Erra Vella

594 25 23
                                    

"Hey, Manis, mau saya booking?"

Aku baru saja menghabiskan berry smoothie-ku ketika tiba-tiba seorang pria berusia sekitar dua puluhan duduk merapat di sampingku. Spontan aku menoleh ke arahnya, dan dia menatapku dengan pandangan penuh... gairah.

Tanpa pikir panjang, aku langsung berdiri dan berjalan cepat menuju kasir, membayar bill menggunakan kartu kredit yang diberikan Ayah padaku, dan langsung keluar restoran sambil tetap berjalan tergesa-gesa. Aku tidak peduli kalau isi perutku-yang baru saja menelan makaroni skotel goreng, mashed potatoes, sup ayam jamur, apple pie, muffin, puding strawberry, plus berry smoothie-akan turun dan membuatku sakit perut. Sekarang, aku ha-nya perlu kabur!

Satu-satunya alasan mengapa aku bertindak nekat begini-dengan tetap berada di luar rumah saat jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam-hanya karena emosi. Perasaan terpendam yang sudah tidak bisa kutahan lagi manakala orangtuaku terus-terusan mengekang dan mengisolasi diriku untuk tidak bergaul dengan sembarang cowok.

Well, nggak ada sembarang cowok di sekitarku. Bagaimanapun latar belakang mereka, mereka bukan tipe kriminal. Mereka hanya tertarik padaku, berusaha mendekatiku, dan berakhir dengan kekecewaan kami karena usaha mereka selalu saja digagalkan oleh orangtuaku, terutama ayahku. Beliau selalu berkata bahwa mantan calon pacarku tidak pantas bersanding denganku. Hah, get real!

Sungguh menyebalkan karena Ayah maupun Ibu tidak memberiku alasan apa pun mengenai hal ini. Berbeda dengan Nitya, adikku, yang penurut dan tidak membantah perintah mereka sedikit pun. Sekali diberitahu untuk tidak bergaul dengan sembarang cowok, dia tidak akan protes dan tetap nyaman dan baik-baik saja dengan keadaannya itu.

Seriously, they're not fair enough to repair my anger.

Sejak eksekusi itu dikeluarkan secara sepihak, aku menjadi pemberontak. Aku tidak bisa tenang, duduk diam, dan berpangku tangan seperti Nitya Monasrita dalam menghadapi masalah sepele-tapi-menyebalkan ini. Aku sudah berumur tujuh belas tahun dan sejak SMP, aku selalu menunggu saat di mana gebetanku akan mengakui perasaannya padaku, dan akhirnya status kami pun berubah. Tidakkah indah mendengar kalimat seperti, "Zavrina Zita, please be my sweetheart and our love will be last forever."

Ugh, oke, nggak perlu sedramatis itu, mungkin. Tapi setidaknya, aku ingin ada satu saja yang tidak dihalangi ayahku dan... dan-

"Kenapa kabur, Manis? Too shy to say that actually you want me?" Suara yang mati-matian kuhindari sekarang malah berada tepat di belakangku. Aku hendak melangkah lebar-lebar ke depan, tapi terlambat. Tanganku dicekal dengan erat dan suaraku tersumbat akibat telapak tangannya yang menghalangi bibirku untuk berbicara. Tubuhku mulai merinding karena ketakutan.

Gawat, apa sih mau orang ini?!!

Aku meronta dengan barbar, menyesal kenapa tadi malah sengaja keluar rumah tanpa pamitan di sore hari, menghabiskan waktu berjam-jam untuk belanja di mal, dan masih dilanjutkan dengan dinner gila-gilaan-masa bodoh lah dengan berat badan!

Dan bodohnya, aku sengaja tidak membawa ponselku agar tidak ada yang bisa menghubungiku-atau menggangguku.

"Tenang aja, aku nggak sendirian kok."

Tubuhku kaku begitu mendengar penjelasam singkat itu. Sederhana, tapi mematikan. Nggak sendirian? Jadi... bakalan ada keroyokan? KAPAN???

Ucapan pria ini terbukti begitu tawanya membahana dan di depanku sudah muncul dua orang lain yang terlihat nggak kalah berbahaya dari pria pertama. Mereka menyeringai, siap melakukan hal nahas apa pun padaku, membuatku ketar-ketir dan ingin menangis sekarang juga.

Erra VellaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang