I (The Mute)

867 77 7
                                    


Menulis adalah hal yang paling menyenangkan bagiku. Terkadang, saat tangan ini menciptakan sebuah coretan kecil, dalam hati selalu ada harapan akan datang hal besar.

Aku tidak pernah berkata ataupun merangkai sebuah kalimat untuk dijadikan perantara komunikasi. Akupun, hanya bisa mengangguk dan menggeleng saat ada yang mencoba berkomunikasi, sesekali aku menulis sesuatu pada kertas kecil yang setiap harinya aku siapkan dan kalungkan di leher. Setidaknya, dengan buku kecil yang mudah disobek itu, aku masih bisa menjawab atau berkata sesuatu pada seseorang.

Sering kali rasanya aku berkecil hati. Aku selalu semangat dan tersenyum, mensyukuri nikmat Yang Maha Kuasa yang masih sempat memberiku waktu untuk melihat indahnya dunia ini. Tapi, tak bisa dipungkiri, ada setitik celah yang masih belum terisi. Mungkin sangat mudah ditebak, bila celah dalam hati ini adalah rasa iriku pada teman-teman yang mudah berkontak suara satu sama lain.

Aku tidak memiliki satupun teman sejak dulu. Hanya sendiri dan menyendiri, hanya menyingkir dan tersingkir, hanya bayangan tapi tak pernah dibayangkan. Tak dapat menyangkal bila hal itu adalah sebuah penderitaan, tapi aku sadar bila mereka tidak akan mau berteman dengan lelaki bisu sepertiku. Ya, mungkin tidak akan pernah.

Dikala semua berhambur dan saling menebar kebersamaan saat lonceng istirahat terdengar, di sini aku hanya merenung dan memandangi indahnya danau sekolah. Bibirku mengurva membentuk sebuah senyum tipis, setidaknya aku tidak mendapat diskriminasi, karena sebelum pindah aku selalu menjadi bahan ejekan teman-teman.

Tidak pandai bersosialisai ataupun beradaptasi, aku hanya bisa berdiam dan memandangi mereka yang duduk bersama dengan kotak bekal sebagai alasan. Tak jarang, mataku melihat seorang lelaki dan perempuan yang terlihat sangat serasi dan mesra, bahkan mereka tak ragu memgumbar hal manis di hadapan banyak siswa lain yang mungkin singgah di sana.

Sudah terhitung sejak 6 bulan ini aku pindah dari sekolah sebelumnya. Ayah menghimbau, agar aku tidak memcari masalah agar tidak lagi menjadi bahan bullyan. Tapi, sebenarnya aku tidak pernah mencari masalah, hanya saja saat ayah marah aku tidak mungkin membantah. Lagi pula, aku tidak bisa bersuara.

Sebenarnya, aku memiliki satu teman, atau lebih tepatnya teman sebangku. Dia seorang gadis yang bagiku sangat cantik. Pendiam sama sepertiku, banyak yang berkata bila Hinata juga sulit bersosialisasi dengan kalayak sekitar. Sungguh, mirip denganku.

Tapi rasanya Hinata lebih beruntung dariku. Dia masih bisa berbicara, dia juga baik dan sangat pintar. Aku tidak pernah menemui gadis manis yang begitu baik seperti Hinata. Tapi lagi-lagi aku selalu menghindar, nyaliku untuk berteman sangatlah kecil. Mungkin tidak begitu lama saat kami berteman, Hinata pasti bosan bersamaku.

Dari ekor mata, aku sering menciptakan sebuah lirikan saat di kelas. Dari arah samping, wajah bulat Hinata sangatlah indah. Terkadang aku menunduk dan terpejam, aku tidak mau kepergok seperti lelaki yang sedang ini dan itu. Tapi di sisi lain, aku ingin sekali merasakan kelembutan pipi tembamnya yang sangat manis saat memerah.

Berbicara soal pipi merona milik Hinata, aku teringat teman sekelasku yang sering kali membuat Hinata tersipu malu. Dia mungkin tidak pernah berkata demikian, tapi instingku mengatakan bahwa Hinata sangat tertarik pada siswa itu. Sesungguhnya, aku ingin bertanya, tapi aku takut membuatnya marah.

Mungkin benar, bila pria kaya dan tampan bahkan seorang pewaris kekayaan berlimpah akan menjadi sorotan utama. Aku tidak bisa menyangkal atau membantah hal itu, akupun terlalu naif bila berkata tidak mempunyai rasa iri pada mereka terutama Uchiha Sasuke yang dikenal pangeran sekolah ini.

Begitu pula dengan Hinata yang selalu tersipu malu saat ada Sasuke. Aku sering kali melihatnya seperti itu, akupun juga sering mendengar suara Hinata yang terbata gugup dan sangat lucu. Terlebih, saat berbicara dengan Sasuke.

The Mute And The SweetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang