Langit mendung sore ini, seakan-akan membuatku merasa dejavu. Saat ini, aku berada di pinggiran kota Jakarta, memakai jaket coklat dan juga celana longgar hitamku. Aku berjalan di tepi jembatan yang kini terasa semakin ramai oleh kendaraan. Aku sempat melakukan hal seperti ini bersama sosok yang sangat aku kagumi sekitar 12 tahun silam. Dahulu, jembatan ini adalah jembatan yang sering kita jadikan tempat bercerita atau bertukar pikian setelah pulang sekolah. Seujurnya, ini bukan jembatan. Tapi, kami menyebutnya dengan sebutan jembatan. Dahulu, jembatan ini sangat jarang sekali dilalui oleh kendaran. Sungguh sangat sepi dan oleh sebab itu, jembatan ini selalu aku jadikan tempat favorit ku untuk berduaan dengannya.
Aku mengeratkan jaketku, karena suhu udara terasa lebih dingin dari sebelumnya. Tak lama, rintik hujan mulai membasahi pipiku. Aku menatap kearah langit sekilas, dan baru menyadari bahwa aku tidak membawa payung, aku buru-buru lari menuju warung di dekat jembatan tersebut. Warung Bu Jani namanya. Mungkin warung ini juga yang menjadi saksi bisu tentang apa yang pernah aku katakan kepadanya pada hari Rabu, 2 juni 2003 lalu. Mungkin, sedikit bernostalgia akan menyenangkan?
***
“Anak-anak, kita kedatangan murid baru ya dari Bandung.” Ibu Riska wali kelas 7A, masuk ke dalam kelas dengan membawa sesosok anak laki-laki berkacamata besar dengan kancing baju yang terkancing sepenuhnya. “Ha-ai.. namaku Aldebaran Raynaldi. Kalian bisa panggil aku Alde dan aku pindahan dari Bandung. Semoga kita bisa berteman dengan baik ya.” Ucapnya begitu gugup. Aku terus memperhatikannya dari atas hingga bawah. Ia terlihat sangat culun sekali. Tapi, ia juga terlihat manis dengan kulitnya yang putih, perawakan yang tinggi dan tubuh yang kalau diperhatikan tidak sebanding dengan tingginya. Ia terlihat sangat kurus.Tak lama setelah itu, Alde duduk dibangkunya. Ia duduk dengan Reza pada saat itu. Setelah itu, aku dan teman-teman yang lain menggerumuni mejanya untuk menanyakan beberapa pertanyaan kepadanya. Banyak yang bertanya mengapa ia pindah sekolah, dimana rumahnya, berapa usianya dll. Namun yang menjadi perhatianku bukan itu. Berbeda dengan pertanyaan yang lain, aku bertanya tentang asal usul namanya. Karena menurutku, namanya unik.
“Aldebaran? Kok nama kamu Aldebaran sih? Apa artinya?” tanyaku kepadanya. Anak-anak yang lain menyorakiku karena merasa pertanyaanku itu tidak penting. Alde, terlihat sama bingungnya denganku. “hmm.. apa ya.. aku juga gatau tuh, lupa belum pernah nanya sama Bunda.” Jawabnya dengan senyuman yang kikuk.
“Oh gitu ya? Yaudah nanti tanyain ya, ke Bunda kamu! Soalnya aku penasaran.” Ketika aku mengucapkan hal itu, Alde hanya mengangguk dan tersenyum simpul kepadaku.
***
Di rumah, aku masih saja kepikiran tentang nama Aldebaran. Akhirnya, aku bertanya kepada Ibuku tentang arti nama Aldebaran tersebut. “Bu, ibu tahu gak artinya Aldebaran?”“Darimana kamu tahu nama itu? Aldebaran itu salah satu nama rasi bintang sayang.” Jawab ibuku. “Itu, teman baruku, namanya Aldebaran. Unik ya Bu!”
“Aldebaran itu adalah salah satu bintang paling terang di rasi Taurus. Dia juga salah satu bintang paling terang pada malam hari.” Jelas ibuku lagi. Aku hanya mengangguk-angguk. Setelah percakpan singkat itu, aku kembali masuk ke kamarku. Di sana, aku membuka jendela kamarku dengan lebar dan melihat kearah langit malam. Terlihat banyak sekali bintang yang bersinar pada malam itu dan ada satu bintang yang bersinar paling terang. Kemerlipnya sangat indah. Aku langsung menunjuknya dengan jari telunjukku dan berkata “itu pasti Aldebaran!”
***
Aku melihat Alde yang sedang membuka tasnya dan sepertinya ia sedang mencari sesuatu. Akhirnya akupun menghampirinya.“Hey, Aldebaran! Lagi ngapain?” ucapku. Ia terentak kaget. Akhirnya aku hanya tertawa melihatnya yang kekagetan seperti itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Secret Of Aldebaran
Teen FictionYou are, not you were. You are always there for me because you light the darkness in my life. -Rani