Kala itu, hujan sedang turun saat Deva tidak sengaja menyenggol sebuah pigura hingga pecah. Dengan desahan napas lesu, cowok yang sebentar lagi genap berusia tujuh belas tahun itu berjongkok dan memungut kepingan kaca yang berserakan itu satu per satu."Nyusahin aja ni tangan," rutuknya kesal.
Deva mengambil sodokan dan menyapu serpihan-serpihan kaca yang tidak terpungut oleh tangannya. Setelahnya, ia beralih pada kayu pigura yang patah dan membuangnya ke tempat sampah. Sebelumnya ia menaruh foto yang terdapat di dalamnya terlebih dahulu di atas meja.
Lelaki penyuka warna abu itu memilih kembali ke kamarnya untuk menyelipkan foto yang sudah tidak terpajang itu di album foto miliknya. Sejenak ia terduduk di tepi kasur, memandang kertas berisikan potret dirinya dan saudaranya itu beberapa menit dengan tatapan sendu.
Entah dorongan darimana, kedua mata Deva tiba-tiba menghangat. Jemarinya bergerak mengusap wajah dua orang bocah laki-laki berumur 5 tahun yang tercetak di foto itu. Kedua sudut bibir Deva terangkat ke atas, dengan buliran bening dari matanya yang sudah mengalir ke pipi.
"Nggak kerasa ya, hampir sepuluh tahun kita jauhan. Nggak sama-sama lagi," lirih Deva. Dan entah sudah berapa lama ia membiarkan Mas Yuda menunggunya di parkiran.
"Gue tahu gue salah. Tapi kenapa harus begini?"
Sekali lagi, Deva mengusap wajah kakak kembarnya, Dava. Dulu dan sekarang sangatlah berbeda. Kalau dulu Deva dan Dava adalah satu, maka sekarang mereka terbelah dua. Berpisah, berjauhan, sejauh mungkin. Lebih tepatnya, bukan hanya Dava yang menjauh. Tapi juga mama dan papanya.
Lelaki berhidung mancung itu menggeleng kuat. Menepis bayang-bayang mengerikan yang selalu mendominasi otaknya secara tiba-tiba. Kadang, sapaan bayang kelam itu sejenak membuat Deva berpikir. Bahwa....
Nggak ada hidup yang lebih buruk selain hidup milik Deva. Begitu.
"Adek, jadi pergi nggak?" tanya Mas Yuda yang menyembul dari balik pintu kamar Deva. Memang nggak sopan, tapi para pekerja di rumah ini sudah sangat akrab dengan Deva.
"Eh iya jadi mas. " Deva menyusut wajahnya dengan telapak tangan dan menyimpan asal selembar foto itu di laci. Sudah tidak ada waktu lagi untuk mencari albumnya.
"Mobilnya pakai yang mobilio, BMW dipake sama bapak."
"Oh mau kemana emangnya?"
"Katanya mau jenguk eyang putri di rumah sakit."
"Yaudah. Mas tunggu di bawah. Deva mau ke toilet dulu bentar."
Mas Yuda melenggang ke lantai bawah tanpa basa basi lagi. Meninggalkan Deva yang sebenarnya, masih duduk termenung di tepi kasur. Kakinya berat untuk melangkah, bayangan masa lalu itu selalu menahannya untuk tetap terpuruk.
Harapan Deva untuk tidak bertemu siapapun di lantai bawah ternyata tidak terkabul. Faktanya, di sana ada mama dan papanya yang sudah berpakaian rapi. Juga ada Dava yang sedang sibuk mencari kunci mobil. Deva tahu betul, kakaknya itu pelupa kalau menyimpan sesuatu.
"Mau kemana kamu?" tanya Ervan sinis.
Deva berdecak dalam hati. Kenapa papa nggak bisa sedikitpun bersikap lembut padanya?
"Mau tengokin Kak Arda. Semalem bilang, katanya, kenapa Mama sama Papa jarang tengokin dia?"
"Ngaco lo kambing! Wuu!" balas Dava mengejek.
Mata Deva mengerling ke arah kakak kembarnya itu dan langsung dihadiahi pelototan dari Dava.
"Apa lu tempe?!" sungut Dava setelah ia menemukan kunci mobilnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sepotong Coklat
Teen FictionDeva benci coklat. Deva juga benci Dava. Karena semenjak kehilangan Kak Arda, Dava tidak mau lagi berbagi sepotong coklat untuk Deva.