Calypsora Part 2

121 15 7
                                    

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Satu minggu. Ya, aku tentu bisa melewati satu minggu ini. Menangis. Sendiri. Bukan seolah tak ada teman, tapi apa akan dengan mudahnya kau bercerita bahwa kau patah hati karena kakakmu mengakhiri hubungannya denganmu? Ah, tidak. Maksudku, siapa yang akan berani bercerita bahwa sebenarnya kau sudah berpacaran dengan kakakmu sendiri selama 10 bulan? Aku memang gila saat itu. Ya, baiklah, aku gila sampai saat ini. Siapa yang tau kejadiannya akan seperti ini. Aku bahkan tak menyukainya sama sekali saat ia....begitulah. Pikiranku secara otomatis mundur ke-10 bulan yang lalu. Kenapa harus aku yang pergi untuk menjemputnya?

"Tempatnya tak jauh, kau saja yang ke sana." Ujar Sienna seenaknya disela percakapannya dengan kekasihnya di telepon. Meski Ayah menyuruhnya, tapi aku tahu dia tak dapat diganggu-gugat jika sedang asik bicara dengan kekasih barunya itu. Menyebalkan. Hati kecilku cukup khawatir dengan Seongwoo yang baru saja dikabarkan terkapar di pinggir jalan karena mabuk. Segera kuambil jaketku dan kukeluarkan mobil dari garasi lalu melaju ke lokasi. Aku tidak tahu kalau dia menyusahkan juga. Untung saja orang baik menghubungi rumah, kalau orang jahat yang datang, mati saja dia.

Aku dapat melihat sosoknya ketika memarkirkan mobil. Dengan cepat aku keluar dan menghampirinya. Ia bersandar di kaca toko yang sudah tutup. Orang yang menelpon itu nampaknya sudah pergi. Aku menghembuskan napas panjang ketika melihatnya yang tertidur itu.

"Menyusahkan." Ucapku yang lalu berjongkok di depannya. "Karena kau selalu ada untukku, jadi aku datang menolongmu." Lanjutku. "Ayo bangun." Kutepuk pipinya pelan, ia hanya mengigau.

"Ngg..., Damina..." Dia sadar siapa yang datang. Tanganku pun sekuat tenaga menarik tangannya untuk bangun. "Aku sadar, aku sadar." Ucapnya sembari geleng-geleng kepala, lalu berusaha bangun sendiri sambil berpegangan pada lenganku. Syukurlah, karena aku tak akan kuat membawanya ke mobil kalau ia benar-benar tak sadar. Aku pun menuntunnya pelan sampai depan mobil. Kubuka pintu belakang dan mendorongnya masuk ke dalam. Ia menyandarkan kepalanya ke belakang, terlihat lelah. Aku menghela napas panjang dan menghembuskannya. Aku tidak ingin pulang.

Kakiku melangkah memutari mobil dan masuk lewat pintu belakang. Kepalaku menoleh ke samping dan lelaki itu masih memejamkan matanya. Aku mengikutinya, menyandarkan kepalaku ke belakang dan menutup mataku. Meski sama saja sepi, setidaknya berada di luar rumah membuatku merasa lebih baik.

"Kenapa?" Dapat kudengar jelas suara paraunya yang membuat mataku kembali terbuka dan kepalaku sedikit menoleh padanya. Ia melakukan hal yang sama, menoleh padaku. Aku hanya menggelengkan kepalaku. "Boleh aku tidur di sana?" Ia menunjuk pahaku dengan dagunya. Aku mengangguk, mempersilahkan ia tidur di pangkuanku dan ia melakukannya dengan menghadap ke samping.

"Oppa," Panggilku.

"Mm.."

"Mereka baik-baik saja tanpaku." Ya, aku mulai terbiasa mengeluh padanya tentang apapun. Dia benar-benar kakak yang baik dan banyak lagi sebab mengapa aku senang dia menjadi kakak baruku.

"Kau pun baik-baik saja." Jawabnya. "Bukankah aku di sini?" Aku diam sejenak, mengulang kembali hari di mana teman-temanku pergi meninggalkanku karena satu kesalahan kecil. Ya, memang dialah yang selalu ada. Itulah sebab mengapa aku masih baik-baik saja.

"Apa mungkin aku harus menerima salah satu dari mereka?"Tanyaku. Yang kubicarakan adalah Yunsoo dan Jaebum yang baru saja menyatakan perasaannya padaku kemarin, di hari yang sama. Aku tau yang benar-benar menyukaiku hanyalah Yunsoo. Jaebum hanya menjadikanku pelarian dan ia menyatakan perasaannya karena tau Yunsoo melakukannya. Ia tidak mau kalah. Aku berpikir untuk menerima Yunsoo meski aku tak menyukainya.

Seongwoo memiringkan badannya, sedikit menghadap padaku. Matanya terlihat lelah, tapi ia menatapku serius. Aku hanya balik menatapnya, menunggu responnya.

"Aku menyukaimu juga, jadi pilih aku saja." Ia membuatku melongo sejenak, lalu tertawa. Ya, aku paham maksudnya. Hanya karena aku kesepian tidak memiliki teman, bukan berarti aku asal menerima siapapun agar mempunyai kekasih. Ia bicara begitu karena melarangku. "Kenapa tertawa?"Tanyanya, membuat tawaku terhenti.

"Kalau kau mabuk, tidur saja." Kataku. Tanganku mendorong bahunya pelan agar kembali ke posisi asalnya.

"Aku memang menyukaimu." Ucapnya, terdengar serius meski ia tak menatapku. "Aku tahu masalahmu. Setidaknya, kita bisa saling menyenangkan satu sama lain sampai kau menemukan orang yang benar-benar kau sukai."

Aku terdiam, tidak menjawab. Ya, aku hanya kesepian. Meski pria ini kakakku, tapi yang kusadari ia hanyalah orang yang baru kukenal satu bulan yang lalu. Tak peduli hal ini boleh atau tidak dilakukan, aku hanya memikirkan keuntungannya. Toh, tidak akan selamanya.

Bukankah aku ini terlalu menyepelekan perasaan? Tapi aku serius- aku hanya bicara asal karena aku tau dia akan melupakannya esok hari. Nyatanya tidak. Ungkapannya semalam yang terdengar main-main, justru ia buktikan dengan cara yang luar biasa. Aku pernah merasa ada di posisi tertinggi. Rasanya semua orang menyukaiku, mengikuti apapun yang kulakukan dan yang kukatakan, tapi semua itu hancur seketika ketika orang-orang terdekatmu meninggalkanmu. Aku merasa begitu kecil. Meski banyak teman lainnya, aku tak dapat melihat semua itu lagi. Aku merasa semua orang sebenarnya membenciku. Aku menjadi penyendiri sampai akhirnya ia memelukku, mengembalikan posisiku.

"Kakakmu datang."

Mataku langsung mencari sosoknya saat Jiho bicara seperti itu. Ah ya, aku menemukannya. Dia tersenyum padaku dari kejauhan. Jaket denim dan tataan rambut yang tampan membuatnya menjadi sorotan utama. Rasanya aku mendengar apa yang orang-orang katakan dalam hati. 'Damina, kau beruntung memiliki kakak tiri yang seperti itu.' Padahal tidak juga. Kini kuharap dia bukanlah kakakku.

"Aku pergi." Pamitku pada Jiho, lalu menghampiri Seongwoo. Baru saja sampai di hadapannya, wajahnya langsung mendekatiku. Dia membisikiku. Rindu, katanya.

"Aku ingin memelukmu."Ujarnya iseng, mungkin. Kupukul pelan lengannya sembari jalan menuju parkiran. "Lihat," Ia mengangkat tangannya dan menunjukkan jam tangannya. "Hanya telat 4 menit." Ya, dia memang tidak akan membiarkanku dalam situasi yang membuatku tak nyaman terlalu lama. Katakan saja, dia benar-benar tipe kekasih yang selalu ada untukmu.

Sampai di parkiran, ia memakaikanku helm lalu memakai miliknya sendiri. Kakiku melangkah mundur saat ia naik ke atas motornya, lalu aku pun naik di belakang dan langsung memeluknya erat.

"Selamat, rindumu terbalas." Kataku.


-Memories stain every inch of my brain and pump through my veins

It's like those days are still so fresh on my mind

Seems like yesterday when I started writing my rhymes

Those things done changed, I miss those good times-


TBC.





CalypsoraWhere stories live. Discover now