(0) Prolog

283 33 0
                                    

Takdir itu sungguh luas.

Lebih luas dari harapan.

Jadi, jangan terlalu sibuk menebar anganmu.

Karena kenyataan selalu siap untuk menepisnya.


•••


London, 26 Desember 2006.

"Mommy, look! It's snowy!"

Wanita itu mengeratkan jaket tebal yang membalut tubuhnya. Pipinya merona, begitu kontras dengan kulit putih pucatnya. Uap dingin begitu kentara keluar dari setiap helaan napasnya.

Matanya tak lepas dari seorang gadis kecil berumur lima tahun yang berjingkrak senang di hamparan salju. Janji yang dilontarkan Jannice pada anak semata wayangnya untuk membawanya melihat salju di taman tak seharusnya ia lontarkan kemarin. Suhu hari ini lebih dingin dari yang ia kira.

Gadis kecil itu berlari tak tentu arah. Yang ia tahu, semakin ia berlarian, semakin banyak pula jejak kaki mungilnya yang tercetak di salju, menyelimuti tanah Hyde Park pagi ini.

"Are you lonely, Mr. Snowman?" Mata si gadis kecil menangkap tumpukan tiga bola salju berbagai ukuran tak jauh dari tempatnya. Dengan wortel sebagai hidungnya, kerikil disusun melengkung membuat senyuman di bawah hidung itu , serta syal dan topi melekat di leher dan kepalanya.

"Don't you have eyes, Mr. Snowman?" tanyanya heran.

Akal polosnya berjalan. Tanpa ragu, ia mencopot dua buah kancing jaketnya dengan susah payah. Kemudian menjadikan kedua kancing itu sebagai mata boneka salju.

"You're done!" serunya girang. Dengan cepat memeluk boneka salju itu, erat. Sangat erat sehingga salju tersebut roboh tak berbentuk lagi.

"Oopsie," cicitnya sambil menunduk, memandang sedih runtuhan salju di depannya.

Si gadis kecil lalu mendongakkan kepalanya. Satu meter di depan, seorang anak lelaki yang sedikit lebih tua darinya berdiri mematung.

Tangan anak lelaki menengadah, menunjukkan sesuatu yang ia genggam sejak tadi. Itu adalah dua buah kerikil hitam.

"Aku baru aja mau pakein matanya," lirihnya.

"Hi, did you make this?" si gadis kecil bertanya malu-malu. Tidak tahu apa yang dibicarakan anak lelaki itu.

Anak itu mengangguk, "I did. I made this," ujarnya pada gadis kecil itu.

"Sorry," ucapnya pelan. "I broke it."

Anak lelaki itu menatap sendu boneka salju buatannya. "It's okay. I'll create the new one."

"May I help you?"

Anak lelaki berumur sekitar tujuh tahun itu tersenyum manis. "Sure! We're gonna start from the biggest snowball. Come!"

Keduanya asik mengeruk salju tebal di tanah, membentuknya menjadi bulatan besar. Percakapan khas anak-anak mengalir seiring waktu menyenangkan mereka.

"So, what do you like?" tanya si anak lelaki.

"Chocolates," jawab gadis kecil.

"And what do you hate?"

"Spiders."

"Spiders are cute," ujar anak lelaki itu, terkikik.

Gadis kecil itu bergumam, "Their feet are too many," gidiknya kemudian.

Si anak lelaki tertawa.

"Iqbaal, ayo pulang, Nak. Ayah ada meeting bentar lagi."

Anak lelaki itu menoleh ke belakang. "Iya, Yah."

Iqbaal memunguti benda-benda miliknya dengan asal. Memakaikan syal merah marun itu ke lehernya, lalu ia tersenyum sekilas pada gadis kecil di hadapannya.

Seraya berjalan membuntuti pria di depannya, anak lelaki itu berbalik, membuatnya menjadi berjalan mundur. Memandang gadis kecil yang berdiri diam di sana.

"What's your name?!" teriaknya sambil terus berjalan berlawanan arah.

Senyum gadis kecil itu mengembang. "Kaneisha!"

"Iqbaal!" Ia menyerukan namanya sendiri.

"Terima kasih Iqbaal!" teriak Kaneisha dengan mulut cadelnya.

"Hey!" seru Iqbaal dengan wajah terkejut. "You speak my language!"

Kaneisha melambaikan tangan mungilnya yang berbalut sarung tangan biru muda. Dibalas oleh Iqbaal sebelum akhirnya berbalik, berlari kecil untuk menyamakan langkahnya dengan pria tinggi di sebelahnya.

Kaneisha melihat ke bawah. Boneka salju itu belum berwujud. Hanya ada bola salju besar di sana. Ia berlari, menuju Jannice yang kini ... hilang dari pandangannya.

"Mommy?"

Jannice di sana, terduduk di balik pohon besar tak jauh dari Kaneisha. Menangis ditemani hawa dingin yang menusuk.

"Mommy where are you?"

Jannice tersentak. Dengan cepat menghentikan tangis kecilnya, menampakkan diri di depan Kaneisha sambil berusaha tersenyum manis.

"Hey, Honey," sapanya sambil membungkuk, menatap mata karamel milik Kaneisha yang serupa dengan matanya.

"Mommy are you crying? What happened?"

"No, Honey," alibinya kemudian, "I think I've got a flu. It's so cold here. Let's go home."

"Mommy, I spoke to Indonesian."

Jannice tertegun, "Really? What did you say?"

"Terima kasih. That's the only words you taught me."

"Yeah, right," Jannice terkekeh. "Good girl."

"I love you, Mommy."

"I love you more, Kaneisha."

•••

Aku Kaneisha.

Selamat datang di mimpi terluasku bersamanya.

▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪

a/n : halo semua! Ayem bek(?)

Published on Wednesday, June 13 2018

-NoonA-

Guardian Angel | IqbaalDRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang