirian di sana. Bukan apa-apa, Jingga sangat trauma dengan kaum mereka, Jingga takut berdekatan dengan laki-laki manapun.

"Eh, kok malah lari sih? Dasar cewek aneh." Gerutu Samudra.

Napas Jingga terengah-engah ketika sampai di rumah. Ia langsung masuk ke dalam, lalu mengunci pintu.

"Jingga, ada apa?" Tanya seorang perempuan setengah baya itu dengan lembut.

Jingga menggeleng dan memeluk sang wanita tersebut kemudian berucap, "Ma, Jingga gapapa kok."

Kiki, sang Mama hanya membuang napas gusar melepas pelukan Jingga lalu menatap matanya lekat. "Seriusan gapapa?"

Jingga mengangguk, lalu berjalan menuju kamarnya setelah mengecup pipi Kiki.

Lagi-lagi Kiki membuang napasnya gusar. Untuk kesekian kali putrinya selalu seperti ini.

***

Sang Surya mulai bergerak naik dari ufuk timur, kepakan sayap burung-burung membuatnya terbang tinggi menambah kesan indah pagi hari ini.

Jingga mulai melangkahkan kakinya memasuki gerbang sekolah. Berjalan dengan seperti biasanya; berwajah datar, lalu menghiraukan sapaan dari murid-murid lain. Terkesan sombong, tetapi seperti inilah, Jingga Frizilla.

"Jingga!" Panggil Friza, satu-satunya murid di sekolah ini yang berhasil menjadi sahabat terbaik Jingga.

Merasa namanya dipanggil, Jingga pun menoleh dengan senyum tipisnya, "Friza? Lo sekelas lagi sama gue?" Tanya Jingga

Androphobia (Kelompok Langit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang