bungkus rokok

15.9K 3K 587
                                    

"Woy, Bego! Bisa liat-liat nggak sih kalo jalan?!"

Suara itu menamparku kembali ke realita. Pada meja kayu reyot yang sudah penuh dengan coretan kakak kelas tidak bertanggung jawab. Pada papan tulis putih yang memantulkan cahaya lampu di langit-langit. Pada bisik-bisik gugup manusia berbaju putih abu yang duduk memenuhi kelas. Padahal, makian barusan bukan ditunjukkan padaku. Melainkan pada salah satu cowok pendiam berkacamata hitam tebal yang kalau saja aku tidak sekelas dua tahun berturut-turut lamanya, pasti sudah kulupakan namanya.

Aku mendengus, baru menyadari ironi yang dibiarkan semena-mena oleh kepalaku. Mana bisa aku berpikir seperti anak yang terlihat. Aku tidak kalah menyedihkannya dibanding cowok berkacamata tebal itu. Aku yakin sebagian besar cowok di kelas juga hanya mengenaliku karena rambut keriting yang bertengger di kepalaku. Mereka bahkan tidak repot mencari tahu namaku. Hanya kribo saja yang mereka sebut. Seolah-olah usaha keras orangtuaku memberi nama terbuang sia-sia begitu Tuhan memberikanku rambut seperti setangkai brokoli.

"Kamu jadinya pilih apa?"

Perlu beberapa detik bagiku untuk menyadari maksud teman sebangkuku. Cewek berkerudung itu mungkin satu dari segelintir yang bisa kuanggap sahabat. Bukannya aku tidak mau berteman, tapi sebagian besar orang sudah terlanjur menganggapku membosankan karena kebiasaanku diam saat guru sedang menjelaskan dan mencatat semua yang ada di papan tulis, meskipun itu artinya aku harus mengorbankan jam istirahatku.

Ambis, kata mereka. Aku biasanya diam saja. Mau berkata apa lagi? Memang cuma ambis yang aku punya. Mereka tidak akan mengerti kalau ambis adalah satu-satunya harapan yang dimiliki kelima adikku yang entah masih bisa bersekolah atau tidak tahun depan.

Sulit menjelaskan sesuatu kepada orang yang tidak akan merasakannya. Makan seadanya, pulang-pergi sekolah jalan kaki, belum lagi pusing dengan tagihan mendadak untuk keperluan seni budaya, acara angkatan, dan lain-lain. Mana mungkin mereka mengerti? Yang kudengar dari mereka hanya merk make up terkini, harga tiket konser, sampe rasa cairan vape apa yang paling mantap.

"Kedokteran UI," jawabku singkat.

Temanku mengangguk kecil, tak nampak terkejut. Dia sudah pernah mendengar rencanaku beberapa bulan yang lalu. "Pilihan kedua?"

"Kedokteran UNPAD."

Kali ini temanku memberikan senyuman tipis. "Tahun ini gratis kan, ya? Semoga kamu keterima. Aku yakin kamu bakal keterima."

Aku membalas dengan senyuman kecil, mungkin nyaris tidak kentara. Tanganku bergerak-gerak di atas kertas berisi kedua pilihan itu. Hari ini hari terakhir mengumpulkan. Namun mengapa yang ingin kulakukan justru meremas kertas di tanganku dan membuangnya ke tempat sampah terdekat?

:::: o ::::

Hampir tiga tahun. Selama itu aku berjuang setengah mati demi satu kursi kedokteran di universitas negeri. Konon katanya biayanya tidak semahal swasta. Tapi aku juga tidak ambil pusing karena pemerintah masih berbaik hati memberikan Bidikmisi. Semoga saja aku bisa lolos dengan Bidikmisi.

Semoga.

Ayah dan Ibu tidak terlalu berharap. Mungkin mereka tidak bilang secara tersurat, tapi aku tahu mereka lebih senang kalau aku memilih jurusan yang semesternya sedikit. Biar cepat lulus. Cepat dapat uang. 

Biar bisa bantu pengobatan ayah.

Rasanya egois punya cita-cita. Apalagi yang setinggi dokter. Hah. Kelewat menghayal. Kalau saja aku tidak menurunkan watak ayahku yang kepala batu, mungkin sudah jauh-jauh hari kubuang mimpi itu.

"Kamu mau buka websitenya di sini?"

Masih teman yang sama, cewek berkerudung yang terkenal sama rajinnya denganku. Bedanya mungkin, dia lebih beruntung. Tidak banyak yang main dengannya karena dia memang pendiam. Tidak banyak yang menilainya macam-macam karena dia memang tidak menonjol. Lain denganku yang hidup dengan bayang-bayang tidak mampu. Kudengar teman yang lain tidak berani mengajakku main keluar karena takut akan menyinggung keadaan ekonomiku. Tidak salah, tapi bukan sesuatu yang ingin kukenang juga.

Sampah #1: Bungkus RokokTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang