***Gavin kembali menarik selimutnya sampai menutup seluruh badan. Jam digital diatas nakas sudah menunjukkan pukul 03:00 dini hari, tapi matanya masih belum bisa terpejam. Tubuhnya benar benar lelah setelah sore tadi bermain basket bersama teman temanya sampai matahari benar- benar tenggelam meninggalkan peradabannya. Tapi ternyata lelah tetap tidak bisa mengantarkannya pada alam mimpi sama seperti malam- malam sebelumnya.
Ia menyerah. Cowok itu menyibakkan selimut yang menutup seluruh tubuhnya dan perlahan bangkit. Kakinya menapaki dinginnya lantai kamar menuju pintu balkon yang dihiasi gelap. Gavin sangat suka gelap. Bukan hanya karena gelap membuat tidurnya lelap, tapi gelap juga menjadi teman setianya setiap malam. Gelap menemaninya menikmati kesepian, kesedihan, kesakitan, dan kesendirian.
Cowok bermata elang itu menghela nafas berat sambil terus menghisap rokokny. Selain gelap, rokok juga menjadi teman setianya melewati hari harinya yang kelam. Ia duduk dikursi besi di balkon kamar dengan kaki yang diletakkan diatas meja kayu didepannya. Pandangannya lurus kedepan, seakan memperhatikan jalanan komplek yang sepi.
Senyuman kecut muncul dari bibir ranumnya. Setiap hari ketika matanya tidak bisa terlelap dan kesendirian menemaninya, bayangan- bayangan masa lalu akan kembali berputar dalam ingatannya. Potret bagaimana ia menghancurkan keluarga bunda dan juga papa, bayangan bunda dengan sejuta kesakitannya sampai perempuan yang melahirkannya itu menutup mata meninggalkannya seorang diri dan belum mengerti tentang kejamnya hidup. Ingatan itu terus berputar di kepalanya seperti sebuah film dokumenter yang selalu membuatnya sakit kepala dan kalimat menyakitkan itu kembali menguasai akal sehatnya. Ia tak seharusnya dilahirkan didunia ini.
Gavin menegakkan punggungnya yang sebelumnya bersandar dengan nyaman. Punggungnya akan perih jika disandarkan lama- lama. Bukan karena ia punya riwayat penyakit tulang, tapi lukisan merah yang dicetak papa dipunggung itu selalu menghasilkan perih yang mendalam. Ia ingat bagaimana papa kembali menghiasi punggungnya - yang tidak mulus lagi - tempo hari ketika semua orang tidak berada dirumah. Ikat pinggang itu benar- benar menyentuh kulitnya menyisakan goresan- goresan merah bahkan biru. Gavin senang. Setidaknya papa masi menyapanya walau hanya dengan cara yang unik, menurut pikirannya.
Sejak berumur 7 tahun ketika ia dibawa kerumah besar ini. Ia tahu laki-laki yang ketampanannya menurun pada dirinya itu benar- benar tidak menyukainya. Ia tidak tahu mengapa papa membencinya. Setaunya papa adalah ayah kandungnya, begitu yang bunda katakan ketika pertama kali membawanya kerumah ini, sebulan sebelum penyakit mematikan itu merenggut nyawa wanita yang sangat dicintainya itu.
Gavin ingat bagaimana ia menangis didepan bunda setelah 2 minggu dijemput dari rumah nenek, dan seminggu setelah itu suami bunda yang dipanggilnya ayah pergi dari rumah dan tak pernah kembali. Ia menangis karena teman- temannya menceritakan tentang ayah mereka. Ia juga ingin punya ayah, hanya itu yang diucapkannya disela- sela tangis. Dan hari itu untuk pertama kalinya ia menginjakkan kaki dirumah besar ini. Ditatapnya laki- laki tampan yang dipanggilnya papa. Matanya yang hitam legam menatap penuh harap ingin dipeluk, tapi laki-laki itu hanya menatapnya datar. Ia pikir, ia akan tinggal dirumah papa bersama bunda. Tapi sorenya bunda kembali mengajaknya pulang setelah bertemu dua bocah kecil dan juga seorang perempuan seumuran bunda yang tinggal disana.Gavin bingung mengapa papa tinggal bersama mereka. Tidak seperti teman- temanya, harusnya papa tinggal bersama bunda dan dirinya.
Sebulan setelahnya, bunda menyerah dengan penyakit mematikan itu. Gavin baru 7 tahun. Ia tau semua akan mengalami kematian. Ketika nenek meninggal, ia menangis dan bersedih, tapi ketika bunda datang dan menjemputnya, kesedihannya sedikit berkurang. Setidaknya dirinya tidak akan sendiri. Tapi ketika bunda meninggal, Gavin benar- benar sedih. Ia tidak tahu harus kemana dan bagaimana. Ia akan sendirian, itu pikirnya. Bocah kecil itu hanya menangis seorang diri didepan pintu kamar rawat bunda. Menyedihkan memang. Mengingat dirumah sakit itu banyak sekali pasien yang ditemani keluarga, sedangkan bocah kecil itu hanya sendiri. Hanya tangis dan air mata yang menemaninya.
Tangan hangat itu tiba- tiba merengkuhnya. Gavin mendongak berusaha melihat siapa pemilik tangan hangat itu. Ia adalah wanita yang tinggal dirumah papa. Perempuan itu memeluknya hangat dan mengusap air matanya lembut.
" Gavin jangan sedih...jangan nangis...sekarang....Gavin tinggal sama mama ya..." itulah kalimat pertama yang keluar dari mulut perempuan itu disela- sela tangisnya. Gavin hanya diam dan menatap disebelah mama berdiri dua bocah yang pernah ia temui dirumah papa. Dua anak kecil itu tersenyum padanya. Senyumnya seakan memberikan kekuatan pada gavin.
Setelah pemakaman selesei. Gavin dibawa kerumah papa, bersama wanita yang menyebut dirinya mama, juga diko dan sasa dua bocah kecil yang ternyata saudara seayahnya.
Hari- harinya berjalan baik. Mama sangat menyayaginya sama seperti menyayangi Diko dan Sasa. Begitupun dengan kedua saudara tirinya, mereka selalu menghabiskan waktu bersama. Tapi papa, Gavin tak pernah merasakan kehangatan dari papa. Papa hanya menatapnya datar jika berada dirumah. Tak pernah sekalipun papa mengajaknya bicara. Interaksi yang dilakukannya dengan laki- laki kebanggaannya itu hany ketika papa menatapnya tajam dan melecuti tubuhnya tanpa ampun dan berteriak mengeluarkan kata-kata kasar. Gavin tidak pernah menangis. Tidak pernah sekalipun selaput bening itu lolos dari mata hitam legamnya. Ia hanya diam menikmati setiap pukulan itu mencetak memar merah ditubuhnya. Jika hanya ini cara papa menunjukkan kasih sayangnya, maka ia akan menikmatinya. Menikmati sampai tangan papa lelah memukulnya, atau sampai tubuh rapuhnya tidak sanggup lagi menerima belaian kasih sayang versi papa itu.
" vin...gavinn..."
Gavin membuka mata perlahan. Suara lembut itu menyadarkannya dari tidur singkatnya yang sudah pasti tidak nyenyak. Ia tidur dibalkon dengan posisi sama persis seperti semalam. Ia ketiduran dibalkon setelah menghisap beberapa batang rokok untuk mengusir sepi. Untung sisa rokoknya sudah dibuang semalam. Gavin merubah posisinya, menurunkan kaki diatas meja dan meregang otot. Tulang- tulangnya terasa sakit. Kepalanya juga sakit, mungkin karena tidur yang singkat. Ia juga merasa kedinginan, karena tidur tanpa selimut dibalkon yang memang dingin.
" Dari semalam tidur disini??kenapa tidur disini??kan dingin...." Gavin menatap wanita bersuara lembut itu. Ia sangat menyayangi wanita yang dihadapannya ini sama seperti ia menyayangi bunda.
" ketiduran ma..." jawab Gavin dengan suara serak. Matanya memandang sekitar. Ternyata matahari sudah keluar. Lagi lagi ia gagal untuk jogging, pikirnya. Gavin memang selalu jogging setiap hari libur. Bukan hanga karena ia suka olahraga. Tapi, lebih karena ia ingin menghindari menyaksikan kegiatan sarapan dirumah. Tapi sepertinya rutinitas satu itu sudah selesei, melihat papa sedang menyiram tanaman favoritenya dihalaman depan.
Gavin tidak pernah lagi bergabung dimeja makan dengan keluarganya. Tatapan tajam dan dingin papa membuatnya mundur secara perlahan untuk tidak ikut bergabung. Dulu ia sangat senang melihat moment sarapan keluarganya walau hanya disaksikannya diam-diam dari lantai dua. Senang rasanya mendengar Diko dan Sasa menceritakan hari hari mereka pada mama dan papa. Senang rasanya melihat mama dan papa tersenyum mendengar celotehan dua bocah itu. Tapi lama- lama Gavin sadar, menyaksikan itu terus menerus sama saja mematikan dirinya secara perlahan. Hatinya selalu berontak menginginkan itu semua. Ia tak sanggup mengatasinya. Dan akhirnya ia memilih untuk tidak pernah melihat itu lagi dan berusaha menghindar.
" kamu selalu gitu.." mama menatap putranya itu khawatir. Ini bukan pertama kalinya Gavin tertidur di balkon. " Besok besok jangan tidur dibalkon lagi...disini kan dingin...kalau sakit gimana...mama gak mau kamu sakit..." wanita itu berkata lembut sambil mengusap rambut Gavin.
" iya ma..besok gak lagi..." Gavin menatap mama tersenyum. Senang rasanya menatap wanita bersuara lembut itu.
" yaudah..sekarang mandi..nanti mama bawain sarapan.."
" gak usah ma..nanti Gavin ambil didapur sendiri..."
Selalu seperti ini. Putranya itu selalu tidak mau merepotkan siapapun. Semua dikerjakan sendiri. Bahkan setelah makan pun piringnya akan dicuci sendiri, padahal ada Bi Heny yang bertugas melakukan itu. Gavin itu selalu terlihat bahagia. Ia selalu tertawa dan tersenyum seakan tak ada beban dalam hidupnya. Tapi mama tahu, dibalik mata hitam legam itu tersimpan berjuta kesedihan dan air mata. Tak jarang mama melihat Gavin duduk sendiri ditaman belakang ditemani gelap malam. Bahkan mama juga pernah memergoki putranya itu menangis tersedu sedu membuat siapapun yang mendengar akan merasakan kepiluan yang dirasakannya.
" ok..mama tunggu dibawah.."
KAMU SEDANG MEMBACA
HEARTBREAK
Teen FictionGAVIN ALTEZZA ATHAYA :: kesepian, kesedihan, kesakitan, kesendirian.