Lorong itu sepi. Terang saja, ini sudah pukul 2 malam waktu setempat dan kebanyakan manusia normal sudah bergelung nyaman di balik selimut mereka. Tapi sosok mungil berhoodie hitam itu terus saja melangkahkan Rebook-nya menuju lift. Katakan ia abnormal, jika perlu. Karena memang kenyataannya begitu.
Wajahnya tertutup di balik hoodie kebesaran yang ia pakai, juga rambut sebahu yang menjuntai di kedua pelipisnya. Pencahayaan seadanya makin membuat wajahnya yang sudah tertutup makin tak terlihat. Ia melangkah bisu, kecuali pergerakannya mengunyah permen karet bisa dikatakan sebagai 'membuat suara'.
Tangannya bergerak menuju tombol lift dan ia menekan simbol panah ke bawah. Menunggu beberapa menit sembari tubuhnya gemetar sedikit, akhirnya pintu lift terbuka.
Sudah ada orang lain di sana. Tiga orang berhoodie sama seperti dirinya, satu diantara mereka memakai beanie hitam. Ketika dirinya masuk, ia bisa merasakan tatapan ketiga orang itu mengikuti. Terbit rasa takut tak wajar dan pikiran berlebihan. Bagaimana jika mereka penculik? Mereka bertiga dan aku sendiri, pikirnya parno.
Oke, salahkan kakak kembarnya yang menyuruhnya menjemput di pos satpam malam-malam begini. Salahkan ia juga jika dirinya sekarang terlihat sebagai psikopat muda karena mengenakan setelan hitam-hitam. Ya, hoodie kebesaran yang ia kenakan adalah milik kakak kembarnya. Jaketnya sendiri masih tergantung di tempat jemuran karena ketumpahan jus. Yang itu salahkan kakaknya juga.
Si gadis masih mengunyah permen karetnya dalam diam. Sesekali ia mengubah tumpuan kakinya karena pegal. Hei, naik lift dari lantai 18 ke lantai dasar itu lama.
Lagi-lagi perasaannya diliputi ketakutan saat tatapan ketiga orang di sampingnya mengarah padanya. Meskipun ia rasa tatapan itu bukan tatapan jahat, namun tetap saja kewaspadaaannya dituntut meningkat. Ia mencoba melirik ketiga orang itu lewat sudut mata dan sela-sela rambutnya yang menjuntai.
Orang pertama memakai jeans hitam, hoodie abu-abu, kelihatannya dia laki-laki, tapi kenapa rambutnya seperti perempuan berambut pendek? Ia putuskan orang itu tak jahat, karena tampangnya benar-benar tak seperti penjahat.
Orang kedua memakai jeans sobek-sobek biru muda, hoodie merah marun tak terkancing, kaus putihnya sedikit menyembul di bagian yang tak terkancing, rambut cokelat sedikit mengintip di bawah topi hoodie-nya yang tak terpasang benar. Ia memutuskan bahwa orang kedua juga bukan orang jahat. Tak ada penjahat mempunyai tampang seimut itu.
Orang ketiga membuatnya berpikir sejenak bahwa ia pernah melihatnya di suatu tempat sebelum ini. Beanie hitam membuatnya terlihat lucu sekali, jeans pendek, kaus merah bertuliskan kata-kata di balik hoodie biru navy-nya. Dan wajahnya tak seperti orang lokal. Orang ketiga tampan menurut standarnya.
Aku pernah melihat orang yang ini, tapi di mana?
Seolah ada yang memaksa, gadis itu tak sengaja menoleh dan bertatapan langsung dengan ketiga orang di sampingnya. Sama-sama terkejut, namun mereka malah melayangkan senyum ramah. Demi Tuhan, mereka manis sekali. Gadis itu hanya sanggup membalas dengan senyuman gugup dan anggukan kecil.
"Halo, kau sendirian?" tanya salah satu dari mereka, si hoodie merah marun.
Gadis itu mengangguk. Permen karetnya sudah tak terasa manis lagi. Jadi ia berhenti mengunyah untuk sejenak.
"Sedang apa malam-malam begini keluar sendiri? Kau perempuan. Tidak takut?" kali ini si hoodie abu-abu yang buka suara.
"Jemput kakak," jawabnya singkat. Bagaimanapun ia masih curiga bahwa ketiga orang yang bersamanya sekarang sebenarnya adalah penjahat.
YOU ARE READING
Unpredictable Night
RandomSiapa yang menyangka jika kejutan datang pada malam hari begini?