Saat itu, aku pernah memanjatkan sebuah harapan. Harapan besar yang kuinginkan untuk menjadi sebuah kenyataan. Kenyataan di mana sosok bisu sepertiku bisa menguntai sebuah kata ataupun kalimat. Kalimat sederhana yang selalu aku pendam, terkadang aku utarakan lewat bahasa isyarat.Tapi, sejak bertemu dan melihatmu, ada harapan lain yang memudarkan harapan sebelumnya. Dikala mata ini memandangmmu dari jauh, saat di mana tanganku terangkat hendak menggapaimu, dan saat aku bersedih karena hatimu bukan untukku.
Aku hanya bisa menunduk dan memendam segalanya. Untaian kata singkat yang selalu terpendam dan sulit untuk terbang hingga masuk dalam hatimu. Hal kecil, yang mungkin bagiku adalah harapan yang sangat besar. Hanya untuk sekedar duduk bersebelahan denganmu dan memandang wajah cantikmu.
Saat malan tiba, dan udara dingin mulai menusuk. Menerpa kulit menggoyangkan bulu halus di seluruh tubuh. Mendesirkan hati hingga dirasa membuat darah mengalir deras. Saat itu, hanya ada satu yang aku bayangkan...
Hinata...
Selalu membayangkanmu dan mengenang betapa indah dan berdebar hati ini hanya karena berada di sebelahmu. Tersenyum tipis, menunduk dan memejamkan mata, sungguh aku tak kuasa bila berlama-lama melihatmu. Rasanya, cintaku padamu semakin besar dan tak tertahankan.
Aku di sini, kau tau aku akan selalu di sini. Menengadah, menatap lurus berharap kau lewat dan aku bisa memandangmu sambil tersenyum. Mungkin, ada keajaiban besar bila saja kau mau menghampiriku yang selalu berharap terlalu tinggi.
Biarkan terus begini. Biarkan harapanku hanya menjadi harapan sampai kapanpun. Aku tau, tidak satupun yang tertarik padaku termasuk kamu. Hal ini memang sangat berat, tapi jika hal itu yang membawa titik-titik embun penyejuk hati ini, maka menahan dan terus tersenyum adalah jawaban yang tepat.
Semua tau, bila bunga mawar adalah lambang dari perasaan. Apa mampu, tangan gemetar ini memberimu bunga sebagai penyampaian perasaan? Tidak...
Caramu memandangku dan memandangnya, sangat jauh berbeda. Kau memandangku sebagai teman dengan rasa iba akan kekuranganku, dan aku senang karena dirimu masih memiliki kelembutan hati untukku. Tapi, matamu selalu berbinar dan terpancar rasa kasih besar saat menatapnya, dan hal itu yang selalu membuatku iri dan terluka. Namun aku bisa apa?
Diam...
Siang ini, adalah saksi di mana aku merasa sangat bahagia. Kau menuntunku bahkan seolah memelukku. Berucap lembut dengan nada penuh rasa cemas. Tatapanmu terkadang membuatku tak berkutik meski hanya rasa iba... Kau tau? Saat ini dan detik ini pula aku ingin waktu terhenti dengan dirimu yang selalu memberiku perhatian walau hanya secuil biji ceri.
Semilir angin siang menerpa pelan surai indigo halusmu. Poni tebal menggemaskan itu juga mengikuti. Wajahmu begitu dekat, sesekali bibirmu terlihat sangat manis saat mengerucut dengan hawa memabukkan. Bahkan lukaku sama sekali tidak berasa hanya dengan tiupan kecil darimu.
"Apa masih sakit?"
Detik itu aku terkesiap. Pipiku bertambah merah kala Hunata menatapku sedekat ini. Akupun salah tingkah dan terlihat konyol. Hanya bisa menggekng dengan kepala menunduk. Terkadang memciptakan lirika kecil. wajahmu sangat cantik dengan ekspresi polos seolah heran akan tingkahku.
Tatapanku terkunci pada tangan putih Hinata yang terus mengelus luka lecet kecil akibat terjatuh dari sepeda tadi. Rasanya sangat hangat dan mendesirkan. Ini adalah pengalaman terindahku sejak hidup selama 17 tahun. Ya, paling indah.
"Maafkan aku ya, Naruto-kun..."
Kembali aku tersentak kecil akan suara lirih dari Hinata yang tersemat rasa bersalah. Dia begitu baik dan sangat lemah lembut. Hanya hal kecil yang bersifat tidak sengajapun, wajahnya terlihat cemas penuh penyesalan.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Mute And The Sweet
Ficção AdolescenteTentang si bisu dan si manis yang terjebak dalam rasa cinta sepihak... NARUTO & HINATA