Disuatu musim terkunci dalam satu rasa, dingin.
Dan tak pernah berharap angin mencairkan biar selamanya malam, gelap.
Mengabadaikan kebekuan yang juga membekukan luka, mematirasakan sebuah rasa, perih.
Lalu embun mengisahkan tentang sebuah cahaya dan kehangatan yang menyertainya, diri yang mulai bertanya-tanya, menetes peluh saat mulai membayangkan.
Sampai akhirnya dipertemukan, sinarnya menjalar mengusir malam. Malu-malu diri memperhatikan di balik pohon pinus lalu bertanya, "siapa dia?"
Dan mereka menjawab, "Dia lah matahari"
Seketika tersadar mungkin luka yang membeku itu akan kembali mengalirkan darah jika sang matahari memanaskan. Lalu kututup mata, berpaling bersembunyi di balik semak.
Namun cahayanya menerobos menemukanku. Berlindung di balik batu, namun semakin lama batu memanas melelehkanku.
Sampai belum sempat lagi diri berlari, ia telah mencairkan seluruh bekuku.
Aku dalam ketakukan, Luka yang beku itu tak seharusnya dibuka. Semakin lama semakin hangat menelanjangi tanpa sadarku.
Diri yang terlalu takut membuka mata, hanya merasakan sentuhannya tepat disana, pada bekas luka yang mungkin saja sebenarnya masih sangat basah.
Tapi ternyata perlahan perihnya hilang, tak lagi kurasakan darah mengalir disana. Diri terdiam meraba rasa, mengumpulkan keberanian membuka mata.
Silau. Entah berapa lama sudah mengurung diri dalam gelap. Ternyata lukaku sembuh, bukan lagi karena kebekuan yang menyamarkan rasa sakit sementara, luka itu telah mengering.
Namun sayangnya matahari berada jauh, singkat waktu dalam hari ketika senja mengantarnya pulang ia berpesan bahwa, "Cahayaku akan selalu bisa menemukanmu, di balik semak, di balik batu, atau di dalam lubang sekalipun. Kau tak akan luput dariku, aku telah menemukanmu. Maka jangan pernah lagi berkata bahwa kau bahagia berdiam diri dalam gelap yang sebenarnya kau takuti. Aku akan selalu kembali, tutup matamu dalam kesementaraan malam. Setelahnya, aku akan segera datang."