"Ma, Pa, Deva dapet medali emas!"
"Deva, kamu tuh nggak punya perasaan banget ya! Kakak kamu kalah olimpiade kimia dan kamu malah nyombongin diri karena menang maen pukul-pukulan! Kamu mikir nggak sih?"
"Tapi mah..."
"Mama nggak peduli. Mama nggak suka sama anak yang hobi main kekerasan. Kamu emang nggak berubah dari dulu. Nakal terus."
Flash!
Pikiran cowok bermata sayu itu terlempar jauh saat melihat sebuah medali emas tergantung di lehernya. Ia tersenyum getir, kemudian menatap semua orang di sekelilingnya. Ada sensei - nya, teman-temannya, kepala sekolah dan beberapa guru lainnya juga ada di sini.
Satu pertanyaan, kenapa mama dan papa tidak ada di sini?
Permintaan Deva nggak susah kan? Deva sangat terkenal di sekolah karena prestasinya di bidang karate. Guru-guru sangat bangga pada Deva walaupun Deva jarang masuk sekolah karena sering dispensasi. Tapi, kenapa mama dan papa bahkan sama sekali tidak mau sedikitpun mengakui anak yang menjuarai Pekan Olahraga Nasional tahun lalu itu sebagai anaknya? Apa karena Deva nakal? Apa karena sampai sekarang Deva hobi main kekerasan?
"Dev! Ngelamun mulu lo!" ujar Alan sambil menepuk bahu Deva keras membuat cowok itu sedikit terjenghak.
Deva menggeleng, menerima uluran tangan dari Kepala Sekolah dan menunduk. Ia bisa melihat pria lanjut usia itu tersenyum bangga padanya.
"Terimakasih Deva. Bapak bangga sama kamu."
"Iya pak sama-sama." Deva balas tersenyum, lalu beralih berkumpul bersama teman-temannya yang berada di belakang. Sebenarnya ia nggak berniat juga berkumpul dengan temannya, Deva cuma nggak tahu apa yang harus ia lakukan. Aneh, disaat yang lain bahagia justru Deva malah ingin menangis. Sangat.
***
Tengah malam, Deva tidak sengaja terbangun dari tidurnya yang sama sekali tidak lelap. Cowok itu berguling guling di atas kasur dengan perasaan gelisah. Ia menekan kuat kepalanya yang sakit seperti ditimpa batu. Bukan lebay, tapi memang begitu kenyataannya.
Deva ingin berteriak, seperti halnya Dava yang selalu manja kepada Mama setiap kali sakit. Tapi percuma. Deva nggak akan pernah mendapat sahutan. Karena mereka nggak mau tahu sedikitpun dengan apa yang terjadi dengan Deva.
Pasrah, cowok itu menenggelamkan kepalanya di bawah bantal. Berharap sakit kepalanya mereda dan ia bisa tidur kembali. Tapi baru beberapa detik, ia terbangun lagi karena bayangan kelam saat Mama dan Papa menangis tersedu-sedu di rumah sakit itu datang ke otaknya.
"Akhhh! Gini amat si idup gue njing!" ujar lelaki yang memakai piyama biru itu sambil melempar bantal ke lantai.
Akhirnya ia memutuskan untuk turun ke lantai, memeluk kedua lututnya dan terdiam beberapa saat sampai sakit kepalanya sedikit reda.
Hembusan angin malam yang masuk dari celah jendela membuat Deva cukup kedinginan. Dia hanya disitu, tenggelam dalam khayalan dan halusinasi yang dibuatnya sendiri.
"Ma, Kak Dava sakit ya?"
"Iya."
"Deva juga mau digendong mama."
"Deva nggak sakit. Kak Dava kan lagi sakit. Adek nggak boleh manja manja gitu ah."
"Tapi kalo Deva sakit, Mama nggak pernah gendong Deva."
"Adek!"
Deva menyudahi minumnya dengan meletakkan gelas bening yang tadi dipegangnya. Dadanya sedikit bergemuruh sehingga nafasnya tersengal.
"Ngapain lo jam segini belom tidur? Mau kabur ke club?" sambar seseorang dari balik pintu kamar mandi yang tak lain adalah Dava. Deva menghembuskan napas kesal sambil menatap tajam ke arah lelaki beertubuh jangkung itu.
"Bisa gak sih lo gak berpikiran aneh ke gue?"
Dava menaikkan kedua bahunya. "Mana bisa? Orang lu-nya sendiri aneh. Lo bahkan lebih bahaya dari harimau sekalipun. Kenapa?" Dava mendekatkan wajahnya ke wajah Deva. Kemudian mendorong sebelah bahu sang adik. "Karena lo pembunuh."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sepotong Coklat
Teen FictionDeva benci coklat. Deva juga benci Dava. Karena semenjak kehilangan Kak Arda, Dava tidak mau lagi berbagi sepotong coklat untuk Deva.