Sabtu sore di sebuah taman kota yang cukup ramai, seorang gadis sedang menggoyang-goyangkan kakinya pelan di salah satu bangku taman. Sementara itu lelaki di sebelahnya sibuk menikmati rujak yang ia beli sebelum menemui gadis itu.
Sesekali gadis itu manyun melihat pasangan muda-mudi yang menikmati sabtu sore bersama sambil bercengkrama. Atau bergidik geli saat menoleh ke pojokan dan mendapati sepasang muda-mudi yang berbuat ehm agak sedikit intim. Sementara ia? masih dengan setelan resminya, justru baru saja menemui klien di hari sabtu seperti ini. Terlebih lagi dia sedang jomblo, tidak ada pasangan yang bisa menemaninya bercengkrama seperti muda-mudi yang dilihatnya.
"Kita ..."gadis itu akhirnya membuka suara setelah hampir 30 menit mereka terdiam di tengah keramaian taman,
"...gimana kalau kita nikah aja?" lanjut gadis itu cepat, kali ini diikuti dengan napas berat. Mata gadis itu masih menatap ke arah lalu lalang pengunjung taman kota.
Laki-laki di sebelah, yang menjadi lawan bicara sang gadis, menatap kaget ke arah gadis yang sudah hampir 20 tahun menjadi teman sepermainannya itu. bahkan hampir saja tersedak.
"Ha... ha...ha...!" laki-laki itu tertawa terbahak-bahak. Kemudian berhenti dan memasang wajah sangar.
"Nggak lucu." kata lelaki itu, seolah-olah tawa tadi hanyalah untuk mencemooh si gadis saja.
"Saya nggak niat buat ngelawak tuh," kata gadis itu sambil mengangkat bahu.
Pria itu masih tak menanggapi secara serius dan masih menikmati rujaknya.
"Jadi, sekarang kamu ngelamar saya? Hei, bukannya harusnya cowok yang ngelamar cewek?" kata lelaki itu.
"Bukan melamar, tapi memberi solusi terbaik untuk kita."kata sang gadis tetap memandang lurus kedepan.
Lelaki itu kembali menatap sang gadis. Seolah sadar kalau kalimat sang gadis rasanya memang bukan untuk bahan bercandaan.
"Kita? Solusi Mbahmu!"sahut lelaki itu lagi. Solusi darimananya?
"Solusi dong, seenggaknya kamu nggak bakal jadi perjaka tua,"ujar gadis itu santai, kali ini matanya menatap polos ke arah sang lelaki.
"Ya...terus kamu juga nggak akan menjadi perawan tua, gitu, kan? Wah...wah...jadi kamu mau jadiin saya tumbal?" kata lelaki itu menggeleng-gelengkan kepalanya, gadis itu melotot tak terima.
"Emangnya saya dedemit pakai tumbal-tumbal segala?"jawabnya kesal. Bahkan dalam perdebatan seperti inipun, mereka berusaha untuk tetap menggunakan kalimat baku satu sama lain. Itu perjanjian mereka saat memasuki bangku universitas 9 tahun lalu. Bahwa mereka akan berbicara sopan tanpa menggunakan elu-gue. Selayaknya teman-teman mereka yang lain, teori ciptaan mereka mengasumsikan bahwa kata 'saya atau aku' dan 'kamu' terlihat lebih cerdas, elegan, dan dewasa dari pada 'elu' dan 'gue'.
"Yakali, kan?"
Gadis itu merengut kesal, hanya beberapa detik kemudian raut wajahnya kembali berubah sendu, teringat hal yang membuatnya harus 'melamar' seperti ini.
"Apa saya emang harus nikah sama Oom-Oom itu ya?"ujarnya sedih. Rendra, lelaki itu menoleh pelan, dan mendapati gadis itu benar-benar dengan wajah menyedihkan.
"Saya nggak mau Ren, apa kamu tega menyerahkan sahabatmu yang paaaaliiiing cantiiik ini ke tangan Oom-oom antah berantah itu?"Vira, gadis itu mencoba memasang wajah paling melas. Kemarin, tiba tiba saja Mama Vira menyodorkan seseorang untuk dijodohkan dengannya, memang dia belum melihat foto sang kandidat. Tapi kalau selera mama yang 80an itu, pasti nggak jauh-jauh dari Oom oom.
"Oom-oom?Astaga! dengar ya... nona Alvira Damayanti...kamu nggak sadar? Kamu juga sudah tante-tante? Umurmu berapa? Udah dua-puluh-delapan-tahun!" kata Rendra dengan penuh penekanan di kata-kata dua-puluh-delapan- tahun.
Vira mendesis sebal, "Kamu, udah pakdhe-pakdhe kalau gitu? Umurmu? 30 tahun, Rendra Arifin Wijaya! Kamu hilang ingatan, ya?" sungut Vira.
"Udahlah! Nggak usah ngomongin soal umur." kata Rendra mengibaskan tangannya malas. Akhir-akhir ini ia agak malas dengan bahasan 'umur' mengingat Ibunya di rumah selalu mengomel soal 'umur' dan status Rendra yang masih suka gonta-ganti pacar tak jelas. Hey, memangnya ada yang salah dengan umur 30 tahun dan belum menikah? Salah. Jika itu di mata Ibu Rendra.
"Tapi, Vir, emang kamu sampe se 'nggak laku' itu, ya? sampai harus dijodohin segala?" lanjut Rendra lagi, kali ini matanya memandang Vira lembut. Ia tahu kalau usia pasti menjadi hal yang lebih sensitif bagi wanita. Setidaknya itu adalah alasan Rendra berpisah dengan gadis yang sampai saat ini masih bersemayam di hatinya, dengan gadis yang hanya dengan menyebutkan namanya saja membuat hati Rendra ngilu melebihi ngilu saat gigi geraham tumbuh.
"Ya Allah...dikiranya sendirinya laku? Kalau situ lebih laku, nggak mungkin sekarang kita disini? Pasti situ malam mingguan sama pacar situ..."
Rendra mendesis sebal, hilang sudah rasa simpati Rendra yang tadi sempat muncul, digantikan rasa kesal mengingatkan status Rendra saat ini. Bukan statusnya yang membuatnya kesal, Rendra memang sedang ingin menikmati masa kesendiriannya, tapi ucapan Vira mendadak mengingatkan Rendra pada mantan terakhirnya yang masih menempel padanya seperti perangko.
"Seenggaknya kalau sama kamu, saya udah kenal, nggak buruk-buruk amat, kan? yah meskipun bosan juga sih, setiap hari yang diliat mukamu terus," lanjut Vira.
"Tapi kita kan nggak pernah pacaran. Dan eh, saya cuma nganggep kamu temen loh, nggak lebih dari itu, nggak tau sih kalau kamunya suka sama saya."
"Hah? Suka? Sama kamu? Gila apa?lagipula di usia kita, mana ada yang ngomongin pacaran?Ih, kamu pasti udah ketularan sama mantanmu yang anak kuliahan itu ya?"
"Heeeh... nggak usah ungkit-ungkit bocah itu lagi deh," sahut Rendra malas.
"Ya...'bocah' yang kamu pacarin."
"Mantan." tegas Rendra. Enak saja, meskipun baru dua hari yang lalu mereka putus, tetap saja itu dinamakan...mantan.
Vira hanya mencibir tapi tak berniat membalas dan memilih kembali merenung
Seseorang pernah berkata, 'Relationships are always stronger when you are best friends first and a couple second.' dan sejak dulu hanya Rendra satu-satunya pria yang masih saja bersahabat dengannya.
Menikah...dengan Rendra? Sungguh bukan suatu alternatif yang buruk untuk Vira. Hampir serempat abad mereka saling mengenal, Vira tahu Rendra lelaki yang baik, meskipun kadang-kadang rese. Suka, pacaran, atau menikah dengan seorang Rendra tak pernah sama sekali ada dalam bayangan Vira. Baginya Rendra hanya sebagai, sahabat atau Kakak (meskipun Vira tak pernah mau memanggil Rendra Abang, Kak, atau, Mas). Pikiran gila itu muncul begitu saja. Kepanikan Vira karena usia yang terus menanjak (ia tidak akan mau menikah diatas usia 30 tahun!), tuntutan sang Mama, perjodohan nggak jelas, juga keadaan dirinya sendiri yang sama sekali tidak sedang dalam masa mengincar atau diincar seseorang.
***
TBC
Note : Ada yang tidak asing dengan cerita ini? Eits jangan suudzon dulu, iyaps saya memang penulis yang itu dan saya sedang pindah lapak. Yang di lapak sana akan saya hapus. so stay tune di sini aja ya. Dan buat yang baru baca, selamat bergabung ^^
YOU ARE READING
Marry Your Best Friend
RomanceRelationships are always stronger when you are bestfriends first and a couple second