•2

206 97 5
                                    

Jingganya angkasa perlahan menggelap, angin malam telah siap menyapa. Namun, si gadis masih betah leyeh-leyeh, di salah satu tempat yang ia anggap rumah.

Kedua manik mata ia arahkan ke langit-langit sembari bibirnya mengulas senyum tipis, perih yang hinggap di hatinya telah dibawa pergi oleh belaian angin sore.

Kendati perih telah hilang, si gadis tetap mengabaikan sang mentari yang hendak pamit, memilih menikmati kenyamanan yang esok akan hilang.

"Ke sini lagi kau rupanya." Sebuah suara menghancurkan atmosfer syahdu si gadis.

Tak sangka telah salah perhitungan, kenyamanannya hilang detik itu juga. Pipi si gadis sedikit menggembung sebab suara, tangan jahil si pemilik suara pun mencubit pipinya.

Rintihan ditahan, jemari pendek menepis tangan jahil. Si gadis bangkit, suaranya sedikit tajam. "Benar rupanya, seharusnya aku pulang sebelum maghrib. Tidak kusangka aku beneran akan bertemu jin."

Sikap ketus si gadis dihadiahi senyum simpul, juga perkataan jenaka. "Heh? Mendengar retakan hatimu saja, jin itu akan kabur."

Si gadis mengerjap, mencerna kalimat yang dilontarkan oleh si kawan pemuda kepadanya. Tatapan si gadis seolah mengatakan, "Masa iya?"

Senyum simpul beralih menjadi ledakan tawa. Suara tawa si kawan pemuda terlampau keras, si gadis pun sadar akan kebodohannya.

Kesal jiwa raga, si gadis membereskan barang-barangnya, dengan sedikit tak rela mengangkat kaki dari rumah. Melemparkan delikan terakhir pada si kawan pemuda, ia pun turun dari gazebo.

"Padahal cuma saat seperti ini kamu mau menotisku lagi, eh malah kamu sudah mau pergi aja." Tawa usai. Suara sok duka dikeluarkan sebagai gantinya. "Enak ya jadi temanku itu, dinotis terus sama kamu."

Si kawan pemuda niat hati ingin menyindir, dan mengode. Sayang, si gadis terlalu tidak peduli. Si gadis berhenti sesaat, menatapnya sebentar, hanya bergumam, "Ndasmu retak." Setelahnya berlalu, benar-benar pergi meninggalkannya.

Si gadis tanpa keraguan meninggalkannya, sama halnya tanpa keraguan menganggap perasaannya tak pernah ada.

Senyum lara diulas, kedua manik mata menatap punggung yang pergi dengan tegasnya.

Sembari denyut perih di dalam dada disangkal, si kawan pemuda berbisik, "Apa aku juga bisa tegas meninggalkanmu seperti kau yang meninggalkanku?"

Bahkan ketika sang rembulan sudah lama menggantikan posisi sang mentari, meski angin malam semakin manja membelainya, si kawan pemuda tetap di posisinya, dengan pandangan lurus ke depan, membayangkan keelokan sosok si gadis sebelum dia memutuskan untuk menyapa.

| 29 April 2020 |

Aku tak tau sih aku ini sedang ngapain. Aku hanya sekadar menulis sembari mengingat masa lalu, tak ingin rumit-rumit, oleh karena itu akan hanya ada empat tokoh. Cerita ini hanya berputar di empat tokoh tersebut. Aku pun tak niat memberikan nama untuk empat tokoh ini.

Jadi, perkenalkan. Si gadis, si pemuda, si kawan pemuda, dan si gadis lain. Ah, si kawan pemuda ini berstatus (mantan) kawan masa kecil si gadis ngomong-omong.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 26, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang