Senjaku. Berbeda dengan senja yang lain. Kau tahu, Senjaku memiliki garis lengkung terindah di dunia. Garis lengkung yang tercipta akibat tarikan dua sisi yang berseberangan di wajahnya. Garis lengkung yang membuatku langsung jatuh hati kepadanya.
Mataku tak berkedip menatap pergantian senja ke malam. Meremehkan kembali keindahan senja yang dibanggakan semua orang dengan senyum kecut. Mulai membandingkan Senjaku dengan senja biasa itu. Sangat-sangat berbeda.
Sebuah pesan singkat masuk melalui salah satu akun sosmed-ku.
Darinya, Senja.
“Bang Aran, besok kita ketemu ya, ada yang mau aku omongin.”
Jantungku berdebar kencang. Raut wajahku seketika memerah. Secepat kilat aku membalas pesannya dengan jawaban setuju. Bergumam pelan, tak sabar menunggu hari esok.
Aku mencintaimu, Senja. Sungguh. Jika dibandingkan dengan hal apapun di dunia ini, mereka tidak ada apa-apanya bagiku. Kau bagaikan nafasku, jika kau tak ada, mungkin aku sudah mati. Aku sangat bahagia memilikimu.
Sudah tiga bulan aku pacaran dengannya. Status ini membuatku jauh dari kata jomblo. Dia adalah gadis cantik yang tak sengaja kutemui di salah satu event perlombaan antar mahasiswa. Saat itu aku menjadi panitia dan ia adalah pesertanya. Senyum yang kusebut garis lengkung itulah yang memikat perhatianku pertama kali. Amat sangat memukau.
Bagi pasangan berstatus pacaran sama sepertiku, waktu tiga bulan adalah masa dimana para pasangan mulai terlihat bosan satu sama lain. Keburukan masing-masing sedikit demi sedikit terkuak. Emosi tak tertahan. Alasan ini-itu dilontarkan. Janji-janji dipertanyakan. Masalah kecil diperdebatkan. Dan masih banyak lagi.
Namun tidak untuk kasus percintaanku. Karena sulit menyamakan jadwal antara aku dan Senja yang berada di perguruan tinggi yang berbeda, jadilah kami jarang bertatap muka. Dalam satu minggu, kami hanya dapat berjumpa sekali, dan satu hari itu kami habiskan sepuasnya untuk membunuh rasa rindu yang sialnya beranak-pinak tiap waktu.
Anehnya, yang biasanya bertemu di akhir pekan. Mengapa Senja ingin menemuiku besok? Kurasa ia sudah sangat merindukanku. Dengan bangga kuelus motor baru yang berhasil kubeli dengan hasil jerih-payahku perlahan, berniat akan memamerkannya pada Senja sekaligus memberikannya kejutan besok.
Tapi tunggu, jangan-jangan Senja sudah tahu perihal motorku dan memang sengaja ingin bertemu besok? Wah, memang cerdik anak satu itu, batinku.
***
Kulirik arloji hadiah darinya yang sudah menunjukkan pukul 9 pagi saat ini. Siap menatapnya dari balik kaca Cafe tempat biasa kami bertemu. Namun, aneh. Ia tak datang tepat waktu hari ini. Untuk pertama kalinya Senja datang terlambat.
Lima belas menit sudah kutunggu. Aku menggerutu kesal bercampur khawatir sibuk menggerak-gerakkan kaki dan mengetuk-ngetuk meja tak tenang. Pikiran negatifku menguasai isi kepala, takut hal-hal yang buruk terjadi padanya.
Tiba-tiba saja semua rasa yang kualami hilang sekejab. Kulihat ia berlarian menuju pintu Cafe dengan rambut panjangnya yang berkibar bak iklan-iklan sampo. Tangannya sibuk menghapus peluh di dahinya. Sesungging senyum menyeringai di wajahku, kuperhatikan wajahnya yang entah mengapa tampak gusar.
Setelah masuk, kubiarkan dirinya linglung mencariku. Tidak memberikan sinyal keberadaanku, hanya ingin melihat keluguannya sebentar.
“Di sini, Ja!” teriakku tak tega akhirnya. Ia tersentak, lalu tersenyum dan menghampiriku dengan cepat.
“Maaf bang, tadi macet di jalan!” katanya terengah-engah sembari duduk.
“Mana pernah Jambi macet, Ja” ralatku membuatnya tersipu malu.
Aku dan dia tertawa. Alasan itu kerap aku lontarkan jika aku terlambat, sekarang malah gantian. Setelah tawaku mereda, kupanggil pelayan agar datang ke arah kami. Memesan beberapa makanan yang biasa kami pesan.
“Ja, kok diem, biasanya langsung cerita ini-itu” sindirku jahil.
“Ha-haha, lagi nggak ada cerita bang” jawabnya kikuk lalu kembali diam.
“Ya udah, abang aja yang cerita ya, lihat ini, taraa!!” teriakku senang, menunjukkan sebuah kunci motor di hadapannya, kening di wajahnya mengerut.
“Kunci motor?” tebaknya ragu-ragu.
Aku mengangguk cepat. “Kamu nggak perlu naik angkot lagi, sekarang kita punya motor!!” lanjutku sumringah, ia tertawa dan tampak senang, namun seperti terpaksa.
“Ja, kamu kenapa? Sakit? Ada masalah?” tanyaku bingung, menggenggam tangannya untuk memastikan. Perlahan ia membuka kepalan tangannya agar genggaman tanganku terlepas kemudian menyembunyikan tangannya di bawah meja.
Melihat hal itu, sontak tanda tanya besar bermunculan di kepalaku. Ada apa dengan perubahan sikap Senja hari ini? Ia seperti bukan Senja yang kukenal.
“Bang Aran, maaf, Senja nggak bisa ngelanjutin hubungan ini, Senja nggak bisa jadi seperti yang dulu lagi, Senja mau kita putus.”
Jger. Halilintar seakan menyambar diriku. Kata-kata Senja bagai cambuk kerbau, dan aku kerbaunya. Kerbau bodoh yang tak tahu letak kesalahannya. Ada apa sebenarnya? Apa yang salah dengan hubungan ini? Apakah sesuatu terjadi tanpa sepengetahuanku?
Kutatap lirih mata Senja yang sudah berkaca-kaca. Ingin meminta penjelasan lebih lanjut lagi. Tapi, aku tak sampai hati melihatnya. Senja tampak tersiksa. Kubiarkan pertanyaan-pertanyaan itu bersarang di kepalaku, memilih untuk diam. Tak ingin membuat Senja makin sedih, karena ia terlihat mulai sesengukan. Dia pun menangis. Aku tahu, ada yang tidak beres.
“Ja, kita pulang ya, abang anter ke rumah” kataku berusaha menenangkan.
“Nggak usah bang, aku udah ada jemputan, permisi” tolaknya membuatku terkejut. Ia berlari ke luar Cafe, aku berusaha mengejarnya dan... apa yang kulihat. Seorang lelaki membukakan pintu mobil untuknya, ia masuk, begitu pula lelaki tersebut.
“Ja, ada apa ini?! Siapa dia?!” teriakku kesal. Memaki-maki lelaki tak dikenal yang tiba-tiba saja muncul merusak suasana yang jadi semakin riuh. Aku membuat kehebohan di pagi hari, beberapa pengunjung Cafe tampak celingak-celinguk melihatku.
Mobil itu bersikeras tetap jalan, Senja terlihat menutupi wajahnya dengan tangan, sedangkan lelaki di sampingnya menatap remeh ke arahku. Rasanya sudah ingin kutonjok saja dia, si pembuat onar itu.
***
Tak perlu kau tanya lagi bagaimana perasaanku sekarang. Yang pasti aku hancur sehancur hancurnya karena Senja. Aku seperti sedang dihukum rajam. Batu-batu seakan menghujani diriku hingga pingsan. Sakit. Dadaku terasa sesak. Air mata tak mau berhenti mengalir. Senja membuatku gila. Kulayangkan berkali-kali pesan singkat melalui beberapa akun sosmed yang biasa dipakainya. Semua akunnya off bahkan foto profilnya blank semua. Pesan-pesanku belum terkirim, masih berputar-putar menunggu yang punya akun. Kemana perginya gadis itu? Mengapa ia menghindar?
Kudatangi rumahnya, namun nihil, ia tidak berada di sana. Kukejar ia hingga ke kampusnya, bertanya dengan teman terdekatnya namun tetap aku tak dapat info apa-apa. Gadis itu menghilang. Entah kemana.
Kucoba menghubunginya lagi, terhitung sudah puluhan kali operator yang menjawab teleponku. “Mbak, bisa nggak, Senja aja yang ngomong!!” ocehku pada operator hingga nyaris membanting Hp-ku.
***
Sebulan sudah, sejak hubunganku berakhir. Aku tak pernah mau lagi melihat senja. Semua yang berhubungan dengan senja tak kupedulikan. Kini bagiku, semua senja sama, mereka akan memudar seiring berjalannya waktu.
Aku menyesal telah mencintainya begitu sangat, karena sampai saat ini aku masih belum bisa melupakannya. Aku tak percaya Senja akan melakukan hal ini padaku, ia meninggalkan bekas luka yang dalam dan sulit diobati.
Pagi ini, Cafe tempat biasa aku bertemu dengan Senja tampak tidak ada perbedaan, seakan sedang memutar kembali film cintaku bersamanya. Aku hanyut dalam kenangan manis yang berujung kepahitan. Teleponku tiba-tiba berdering, membangunkanku dari lamunan. Ada harapan tersembunyi di relung hati bahwa Senja lah yang menghubungiku kali ini. Namun, ternyata bukan.
“Iya Dli, sekarang aku kesana” jawabku singkat.
Kuambil jaket yang bersandar di kursi, lalu menuju kasir hendak membayar bill makanan yang kupesan tadi.
Tiba-tiba, seorang perempuan menarik perhatianku beberapa saat. Busana yang ia kenakan cukup membuatku terpana, sangat indah dan nyaman dipandang. Kerudungnya panjang hingga ke lutut, dipadu dengan dress yang menjuntai menyentuh lantai, sarung tangan tak lupa ia pakai dan setelan itu berwarna peach halus hingga menambah keanggunan si pemakai. Mungkin ini yang dinamakan menutup aurat, bukan membungkus aurat seperti yang sedang trend dikalangan perempuan jaman sekarang, gumamku.
Cepat-cepat kukeluarkan dompet dari kantong celanaku, karena rupanya kasir telah memanggil-manggilku sedari tadi. Namun, mataku tak mau berpaling dari perempuan itu, berharap ia mau menunjukkan wajahnya sehingga bisa kukenali nanti. Ia masih dalam keadaan yang sama, menoleh ke arah yang berlawanan denganku, asyik mengobrol dengan seseorang di telepon.
“Ini mas, kembaliannya” ucap kasir kali ini dengan suara lantang, aku terkesiap, kemudian menerima uang yang diberikan kasir dengan canggung.
Sialnya, beberapa detik saja berpindah arah mata. Perempuan itu menghilang. Kutelusuri ke seluruh isi Cafe namun tetap tak ditemukan. Kuberlari menuju pintu keluar secepatnya seakan tak mau kehilangan untuk kedua kalinya dengan napas terengah-engah.
Apa yang kulihat. Perempuan itu tersenyum padaku. Ia berdiri di hadapanku dengan garis lengkung yang begitu kurindukan. Senja. Ia kembali.