• 1

293 219 6
                                    

Tawa si pemuda perlahan mengalun. Masuk lewat telinga, lalu bersemayam di dalam hati si gadis.

Tarikan senyum pun dibuat, kala pikiran si gadis tiba-tiba distorsi akibat tawa. Tak ada kata, tak ada suara. Senyum yang tanpa disadarinya merekah, sudah cukup memperlihatkan rasa.

Tawa si pemuda masih mengalun, lesung masih kerasan bermain-main.

Tak kuat menatap lesung, si gadis mengalihkan pandangan ke sembarang arah, dengan pipi mulai bersemu merah, dan bibir merah digigit gemas. Untuk sekarang cukup telinga yang mendapat jatah, memanjakan mata nanti saja, pikirnya.

Tawa si pemuda perlahan mereda, dada si gadis terasa hampa.

Ragu-ragu, jemari dipilin. Ragu-ragu, bibir tergugu-gugu. Ragu-ragu, ia melirik si pemuda yang telah kembali kalem.

Memberanikan diri, ia perlahan melangkahkan kaki, tetapi seketika kaki berhenti di udara kala melihat gadis lain di arah jam lima mendekati si pemuda.

Si pemuda dan seorang kawan―yang baru si gadis sadari― berseru sembari tersenyum lebar, menanti gadis lain mendekat. Sapuan perona samar di pipi si pemuda ia sadari, kali ini lesung timbul tenggelam hanya untuk si gadis lain.

Ada yang patah, tetapi bukan ranting. Bahu si gadis terkulai lemas, ia pun berbalik arah, tak jadi menyapa, juga tak jadi mendekati si pemuda pujaan hati.

Lima langka, sepuluh langkah, si gadis semakin menjauh. Tawa pemuda hari ini bagai tak cukup, si gadis pun pergi dengan hati yang patah. Namun ia tak sadar jika kawan si pemuda sudah fokus terhadapnya, juga merasakan patah yang sama.

Sebab patah si gadis adalah si pemuda, sebab si kawan pemuda adalah si gadis. Dua orang ini sungguh tolol.

| 19 April 2020 |

Kharisma,
Kala salah satu ingatan membanjirinya.

***

Secuil kegemasan

... Tahun demi tahun berlalu. Kini aku menulis ini sembari mengingat mereka. Aku serasa sama tololnya dengan si gadis ini.

YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang