Brian menatap lawannya iba. Tatapan mata itu tidak tulus, Brian meremehkan. Ia tidak memberikan lawannya ampun sama sekali. Matanya memicing, tangan kanannya kembali mengepal. Otak lelaki itu masih berkutat pada strategi yang akan ia keluarkan untuk menang, dalam hatinya ia merapal doa agar tebakannya kali ini benar. Amunisinya telah habis, kini ia hanya tinggal mengikuti permainan. Beberapa detik lagi adalah gilirannya untuk menyerang.
"YES KUNING!" tangan Brian mengepal di udara. "MAKAN TUH UNO!" kemudian ia membanting satu – satunya kartu yang tersisa ditangannya seraya membusungkan dada. Ia menang untuk yang ketiga kalinya.
Seketika semua orang yang didalam permainan itu mengerang malas, dan juga ada yang kesal. Suara bising yang ditimbulkan dari arah belakang kelas menuai protes dari anak – anak yang masih serius mengerjakan tugas yang diberikan. Hari ini guru Sosiologi tidak masuk kelas. Dari isu yang ditangkap oleh seisi kelas, gurunya tersebut baru saja keguguran janinnya yang berumur enam minggu.
"Najis! Lo pake pelet ya? Masa gue kalah mulu sih?" Andrino membuang kartunya malas.
"Nggak usah ditangisi yang sudah terjadi." Brian menepuk bahu Andrino seraya tertawa. "Jadi kali ini, apa tadi? Menang pertama, jus mangga. Menang kedua? Ayam penyet. Menang ketiga? Dua tiket nontooon." Ujar Brian sambil senyum – senyum najis—kalau Samuel yang bilang.
Erangan malas bercampur kesal kembali terdengar. "mandul ini namanya." Farhan mengacak rambutnya sendiri.
"keguguran kali?" ujar Galih yang beberapa saat kemudian menuai tawa.
"HUS!" Juan menoyor kepala Galih, namun tak urung ia tertawa juga. "tau begini, gue mendingan jadi ketua kelas yang baik deh, ngerjain tugas. Bukannya ikut – ikutan main sama kalian." Juan kemudian berdiri dan berjalan menuju mejanya. Begitu Juan bangkit, banyak pula anak laki – laki yang ikut bangkit dan beranjak pergi dari area belakang kelas yang mereka jadikan tempat bermain UNO siang ini.
"Duh! ini namanya pemerasan. Bukan kesepakatan. Ah nggak jadi." Andrino baru saja ingin beranjak sebelum Brian menahan bahunya.
"Heh! Kok pada nggak sportif sih?" Brian melihat teman – temannya yang satu persatu pergi. "ini juga ikut – ikutan pergi." Ujarnya kepada Andrino.
"Bisa – bisa nggak jajan gue dua minggu, cuman buat menuhin kemenangan lo doang."
"Alah, omongan lo manis doang. Gue yang mandul dong ini namanya." Brian mendumal seraya merapihkan kartu UNO miliknya yang tadi dipakai main. "Woo! Cupu lo semua nggak mengakui kekalahan!" teriak Brian dari belakang kelas.
"Bodo amat!" ada yang menyahuti Brian, namun lelaki itu tidak tahu siapa dan tidak peduli. Paling – paling salah satu temannya yang tadi kalah juga. Brian mendengus. Sekarang ia bingung harus mengisi kekosongan kelasnya dengan melakukan apa. Mengerjakan tugas? Sama sekali tidak ada di kamus lelaki itu. Yang akan ia lakukan adalah meminta hasil pekerjaan salah satu temannya dengan rayuan manis. Setelah ia dapatkan, barulah ia salin kedalam buku tulisnya dan ia kumpulkan. Bagi Brian, melakukan pekerjaan menyalin tersebut tidak akan memakan waktu lama. Paling – paling setengah jam, dan artinya ia masih dapat melakukan hal tersebut empat puluh lima menit lagi.
Brian dan Andrino telah kembali ke bangku mereka. Sekarang lelaki yang menjadi salah satu sahabat Brian itu tengah serius menatap ponsel sambil sesekali jempolnya mengusap layar. Brian melihat kearah Andrino, kantin lah yang berada di pikirannya sekarang. "Woi!" Brian menyenggol Andrino dengan sikunya. "Gabut kan."
Andrino balas menatap Brian terusik. "iye." Sejurus kemudian tiba – tiba senyum Brian terbit. Lelaki itu berdeham dan mengusap – usap lehernya.
"Jadi Champion aus juga ya ternyata." Brian mengedip – ngedipkan matanya kepada sahabatnya, Rino, yang kontan mendengus. Andrino tahu maksud Brian apa.